Calo Global di Sekeliling Jokowi

BLOKBERITA -- Kehadiran managing director IMF, Christine Lagarde, ternyata disambut oleh melemahnya rupiah dan harga saham. Sementara itu, buruh yang ketakutan kena PHK menggelar demo massal di berbagai kota.

Pernyataan para petinggi pemerintah bahwa perekonomian Indonesia masih aman dan jauh dari krisis moneter seperti 1998, tak digubris oleh para pelaku pasar. Mereka tetap melepas saham dan rupiah karena ogah mendengarkan celoteh para petinggi pemerintah dan otoritas moneter.

Sikap pemerintah dalam menyambut kedatangan Lagarde juga membuat mereka kuatir bahwa perekonomian Indonesia bakal terperangkap lebih jauh ke dalam ketidakpastian. Sebagaimana diungkapkan oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan bahwa pemerintah tidak berencana untuk berutang kepada IMF. Dengan alasan, pemerintah akan berusaha mencairkan ratusan triliun rupiah dana Pemda yang sekarang menganggur di perbankan.

Apa yang diungkapkan Luhut sesungguhnya ‘barang’ lama yang sudah berulang kali gagal. Sumber masalahnya adalah UU Tipikor, yang bisa mengkriminalkan seorang gubernur, walikota, atau bupati karena melakukan kesalahan admisitrasi. Padahal, di era demokrasi ini, mereka kebanyakan politisi yang kurang paham sistem administrasi pemerintahan.

Selain itu, pasar juga melihat kecenderungan pemerintah untuk berburu utang di pasar komersila dalam dan luar negeri. Pemerintah tampaknya sengaja menjauhkan diri dari lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB, yang menawarkan kredit lebih murah. Akibatnya, kini lebih separuh perolehan ekpor dihabiskan untuk mencicil utang.

Penghindaran tersebut tak lepas dari gencarnya kritik bahwa lembaga-lembaga multilateral tersebut adalah kaki tangan kapitalis global. Mereka, demikian kata para kritikus, selalu mengarahkan perekonomian negara-negara yang sedang susah agar berorientasi pada pasar. Akibatnya, kesenjangan ekonomi melebar secara konsisten.

Mereka ditunding selalu ikut campur urusan dalam negeri demi keuntungan para kapitalis di belakangnya. IMF, kata Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam diskusi Road to Recovery di MidTown Bistro & Lounge, Jakarta, bahkan ikut campur dalam penyusunan undang-undang.

Sebaliknya, lembaga-lembaga tersebut beralasan, persyaratan yang mereka ajukan adalah untuk meyakinkan bahwa penerima para debitur benar-benar mengelola utangnya dengan baik. Inilah mengapa mereka menginginkan agar penerima utang serius dalam penegakan hukum, membangun sistem keuangan yang transparan, dan pembangunan yang bebas korupsi.

Untuk menghindari kritik yang memperoleh dukungan luas dari masyarakat tersebut, pemerintah gandrung pada utang-utang berbunga rendah meski harus disertai pemberian konsesi. Yakni pelaksanaan proyek harus diserahkan kepada perusahaan-perusahaan berasal dari negara kreditor. Bagi pemerintah, hal ini lebih menarik karena pemberian konsesi semacam itu tak digempur oleh para kritikus sebagai intervensi urusan dalam negeri.

Padahal sudah menjadi rahasia umum, di balik konsesi semacam itu, para calo proyek memainkan peran penting. Demikian hebatnya peran para calo tersebut, sehingga tiba-tiba presiden memberi perhatian sangat serius dalam pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. “Padahal proyek tersebut tidak pernah ada dalam rencana pembangunan pemerintah,” tutur Emil Salim, ekonom senior yang pernah lama menjadi menteri di era Suharto, dalam diskusi yang sama.

Semua itu membuktikan, kata Emil Salim, bahwa penguasa yang sesungguhnya bukanlah presiden dan para menterinya. Emil melihat bahwa para calo bisa memiliki pengaruh demikian kuat karena memperoleh dukungan dari kubu militer, birokrasi, dan politik. Dengan demikian, menurut Emil, kalau nanti presiden diganti, namun para calonya tak ikut digusur, nasib Indonesia tak akan berubah.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Riant Nugroho berharap pemerintah lebih serius membenahi kualitas perekonomian nasional agar dana yang masuk ke Indonesia tak didominasi oleh pasar uang semata. “Akibatnya, sektor produksi tetap tersendar-sendat,” tukasnya, juga dalam Road to Recovery.

Masih dalam diskusi yang sama, apa yang diungkapkan oleh Ryan diperkuat oleh mantan menteri perencanaan pembangunan Adrinof Chaniago melalui data-data statistik pemerintah. “Berbeda dengan negara-negara tetangga kita, Indonesia sekarang ini sedang mengalami deindustrialisasi. Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang lebih terarah dan tegas untuk mengembangkan industri di Indonesia,” tegas Adrinof.

Deindustrialisasi memang mencemaskan karena tak hanya menyebabkan Indonesia makin jauh tertinggal dari para tetangganya, tapi juga mengancam kehidupan jutaan buruh. Tapi Adrinof hanya menjadi menteri selama beberapa bulan sebelum disingkirkan oleh Jokowi beberapa pekan lalu. Lalu, Indonesia mau kemana ?  (ben/Inrev)

ndonesianReview.com -- Kehadiran managing director IMF, Christine Lagarde, ternyata disambut oleh melemahnya rupiah dan harga saham. Sementara itu, buruh yang ketakutan kena PHK menggelar demo massal di berbagai kota.
Pernyataan para petinggi pemerintah bahwa perekonomian Indonesia masih aman dan jauh dari krisis moneter seperti 1998, tak digubris oleh para pelaku pasar. Mereka tetap melepas saham dan rupiah karena ogah mendengarkan celoteh para petinggi pemerintah dan otoritas moneter.
Sikap pemerintah dalam menyambut kedatangan Lagarde juga membuat mereka kuatir bahwa perekonomian Indonesia bakal terperangkap lebih jauh ke dalam ketidakpastian. Sebagaimana diungkapkan oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan bahwa pemerintah tidak berencana untuk berutang kepada IMF. Dengan alasan, pemerintah akan berusaha mencairkan ratusan triliun rupiah dana Pemda yang sekarang menganggur di perbankan.
Apa yang diungkapkan Luhut sesungguhnya ‘barang’ lama yang sudah berulang kali gagal. Sumber masalahnya adalah UU Tipikor, yang bisa mengkriminalkan seorang gubernur, walikota, atau bupati karena melakukan kesalahan admisitrasi. Padahal, di era demokrasi ini, mereka kebanyakan politisi yang kurang paham sistem administrasi pemerintahan.
Selain itu, pasar juga melihat kecenderungan pemerintah untuk berburu utang di pasar komersila dalam dan luar negeri. Pemerintah tampaknya sengaja menjauhkan diri dari lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB, yang menawarkan kredit lebih murah. Akibatnya, kini lebih separuh perolehan ekpor dihabiskan untuk mencicil utang.
Penghindaran tersebut tak lepas dari gencarnya kritik bahwa lembaga-lembaga multilateral tersebut adalah kaki tangan kapitalis global. Mereka, demikian kata para kritikus, selalu mengarahkan perekonomian negara-negara yang sedang susah agar berorientasi pada pasar. Akibatnya, kesenjangan ekonomi melebar secara konsisten.
Mereka ditunding selalu ikut campur urusan dalam negeri demi keuntungan para kapitalis di belakangnya. IMF, kata Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam diskusi Road to Recovery di MidTown Bistro & Lounge, Jakarta, bahkan ikut campur dalam penyusunan undang-undang.
Sebaliknya, lembaga-lembaga tersebut beralasan, persyaratan yang mereka ajukan adalah untuk meyakinkan bahwa penerima para debitur benar-benar mengelola utangnya dengan baik. Inilah mengapa mereka menginginkan agar penerima utang serius dalam penegakan hukum, membangun sistem keuangan yang transparan, dan pembangunan yang bebas korupsi.
Untuk menghindari kritik yang memperoleh dukungan luas dari masyarakat tersebut, pemerintah gandrung pada utang-utang berbunga rendah meski harus disertai pemberian konsesi. Yakni pelaksanaan proyek harus diserahkan kepada perusahaan-perusahaan berasal dari negara kreditor. Bagi pemerintah, hal ini lebih menarik karena pemberian konsesi semacam itu tak digempur oleh para kritikus sebagai intervensi urusan dalam negeri.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, di balik konsesi semacam itu, para calo proyek memainkan peran penting. Demikian hebatnya peran para calo tersebut, sehingga tiba-tiba presiden memberi perhatian sangat serius dalam pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. “Padahal proyek tersebut tidak pernah ada dalam rencana pembangunan pemerintah,” tutur Emil Salim, ekonom senior yang pernah lama menjadi menteri di era Suharto, dalam diskusi yang sama.
Semua itu membuktikan, kata Emil Salim, bahwa penguasa yang sesungguhnya bukanlah presiden dan para menterinya. Emil melihat bahwa para calo bisa memiliki pengaruh demikian kuat karena memperoleh dukungan dari kubu militer, birokrasi, dan politik. Dengan demikian, menurut Emil, kalau nanti presiden diganti, namun para calonya tak ikut digusur, nasib Indonesia tak akan berubah.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Riant Nugroho berharap pemerintah lebih serius membenahi kualitas perekonomian nasional agar dana yang masuk ke Indonesia tak didominasi oleh pasar uang semata. “Akibatnya, sektor produksi tetap tersendar-sendat,” tukasnya, juga dalam Road to Recovery.
Masih dalam diskusi yang sama, apa yang diungkapkan oleh Ryan diperkuat oleh mantan menteri perencanaan pembangunan Adrinof Chaniago melalui data-data statistik pemerintah. “Berbeda dengan negara-negara tetangga kita, Indonesia sekarang ini sedang mengalami deindustrialisasi. Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang lebih terarah dan tegas untuk mengembangkan industri di Indonesia,” tegas Adrinof.
Deindustrialisasi memang mencemaskan karena tak hanya menyebabkan Indonesia makin jauh tertinggal dari para tetangganya, tapi juga mengancam kehidupan jutaan buruh. Tapi Adrinof hanya menjadi menteri selama beberapa bulan sebelum disingkirkan oleh Jokowi beberapa pekan lalu. Lalu, Indonesia mau kemana?
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/jokowi-di-tengah-calo#sthash.WQ1iBzDR.dpuf
View

Related

TOKOH 1501825336045668742

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item