Kekuatan Asing Kuasai Migas Indonesia ?
https://kabar22.blogspot.com/2016/08/kekuatan-asing-kuasai-migas-indonesia.html
Dalam keterangan gambar yang beberapa waktu lalu viral di beragam media sosial tersebut tertera gambar bendera disebut mewakili lokasi anjungan dan atau kilang minyak dan gas (migas).Pertanyaannya, apakah kilang dan atau anjungan tersebut dikuasai asing sesuai bendera-bendera itu? Apakah juga berarti asing menguasai migas Indonesia?"(Untuk memeriksanya), pakai logika sederhana saja. Apa perusahaan minyak paling besar di Indonesia? Apa perusahaan pemilik sumur migas paling banyak?" ujar ekonom Faisal Basri, saat dijumpai, Jumat (19/8/2016).
Sambil mempersilakan dicek ulang, Faisal menyebutkan, jawaban untuk dua pertanyaannya di atas adalah perusahaan nasional, milik negara pula. Dengan jawaban itu, Faisal pun menegaskan keterangan yang viral bersama peta bergambar negara asing itu hanyalah "rumor".
Katakanlah ada jawaban lain untuk dua pertanyaan tersebut, lanjut Faisal, latar belakang negara dari penggarap lapangan migas tidak dapat serta-merta diartikan sebagai kepemilikan.
"Lihat kontraknya," ujar Faisal.
Skema Penggarapan
Sektor hulu migas di Indonesia punya skema kontrak yang spesifik, baik untuk proses pencarian cadangan (eksplorasi) maupun saat pengambilan (eksploitasi).
Prinsip dasar untuk kontrak migas yang berlaku di Indonesia adalah bagi hasil. Bahasa teknisnya, production cost sharing (PSC).
Kontrak ini merupakan kerja sama antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS). Di sini, Pemerintah diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Merujuk buku Ekonomi Migas, Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas karya Benny Lubiantara, jangka waktu kontrak adalah 30 tahun.
Catatannya, enam tahun pertama kontrak dialokasikan untuk eksplorasi. Bila sampai enam tahun Kontraktor KKS tidak menemukan sumber cadangan baru migas atau belum berproduksi, kontrak akan otomatis hangus.
Bila Kontraktor KKS menemukan sumber cadangan baru migas yang bernilai ekonomis dan kemudian berproduksi, semua biaya eksplorasi akan diganti oleh Pemerintah. Penggantian biaya eksplorasi ini dikenal sebagai cost recovery.
Ketika telah berproduksi, nilai jual hasil produksi dikurangi dulu dengan biaya-biaya yang diganti lewat skema cost recovery, baru kemudian dibagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor KKS. Persentasenya, 85 persen untuk Pemerintah dan selebihnya untuk kontraktor tersebut.
"Pemerintah memegang kepemilikan sumber daya migas sampai dengan titik serah (point of delivery)," ujar Kepala Bagian Program dan Pelaporan SKK Migas Taslim Z Yunus, dalam paparannya kepada para staf ahli Komisi VII DPR, Sabtu (4/6/2016).
Ibarat dapur bagi rumah besar bernama Indonesia, SKK Migas bertindak sebagai kepala koki yang memastikan pekerjaan di dapur berjalan lancar. Kontraktor KKS adalah para koki di dapur ini.
"Dalam praktik PSC, modal dan risiko merupakan tanggung jawab para Kontraktor KKS, termasuk pembelian peralatan yang diperlukan," kata Taslim.
Namun, lanjut dia, semua peralatan langsung menjadi milik negara begitu masuk teritori Indonesia.
Hitungan Investasi
Kebutuhan investasi tak terlepas dari kondisi ketersediaan sumber daya alam Indonesia.
“Investasi migas sekarang makin ke arah offshore (lepas pantai), (bergeser pula) dari kawasan barat ke timur,” ungkap Faisal dalam perbincangan dengan Kompas.com.
Konsekuensi dari kedua perkembangan tersebut, ujar Faisal, investasi migas butuh dana lebih besar. “Butuh teknologi lebih tinggi dan ongkos lebih mahal,” ujar dia.
Itu pun, imbuh Faisal, bila eksplorasi tak mendapati sumber cadangan baru migas, semua ongkos yang telah dikeluarkan tidak mendapat penggantian dari Pemerintah Indonesia.
Di dunia usaha, tak terkecuali kontraktor, peningkatan ongkos bukanlah hal tabu. "Sepanjang feasible, selama tambahan pendapatan dari hasil produksi baru bernilai lebih besar daripada kenaikan ongkos," papar Faisal.
Menjadi runyam bagi usaha di sektor migas, lanjut Faisal, ketika cost recovery kerap dianggap sebagai tambahan biaya yang harus dibayar Pemerintah kepada kontraktor. Inilah pemikiran yang melatari munculnya tuntutan untuk terus menekan cost recovery di sektor hulu migas.
Padahal, kata Faisal, pada dasarnya kontraktor atau investor juga tidak akan menghitung cost recovery sebagai keuntungan usaha, sekalipun besar nilainya.
"Cost recovery tinggi berarti ongkos produksinya tinggi, sekalipun diganti, yang itu dipotongkan dulu dari pendapatan produksi sebelum dibagi hasil dengan Pemerintah,” papar Faisal.
Sebagai contoh, Faisal mengangkat kinerja keuangan salah satu Kontraktor KKKS dari Amerika Serikat, untuk memperlihatkan risiko yang mesti ditanggung kontraktor.
"Dari total pendapatan produksi 13 miliar dollar AS pada 2012, ongkos produksi 2 miliar dollar AS, tapi yang dibawa pulang kontraktor ini ke negaranya hanya 1 miliar dollar AS setelah bagi hasil," kata Faisal.
Mengapa Perlu Investor?
Hingga sekarang, migas masih menjadi sumber utama energi, termasuk di Indonesia. Namun, kapasitas produksi migas Indonesia semakin menipis.
Saat ini, rata-rata produksi minyak Indonesia ada di kisaran 832.000 barrel per hari (BPOD), dengan konsumsi harian rata-rata 1,4 juta BPOD.
Cadangan minyak bumi terbukti (proven) Indonesia diperkirakan tinggal 3,6 miliar barrel, yang akan habis dalam 10 tahun dengan tingkat konsumsi sekarang.
Adapun gas, produksi saat ini mencapai 2.383 MMSCFD, dengan konsumsi harian sekitar 1.264 MMSCFD, merujuk BP Statistical Review of World Energy per Juni 2016. Cadangan terbukti gas sekitar 100 TCF, yang akan bertahan untuk perkiraan 37 tahun ke depan dengan tingkat konsumsi sekarang.
Sementara itu, sumber migas yang ada saat ini kebanyakan sudah berproduksi lama. Untuk menyiapkan ketahanan energi jangka panjang, perlu upaya eksplorasi baru, dengan kondisi seperti diungkap Faisal di atas.
"Yang dibutuhkan investor, selain nilai ekonomi adalah kepastian," ujar Faisal.
Jangan sampai, lanjut Faisal, kontrak yang sudah disepakati terus berubah-ubah di tengah jalan atau bahkan mendapat aral dari beragam hal.
Tantangan bagi Indonesia, ketidakpastian masih kerap ditemui dalam praktik investasi. Tak hanya SKK Migas — sebagai regulator yang mewakili Indonesia untuk sektor hulu migas — pembenahan juga harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa, bersama-sama menghadirkan iklim yang ramah investasi.
Indonesia Berlimpah Sumber Migas, Mitos atau Fakta ?
Benarkah Indonesia punya banyak minyak bumi dan gas alam (migas)? Betulkah juga negeri ini berlimpah migas, apalagi Indonesia tercatat menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC)? Atau itu cuma mitos?
“Indonesia sudah jadi net importer minyak sejak 2004. Dengan kondisi sekarang, Indonesia juga akan menjadi net importer gas pada 2024,” kata Kepala Bagian Program dan Pelaporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Taslim Z Yunus, Sabtu (4/6/2016).
Berbicara dalam sharing session SKK Migas dengan Tenaga Ahli dan Sekretariat Komisi VII DPR, Taslim mengatakan pula, dengan tingkat produksi dan konsumsi saat ini bahkan Indonesia akan menjadi net importer energi pada 2026.
Berdasarkan data SKK Migas, data produksi minyak Indonesia per Mei 2016 adalah 832.000 barrel per hari (BPOD), setara sekitar 1 persen produksi minyak dunia. Adapun produksi harian gas mencapai 8.215 MMSCFD.
“Sejak 2003, produksi gas lebih besar daripada minyak,” ujar Taslim.
Dulu, cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Per Desember 2015, masih ada cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan minyak dunia.
Sisa yang ada, menurut analisis yang dirujuk SKK Migas hanya akan bertahan hingga 10 tahun ke depan untuk tingkat pemakaian yang tak berubah dari sekarang.
Padahal, konsumsi migas Indonesia rata-rata meningkat sekitar 8 persen per tahun, dengan angka saat ini sekitar 1,6 juta barrel per hari.
Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Merujuk data BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara 1,5 persen cadangan gas dunia.
Tantangan energi Indonesia
Grafik data bersumber dari Wood Mackenzie seperti dirujuk SKK Migas berikut ini menjadi salah satu gambaran tantangan pasokan migas Indonesia.
Meski demikian, diperkirakan Indonesia memang masih punya cadangan minyak sekitar 43,7 miliar barrel. Tantangannya, lokasi cadangan tersebut kebanyakan berada di kawasan laut dalam.
Data-data di atas merupakan tantangan bagi Indonesia. Untuk memperpanjang kemampuan pasokan migas dari dalam negeri, eksplorasi sumber-sumber baru migas merupakan keharusan.
Masalahnya, eksplorasi bukan pekerjaan mudah dan murah. Upaya ini butuh teknologi tinggi dan biaya mahal. Kehadiran investor menjadi kebutuhan tak terelakkan dari situasi ini.
"Dana investasi untuk migas sangat sedikit, dan Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan alokasi dana investasi tersebut jika ingin meningkatkan produksi minyak dan gas buminya,” ujar Lead Advisor for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia, Sacha Winzenried, seperti dikutip Kompas.com pada Kamis (26/5/2016).
Survei yang digelar PwC Indonesia terkait industri migas mendapati setidaknya ada lima tantangan terkait investasi ke sektor ini. Pertama, keabsahan kontrak dan kepastian seputar perpanjangan kontrak bagi hasil.
Kedua, kurangnya kebijakan dan visi yang konsisten antar lembaga pemerintah. Ketiga, penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil.
Keempat, ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah. Terakhir, ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga.
Menurut Winzenried, para responden survei meyakini bahwa fokus pada aspek-aspek ini akan meningkatkan daya tarik iklim investasi Indonesia untuk migas secara signifikan, konsisten dengan peluang geologis Indonesia yang kuat.
Peserta survei, lanjut Winzenried, juga optimistis terhadap potensi peningkatan daya saing Indonesia, sejalan dengan investasi besar di sektor infrastruktur yang dipicu oleh kebijakan pemerintah saat ini.
Di luar hasil survei tersebut, SKK Migas melihat pula perlunya peran aktif masyarakat untuk turut menciptakan iklim yang ramah investasi.
Jangan sampai pula investor sudah datang tetapi masih terkendala problem sosial di lapangan untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas.
Tantangan sektor migas tak hanya berupa angka produksi dan cadangan yang menipis, tetapi juga dari harga migas dunia dan fluktuasi nilai tukar mata uang (kurs).
Sekalipun harga migas dunia sedang dalam tren turun, kurs rupiah yang belum cukup kuat dibandingkan mata uang asing menjadikan impor bukan solusi bagi kebutuhan energi di dalam negeri.
Meski demikian, kata Winzenried, kondisi tersebut juga dapat menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan investasi migas. Ujungnya, menarik alokasi dana investasi untuk eksplorasi dan pengembangan di Indonesia.
Kabar baiknya, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Rabu (17/8/2016), menyebutkan angka produksi minyak Indonesia menunjukkan kenaikan.
“Untuk pertama kali sejak 2008, produksi minyak rata-rata harian naik dari 786.000 BPOD pada 2015 menjadi 834.000 BOPD per Juli 2016. Naik 6,2 persen,” sebut Amien.
Menurut Amien, minat investasi juga masih mengalir ke sektor migas. Antara lain, sebut dia, terlihat dari komitmen investasi untuk pengembangan Train 3 di Kilang LNG Tangguh, Papua Barat.
“Nilai investasinya mencapai 8 miliar dollar AS,” sebut Amien.
Dari awal tahun sampai Juli 2016, lanjut Amien, juga terdapat 21 Plan of Development (POD) dan Plan of Further Development (PoFD) yang telah disetujui.
Apabila seluruh POD/POFD dapat direalisasikan sesuai rencana, cadangan migas Indonesia diharapkan bertambah 171 juta barrel oil equivalent (BOE). (bin/kmpscom)