Tahun 2016, Orang Miskin dan Pengangguran Semakin Banyak
https://kabar22.blogspot.com/2016/01/tahun-2016-orang-miskin-dan.html
BLOKBERITA -- Turunnya nilai ekspor, pulang kandangnya hot money dan semakin tidak bersahabatnya Pemerintah dengan investor berkualitas, membuat cadangan devisa terus mengalami penurunan.
Hanya tinggal hitungan jam tahun 2015 akan berakhir. Seperti biasa, banyak orang atau lembaga memperkirakan ekonomi Indonesia tahun depan. Pemerintah dalam APBN-2016 menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3%. Melihat gagalnya Pemerintah menrealisasikan target APBNP-2015 - target 5,7% realisasinya sampai kuartal III 2015 hanya mencapai 4,7% - apakah, kembali Pemerintah gagal memenuhi target pertumbuhan ekonomi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita coba mencari jawaban penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semenjak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan. Bila di tahun 2011 ekonomi masih dapat tumbuh 6,5%, tahun 2015 diperkirakan pertumbuhan ekonomi di bawah 4,9%.
Penyebab utama dari anjloknya pertumbuhan ekonomi akibat dari penurunan nilai ekspor. Tahun 2011 nilai ekspor mencapai US$ 203,5 miliar, tahun 2014 nilai ekspor longsor menjadi US$ 176,3 miliar. Dapat dipastikan bahwa ekspor tahun 2015 kembali akan mengalami penurunan. Bagaimana tidak, nilai ekspor Januari-Oktober 2015 hanya mencapai US$ 127,2 miliar atau tergerus 14% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Akibat turunnya nilai ekspor, neraca perdagangan kita menjadi meriang. Bahkan neraca perdagangan, tahun 2012-2014 menjadi defisit. Tahun 2015, neraca perdagangan diperkirakan akan kembali menjadi surplus. Tapi, surplusnya neraca perdagangan 2015 karena penurunan nilai impor lebih besar dibandingkan penurunan nilai ekspor.
Nilai ekspor menurun karena struktur ekonomi Indonesia semenjak jaman VOC sampai sekarang tidak berubah, selalu bergantung kepada ekspor barang-barang komoditas. Bila di jaman VOC, ekspor mengandalkan kepada rempah-rempah, sekarang ekspor mengandalkan kepada kelapa sawit dan batu bara. Dampaknya, ketika booming harga kelapa sawit dan batu bara selesai di tahun 2012, nilai ekspor terus turun.
Turunnya nilai ekspor membuat pasokan valas menjadi berkurang. Akibatnya, mata uang garuda semakin tak berharga dibandingkan dengan dolar AS. Akhir tahun 2011, dolar AS masih di level Rp 9.113, sekarang dolar AS berada level Rp 13.795.
Dolar AS juga semakin bertenaga karena The Fed sudah menaikan tingkat suku bunga. Tahun depan diperkirakan The Fed akan kembali menaikan suku bunganya 50 bps-75 bps. Melihat itu, hot money pulang kandang. Sepanjang 2015, modal asing di Bursa Efek Indonesia keluar sebesar Rp 22,5 triliun.
Tidak hanya hot money yang sudah tidak betah di Indonesia. Investasi asing langsung juga semakin tidak kerasan. Bagaimana tidak, Pemerintah dan DPR tampak tidak suka dengan investor asing berkualitas seperti Jepang. Pemerintah sekarang malah tampak semakin mesra dengan investor dari Cina. Padahal, realisasi investor Cina tidak pernah mencapai lebih dari 10% dari komitmennya.
Investor dari Jepang sangat kecewa karena dikelabui oleh Pemerintah dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Kontan saja, investor dari Jepang langsung bepikir ulang untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Perlu diingat, bahwa realisasi investor Jepang selalu di atas 60% dari komitmennya. Tahun 2014 realisasi investor Jepang mencapai US$ 2,7 miliar. Sedangkan Cina hanya US$ 800 juta.
Turunnya nilai ekspor, pulang kandangnya hot money dan semakin tidak bersahabatnya Pemerintah dengan investor berkualitas, membuat cadangan devisa terus mengalami penurunan. Bulan Oktober 2015 cadangan devisa US$ 100,2 miliar atau turun 10,7% dibandingkan Oktober tahun sebelumnya.
Celakanya, Pemerintah semakin tidak disiplin dengan kebijakan fiskalnya. Bayangkan saja, defisit anggaran membengkak mendekati ambang batas sebesar 3%. Kebijakan fiskal kacau karena target pendapatan pajak 2015 sangat tidak realistis. Diperkirakan realisasi pendapatan pajak 2015 hanya mencapai 85%.
Berdasarkan uraian di atas, penyebab turunnya pertumbuhan Indonesia dapat dibagi dua. Pertama karena faktor ekstenal, yaitu turunnya harga komoditas dan kenaikan suku bunga AS. Kedua faktor internal, yaitu semakin tidak bersahabatnya Pemerintah dengan investor berkualitas dan tidak disiplin dalam kebijakan fiskal.
Kalau faktor ekstenal Pemerintah memang tidak bisa berbuat banyak. Tapi, faktor internal Pemerintah harus memperbaikannya, sebab kalau Pemerintah tidak berubah, pertumbuhan ekonomi bukannya naik, malah akan kembali turun. Bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi 2016 dibawah 4%. Artinya, orang miskin bertambah banyak dan parade pengangguran semakin panjang. (Inrev.)
Hanya tinggal hitungan jam tahun 2015 akan berakhir. Seperti biasa, banyak orang atau lembaga memperkirakan ekonomi Indonesia tahun depan. Pemerintah dalam APBN-2016 menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3%. Melihat gagalnya Pemerintah menrealisasikan target APBNP-2015 - target 5,7% realisasinya sampai kuartal III 2015 hanya mencapai 4,7% - apakah, kembali Pemerintah gagal memenuhi target pertumbuhan ekonomi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita coba mencari jawaban penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semenjak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan. Bila di tahun 2011 ekonomi masih dapat tumbuh 6,5%, tahun 2015 diperkirakan pertumbuhan ekonomi di bawah 4,9%.
Penyebab utama dari anjloknya pertumbuhan ekonomi akibat dari penurunan nilai ekspor. Tahun 2011 nilai ekspor mencapai US$ 203,5 miliar, tahun 2014 nilai ekspor longsor menjadi US$ 176,3 miliar. Dapat dipastikan bahwa ekspor tahun 2015 kembali akan mengalami penurunan. Bagaimana tidak, nilai ekspor Januari-Oktober 2015 hanya mencapai US$ 127,2 miliar atau tergerus 14% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Akibat turunnya nilai ekspor, neraca perdagangan kita menjadi meriang. Bahkan neraca perdagangan, tahun 2012-2014 menjadi defisit. Tahun 2015, neraca perdagangan diperkirakan akan kembali menjadi surplus. Tapi, surplusnya neraca perdagangan 2015 karena penurunan nilai impor lebih besar dibandingkan penurunan nilai ekspor.
Nilai ekspor menurun karena struktur ekonomi Indonesia semenjak jaman VOC sampai sekarang tidak berubah, selalu bergantung kepada ekspor barang-barang komoditas. Bila di jaman VOC, ekspor mengandalkan kepada rempah-rempah, sekarang ekspor mengandalkan kepada kelapa sawit dan batu bara. Dampaknya, ketika booming harga kelapa sawit dan batu bara selesai di tahun 2012, nilai ekspor terus turun.
Turunnya nilai ekspor membuat pasokan valas menjadi berkurang. Akibatnya, mata uang garuda semakin tak berharga dibandingkan dengan dolar AS. Akhir tahun 2011, dolar AS masih di level Rp 9.113, sekarang dolar AS berada level Rp 13.795.
Dolar AS juga semakin bertenaga karena The Fed sudah menaikan tingkat suku bunga. Tahun depan diperkirakan The Fed akan kembali menaikan suku bunganya 50 bps-75 bps. Melihat itu, hot money pulang kandang. Sepanjang 2015, modal asing di Bursa Efek Indonesia keluar sebesar Rp 22,5 triliun.
Tidak hanya hot money yang sudah tidak betah di Indonesia. Investasi asing langsung juga semakin tidak kerasan. Bagaimana tidak, Pemerintah dan DPR tampak tidak suka dengan investor asing berkualitas seperti Jepang. Pemerintah sekarang malah tampak semakin mesra dengan investor dari Cina. Padahal, realisasi investor Cina tidak pernah mencapai lebih dari 10% dari komitmennya.
Investor dari Jepang sangat kecewa karena dikelabui oleh Pemerintah dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Kontan saja, investor dari Jepang langsung bepikir ulang untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Perlu diingat, bahwa realisasi investor Jepang selalu di atas 60% dari komitmennya. Tahun 2014 realisasi investor Jepang mencapai US$ 2,7 miliar. Sedangkan Cina hanya US$ 800 juta.
Turunnya nilai ekspor, pulang kandangnya hot money dan semakin tidak bersahabatnya Pemerintah dengan investor berkualitas, membuat cadangan devisa terus mengalami penurunan. Bulan Oktober 2015 cadangan devisa US$ 100,2 miliar atau turun 10,7% dibandingkan Oktober tahun sebelumnya.
Celakanya, Pemerintah semakin tidak disiplin dengan kebijakan fiskalnya. Bayangkan saja, defisit anggaran membengkak mendekati ambang batas sebesar 3%. Kebijakan fiskal kacau karena target pendapatan pajak 2015 sangat tidak realistis. Diperkirakan realisasi pendapatan pajak 2015 hanya mencapai 85%.
Berdasarkan uraian di atas, penyebab turunnya pertumbuhan Indonesia dapat dibagi dua. Pertama karena faktor ekstenal, yaitu turunnya harga komoditas dan kenaikan suku bunga AS. Kedua faktor internal, yaitu semakin tidak bersahabatnya Pemerintah dengan investor berkualitas dan tidak disiplin dalam kebijakan fiskal.
Kalau faktor ekstenal Pemerintah memang tidak bisa berbuat banyak. Tapi, faktor internal Pemerintah harus memperbaikannya, sebab kalau Pemerintah tidak berubah, pertumbuhan ekonomi bukannya naik, malah akan kembali turun. Bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi 2016 dibawah 4%. Artinya, orang miskin bertambah banyak dan parade pengangguran semakin panjang. (Inrev.)