Mengapa Manusia Memiliki Rasa Takut ?
https://kabar22.blogspot.com/2015/10/mengapa-manusia-memiliki-rasa-takut.html
BLOKBERITA -- Walaupun terkesan menakutkan dan membuat
jantung berdegup dengan kencang, ternyata menonton film horor dapat
membuat otak seseorang lebih sehat, membuat semakin pintar dan ternyata
membuat tubuh rileks. Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ketika
menonton film horor, ada orang-orang yang merasa stres, namun ada juga
yang menikmatinya dan rela untuk menontonnya berulang-ulang kali.
Dikutip dari CNN, Sabtu (31/10/15), ketakutan adalah perilaku adaptif yang kita miliki untuk membantu mengidentifikasi ancaman. Ini adalah kemampuan yang telah memungkinkan kita sebagai manusia untuk bertahan hidup dari predator dan bencana alam.
Apa itu rasa takut dan mengapa manusia harus mempunyainya? Ilmu pengetahuan bisa menjelaskannya.
Ketakutan Bawaan
Kita dilahirkan dengan hanya dua ketakutan bawaan, yaitu takut jatuh dan takut dengan suara keras.
Sebuah studi di tahun 1960 mengevaluasi persepsi secara mendalam terhadap bayi berusia 6-14 bulan dan hewan muda. Para peneliti menempatkan plexiglass untuk menampilkan 'tebing visual', hanya untuk memastikan bahwa berapa banyak subyek penelitian yang akan menginjaknya. Tapi hasilnya, kebanyakan dari subyek penelitian hanya berdiam diri dan tidak berani untuk melewatinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan adalah naluri yang diperlukan dalam kelangsungan hidup spesies.
Lalu, ketika mendengar suara yang keras, kemungkinan besar manusia akan bereaksi dengan cara melawan. Seth Norrholm, seorang neuroscientist translasi di Emory University. Norrholm menjelaskan bahwa jika suara cukup keras manusia akan merundukkan kepalanya. "Ini adalah respon yang kita miliki, yang memberikan suatu sinyal bahwa hal berbahaya mungkin ada di sekitar kita," jelas Norrholm.
Mempelajari ketakutan
Kebanyakan dari ketakutan itu dapat dipelajari. Contohnya seperti laba-laba, ular, kegelapan, adalah ketakutan yang alami terjadi. Biasanya ketakutan tersebut muncul saat usia kita muda kebanyakan dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya, jadi anak-anak tidak otomatis takut laba-laba.
Seiring dengan bertambahnya usia, ketakutan dikembangkan karena asosiasi. Norrholm membandingkannya dengan seorang veteran perang yang berhasil bertahan dengan bom yang tersembunyi dalam tas belanjanya. Jika orang lain melihat hal tersebut, pasti mereka akan mengambil tas belanja yang lain. "Hal ini disebabkan karena ia mempunyai respon untuk melawan. Ini adalah sebuah asosiasi yang telah dibuat antara isyarat dan hasil ketakutan," ungkap Norrholm.
"Ini merupakan respon yang sama yang dimiliki oleh seorang anak ketika melihat dekorasi menyeramkan di pesta halloween. Semuanya berhubungan dengan konteks. Anak itu mungkin tidak tahu bahwa kerangka atau tengkorak adalah hal yang menakutkan, tetapi kita orang tuanya mengatakan secara berulang-ulang bahwa tengkorak sangat menyeramkan ia menjadi terpengaruh dan akhirnya beranggapan bahwa dekorasi tengkorak untuk pesta halloween sangat menyeramkan," lanjut Norrholm menjelaskan.
Bagaimana otak kita mengolah ketakutan?
Menurut Norrholm, ketika kita dihadapkan dengan sesuatu yang dapat membuat takut, otak akan bereaksi dengan melawan atau diam. Misalnya, jika melihat ular saat sedang mendaki gunung di hutan, di dalam otak akan tercipta dua reaksi.
Reaksi pertama adalah sistem sensorik di amigdala otak mulai bereaksi dengan memberi perintah ke otak terhadap apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita cium baunya bahwa ini adalah sesuatu hal yang harus ditakuti. Respon adrenalin memberitahu jantung untuk berdetak lebih cepat dan membuat tubuh berkeringat.
Secara hampir bersamaan, ada reaksi kedua yang membuat manusia berpikir secara tenang, bisa jadi karena sudah pernah berhadapan dengan hal seperti itu sebelumnya.
"Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mencari sensasi seperti apa yang menyenangkan seperti berjudi dan makan dapat melepaskan dopamin," jelas Norrholm.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang membantu kita untuk mengontrol penghargaan dan kesenangan pada otak kita. "Kita tahu bahwa semakin kita menghargai sesuatu, maka akan semakin banyak yang mereka lakukan," lanjutnya.
Menurut Norrholm, penelitian menunjukkan bahwa melakukan hal-hal yang sensasional tidak lah berbahaya. Contohnya atlet olahraga ekstrim, mereka terus melakukan hal-hal berbahaya karena setiap mereka melakukannya, mereka tetap bertahan hidup.
"Ada beberapa orang yang benar-benar menikmati ketakutan atau menikmati hidup dalam ketakutan," ungkap Glenn Sparks, seorang profesor komunikasi di Universitas Purdue. Sparks adalah seorang ahli dalam dampak kognitif dan emosional dari media terutama film horror.
"Beberapa orang malah mencari pengalaman yang sangat sensasional, karena ketika mereka mendapatkan pengalaman itu, adrenalin mereka jadi terpacu. Contoh sederhananya adlaah penikmat film horror dan juga penikmat roller coaster," lanjut Sparks menjelaskan.
Sparks mengungkapkan bahwa mencari sensasi kebanyakan dilakukan oleh pria. Hal ini disebabkan karena pria telah disosialisasikan untuk tidak menunjukkan tanda-tanda saat sedang tertekan, tetapi untuk menaklukkannya. Sedangkan wanita sangat wajar untuk menunjukkan tanda-tanda saat tertekan," kata Sparks.
Sparks menjelaskan bahwa sebuah studi menunjukkan manusia dapat mengatasi beberapa ketakutan dengan terus-menerus menghadapi ketakutan itu. Contohnya olahraga ekstrim, film horror, ular dan laba-lab. Karena ketika kita semakin menghadapinya tingkat toleransi akan tumbuh dengan sendirinya.
Tetapi yang perlu diingat adalah takut bukan lah sesuatu hal yang buruk, itu merupakan mekanisme untuk bertahan hidup bagi manusia selama jutaan tahun. (ang/dtc)
Dikutip dari CNN, Sabtu (31/10/15), ketakutan adalah perilaku adaptif yang kita miliki untuk membantu mengidentifikasi ancaman. Ini adalah kemampuan yang telah memungkinkan kita sebagai manusia untuk bertahan hidup dari predator dan bencana alam.
Apa itu rasa takut dan mengapa manusia harus mempunyainya? Ilmu pengetahuan bisa menjelaskannya.
Ketakutan Bawaan
Kita dilahirkan dengan hanya dua ketakutan bawaan, yaitu takut jatuh dan takut dengan suara keras.
Sebuah studi di tahun 1960 mengevaluasi persepsi secara mendalam terhadap bayi berusia 6-14 bulan dan hewan muda. Para peneliti menempatkan plexiglass untuk menampilkan 'tebing visual', hanya untuk memastikan bahwa berapa banyak subyek penelitian yang akan menginjaknya. Tapi hasilnya, kebanyakan dari subyek penelitian hanya berdiam diri dan tidak berani untuk melewatinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan adalah naluri yang diperlukan dalam kelangsungan hidup spesies.
Lalu, ketika mendengar suara yang keras, kemungkinan besar manusia akan bereaksi dengan cara melawan. Seth Norrholm, seorang neuroscientist translasi di Emory University. Norrholm menjelaskan bahwa jika suara cukup keras manusia akan merundukkan kepalanya. "Ini adalah respon yang kita miliki, yang memberikan suatu sinyal bahwa hal berbahaya mungkin ada di sekitar kita," jelas Norrholm.
Mempelajari ketakutan
Kebanyakan dari ketakutan itu dapat dipelajari. Contohnya seperti laba-laba, ular, kegelapan, adalah ketakutan yang alami terjadi. Biasanya ketakutan tersebut muncul saat usia kita muda kebanyakan dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya, jadi anak-anak tidak otomatis takut laba-laba.
Seiring dengan bertambahnya usia, ketakutan dikembangkan karena asosiasi. Norrholm membandingkannya dengan seorang veteran perang yang berhasil bertahan dengan bom yang tersembunyi dalam tas belanjanya. Jika orang lain melihat hal tersebut, pasti mereka akan mengambil tas belanja yang lain. "Hal ini disebabkan karena ia mempunyai respon untuk melawan. Ini adalah sebuah asosiasi yang telah dibuat antara isyarat dan hasil ketakutan," ungkap Norrholm.
"Ini merupakan respon yang sama yang dimiliki oleh seorang anak ketika melihat dekorasi menyeramkan di pesta halloween. Semuanya berhubungan dengan konteks. Anak itu mungkin tidak tahu bahwa kerangka atau tengkorak adalah hal yang menakutkan, tetapi kita orang tuanya mengatakan secara berulang-ulang bahwa tengkorak sangat menyeramkan ia menjadi terpengaruh dan akhirnya beranggapan bahwa dekorasi tengkorak untuk pesta halloween sangat menyeramkan," lanjut Norrholm menjelaskan.
Bagaimana otak kita mengolah ketakutan?
Menurut Norrholm, ketika kita dihadapkan dengan sesuatu yang dapat membuat takut, otak akan bereaksi dengan melawan atau diam. Misalnya, jika melihat ular saat sedang mendaki gunung di hutan, di dalam otak akan tercipta dua reaksi.
Reaksi pertama adalah sistem sensorik di amigdala otak mulai bereaksi dengan memberi perintah ke otak terhadap apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita cium baunya bahwa ini adalah sesuatu hal yang harus ditakuti. Respon adrenalin memberitahu jantung untuk berdetak lebih cepat dan membuat tubuh berkeringat.
Secara hampir bersamaan, ada reaksi kedua yang membuat manusia berpikir secara tenang, bisa jadi karena sudah pernah berhadapan dengan hal seperti itu sebelumnya.
"Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mencari sensasi seperti apa yang menyenangkan seperti berjudi dan makan dapat melepaskan dopamin," jelas Norrholm.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang membantu kita untuk mengontrol penghargaan dan kesenangan pada otak kita. "Kita tahu bahwa semakin kita menghargai sesuatu, maka akan semakin banyak yang mereka lakukan," lanjutnya.
Menurut Norrholm, penelitian menunjukkan bahwa melakukan hal-hal yang sensasional tidak lah berbahaya. Contohnya atlet olahraga ekstrim, mereka terus melakukan hal-hal berbahaya karena setiap mereka melakukannya, mereka tetap bertahan hidup.
"Ada beberapa orang yang benar-benar menikmati ketakutan atau menikmati hidup dalam ketakutan," ungkap Glenn Sparks, seorang profesor komunikasi di Universitas Purdue. Sparks adalah seorang ahli dalam dampak kognitif dan emosional dari media terutama film horror.
"Beberapa orang malah mencari pengalaman yang sangat sensasional, karena ketika mereka mendapatkan pengalaman itu, adrenalin mereka jadi terpacu. Contoh sederhananya adlaah penikmat film horror dan juga penikmat roller coaster," lanjut Sparks menjelaskan.
Sparks mengungkapkan bahwa mencari sensasi kebanyakan dilakukan oleh pria. Hal ini disebabkan karena pria telah disosialisasikan untuk tidak menunjukkan tanda-tanda saat sedang tertekan, tetapi untuk menaklukkannya. Sedangkan wanita sangat wajar untuk menunjukkan tanda-tanda saat tertekan," kata Sparks.
Sparks menjelaskan bahwa sebuah studi menunjukkan manusia dapat mengatasi beberapa ketakutan dengan terus-menerus menghadapi ketakutan itu. Contohnya olahraga ekstrim, film horror, ular dan laba-lab. Karena ketika kita semakin menghadapinya tingkat toleransi akan tumbuh dengan sendirinya.
Tetapi yang perlu diingat adalah takut bukan lah sesuatu hal yang buruk, itu merupakan mekanisme untuk bertahan hidup bagi manusia selama jutaan tahun. (ang/dtc)