Rupiah 'Nyungsep' Sekarat !

BLOKBERITA -- Benarkah Rupiah bakal 'nyungsep' (menukik dan ambruk tak berdaya)? Nasib rupiah semakin mengkawatirkan para pelaku pasar. Sampai saat ini belum ada obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit 'kanker' akut rupiah. 

Para petinggi pemerintah dan otoritas moneter tampaknya mulai frustasi mengobati penyakit rupiah. Lihat saja, berbagai cara sudah dilakukan agar rupiah tidak terus menerus dihajar dolar AS. Hasilnya? Nol besar. Dolar AS terus saja melancarkan pukulan, dan wajah mata uang RI bonyok.

Hari ini (1/9/2015) pun demikian, tak ada yang berubah. Meskipun data inflasi menunjukkan angka yang positif, toh rupiah tetap tak berkutik di hadapan dolar AS. Di pasar spot, posisi rupiah terhadap dolar AS merosot 0,22% ke level Rp 14.098 dibandingkan hari sebelumnya. Di kurs tengah Bank Indonesia nilai rupiah sami mawon, terkikis 0,38% di posisi Rp 14.081.

Lantas, bagaimana nasib rupiah pekan ini? Masih sulit dipastikan. Tapi ada yang memperkirakan, September ini rupiah bakal jatuh hingga Rp 14.500 per dolar AS. “Kondisinya sudah sangat mencemaskan, karena rupiah telah kehilangan kepercayaan masyarakat,” ujar seorang analis.

Si analis memang tidak asal ngomong. Buktinya, sejumlah usaha yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tidak membuahkan hasil positif. Mulai dari kewajiban memakai rupiah dalam setiap transaksi, membatasi pembelian dolar hingga maksimal US$ 25.000, hingga sampai pemerintah mengiba kepada masyarakat untuk segera menjual dolar mereka.

Begitu pun strategi mempertahankan suku bunga tinggi, tak merangsang pemilik uang untuk menyimpan hartanya dalam rupiah. Yang terjadi malah likuiditas ketat dan dolar tetap mengalir ke luar. Buntutnya, justru sejumlah perusahaan terancam bangkrut dan kredit macet perbankan makin menggunung. Nah, agar tidak terbentur depan-belakang, ada yang menyarankan BI memangkas suku bunga acuan. Sasarannya, agar sektor riil bisa terselamatkan.

Tapi usul tersebut rasanya sulit dilakukan saat ini. Sebab,  seperti pernah disampaikan Janet Yellen, Ketua Dewan Gubernur The Fed, kenaikan  Fed rate kemungkinan besar terjadi di September ini. Jadi, apabila BI rate dipangkas – seperti yang dilakukan The People’s Bank of China, arus dana asing yang ke luar dari Indonesia  akan semakin deras. Dan, ini jelas membuat rupiah makin tertekan.

Kemungkinan suku The Fed naik semakin kuat setelah Dennis Lockhart, pejabat The Fed negara bagian Atlanta, menyatakan bahwa  Fed rate tetap akan naik tahun ini. Meskipun tak menyebutkan waktunya, pernyataan Lockhart itu mendorong para investor  kembali menyerbu dolar. Padahal, sebelumnya pasar berspekulasi bahwa The Fed tidak akan jadi menaikkan suku bunganya karena tingkat inflasi yang rendah dan melesunya perekonomian Cina.

Gejolak yang terjadi pada pasar finansial terus berlanjut setelah Paman Sam merilis kenaikan CB consumer confidence dari 90,9 menjadi 92,8. Penjualan rumah baru juga meningkat. Data yang bagus ini semakin memperkuat keyakinan para pemilik duit bahwa Fed rate bakal naik. “The green back semakin kuat karena data ekonomi Amerika sesuai dengan ekspektasi pasar,” ujar Agus Chandra, Research and Analyst Monex Investindo Future.

Selain fokus pada langkah yang akan diambil The Fed, para pelaku pasar juga aktif mengamati perubahan yang terjadi pada mata uang yuan. Seperti diketahui, untuk mengatasi pelambatan ekonomi Cina, The People’s Bank of Cina berencana mendevaluasi yuan secara bertahap hingga 25%. Dan, dua pekan lalu, yuan telah didevaluasi sebesar 1,9%. Jika The People’s Bank of Cina  kembali mendevaluasi yuan dan memangkas tingkat bunganya, maka hal itu akan merugikan posisi rupiah.

Sementara itu tak ada sentimen positif dari dalam negeri yang bisa diandalkan. Sektor riil masih menjerit-jerit karena suku bunga yang tak kunjung turun. BI pun terpaksa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,0% - 5,4% menjadi 4,7% - 5,1%. Turunnya angka ini disebabkan lambannya investasi swasta dan pemerintah. “Penyerapan anggaran tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya,” ujar Agus Martowardojo, Gubernur BI.

Anehnya, kendati suasana cukup mencekam, otoritas moneter begitu percaya diri. Sikap itu tercermin dari revisi nilai tukar rupiah dari Rp 13.000 – Rp 13.200 menjadi Rp 13.000 – Rp 13.400 per dolar. Nah, sikap optimistis Gubernur BI inilah yang menjadi perhatian pasar.   Menurut seorang analis, angka itu kurang rasional. Alasannya, di kala BI rate menclok di 7,5% seperti sekarang ini, rupiah sudah berada di atas Rp 14.000 per dolar AS.

Jadi, mestinya nilai tukar yang dipatok BI lebih tinggi dari itu. Lantas, kenapa kurs dolar dipatok di level Rp 13.000 – Rp 13.400? Para analis menangkap sinyal, BI akan mengerek suku bunga acuannya agar rupiah bisa berada di kisaran itu. Dan kenaikan ini kemungkinan besar dilakukan jika The Fed benar-benar mengerek suku bunganya September ini. Masalahnya, jika BI rate naik, sektor riil bakal makin macet dan perekonomian melambat.  Itulah sebabnya, banyak yang tak yakin BI rate  akan naik.

Kalau terus berputar begini, rupiah bakal 'nyungsep' dan collapse, guys !

[ bmw / Inrev ]
View

Related

HEADLINES 2671332656629928332

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item