Pengacara Hitam, Uang dan Narkoba

BLOKBERITA -- Masyarakat sudah sangat muak melihat aksi para pengacara hitam. Tapi daftar pengacara hitam justeru makin menjulang dan berjaya di Indonesia, oohh maigott....!

Para pengacara hitam di Indonesia tak cuma kaya-raya, mereka juga tampak kebal hukum. Kalau ada yang tersangkut masalah hukum, mereka selalu bisa lolos dengan cepat. Setelah itu kembali berjaya, dan kembali modar-mandir naik mobil super mewah seperti Ferrari, Lamborghini, Bentley dan sejenisnya.

Untuk meredakan kemuakan masyarakat, mereka juga suka bergaya Robin Hood dengan menawarkan jasa gratis kepada wong cilik yang sedang kena masalah hukum. Hanya saja, dalam kasus ‘kering’ ini mereka kerap kalah. Kekalahan yang tentu saja sangat penting untuk pencitraan bahwa mereka juga bisa dikalahkan, dan bersimpati pada nasib wong cilik.

Tapi masyarakat tentu paham, sandiwara tersebut hanya untuk menutupi ulah para pengacara hitam yang telah membuat ketidakpastian hukum menjadi-jadi. Sebuah ketidakpastian yang membuat banyak pengacara menjadi sangat kaya dengan memasang tarif setinggi-tingginya untuk membebaskan para pelanggar hukum, terutama koruptor. Mereka tampak tak perduli bahwa ketidakpastian tersebut telah menjadi penghalang utama investasi, yang sangat dibutuhkan oleh para pencari kerja.

Berkat ketidakpastian itu pula, ratusan mliar dollar uang Indonesia diparkir di luar negeri. Menurut kepala staf ahli Wapres Sofyan Wanandi, di Singapura saja jumlahnya bisa mencapai US$ 170 miliar!

Semua itu menyebabkan masyarakat umum secara ekonomi dan hukum merasa tak berdaya. Mereka hanya bisa bergumam atau mencaci-maki di internet sambil bermimpi tentang penegakan hukum yang lebih baik. Hanya saja, di saat yang sama, para pengacara hitam terus beraksi untuk membebaskan para koruptor dan penjahat lainnya.

Berkat hubungan luar biasa dengan para penegak hukum lainnya, para berbagai kisah mencengangkan pun telah dibukukan oleh para pengacara tersebut. Di antaranya adalah membebaskan buronan Sujiono Timan, yang terjerat kasus korupsi bernilai Rp 2 triliun, dalam keadaan buron; PNS di Batam bernama Niwen Khaeriyah, yang punya rekening Rp 1,3 triliun; dan jendral polisi berbintang tiga karena dinyatakan bukan ‘aparat penegak hukum dan penyelenggara negara’ oleh sidang praperadilan.

Kini masyarakat dibuat heboh oleh aksi KPK menangkap pengacara kondang dan kaya-raya OC Kaligis, yang telah berulangkali sukses menjadi pengacara para koruptor kelas kakap. Sebelum ditangkap, Kaligis menentang rekomendasi Komisi Yudisial yang melarang hakim Sapin Rizaldi bersidang (non-palu) selama 6 bulan. KY, katanya, telah bertindak seperti LSM dan wewenangnya hanya sebatas moral.

KY sendiri beralasan, rekomendasi skorsing itu diputuskan karena Sarpin melanggar beberapa prinsip. Pelanggaran terberat berupa ketidak-telitian dalam mengutip keterangan ahli. Akibatnya pertimbangan yang dipakai Sarpin untuk mengambil keputusan justru bertentangan dengan yang disampaikan oleh para ahli tersebut.

Untuk menghadapi KY, Sarpin dibela gratis oleh pengacara kondang Hotma Sitompoel. Hotma pula yang telah melaporkan ketua KY Suparman Marzuki , dan komisioner Taufiqurrohman Syahuri ke Bareskrim atas atas tuduhan pencemaran nama baik. Berkat laporan ini, kedua pentolan KY tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim.

Perlu juga dicatat, keponakan Hotma yang juga pengacara, Mario C Bernardo, pada 2013 lalu ditangkap oleh KPK. Dia ditangkap di kantor Hotma karena melakukan penyuapan dalam Kasasi sebuah kasus penipuan di Mahkamah Agung. Tapi Hotma lolos karena tak ada bukti yang mengaitkan aksi sang keponakan dengan dirinya.

Meski tak menaruh harapan bahwa aneka drama di atas akan membawa Indonesia menuju penegakan hukum lebih baik, masyarakat tentu penasaran untuk menyaksikan siapa yang akan menjadi pemenang. Bila nanti berakhir dengan kejayaan yang makin gemilang bagi para pengacara hitam, masyarakat tampaknya tak akan heran.

Sesungguhnya banyak ide telah dilontarkan untuk memperbaiki praktek kepengacaraan di Indonesia. Salah satunya adalah model Belanda. Pada 2012 lalu, seorang pengacara ternama Belanda, Bram Mozkowics, dicabut izin prakteknya. Mozkowics adalah pengacara yang menangani berbagai kasus besar yang melibatkan orang-orang terkenal.

Di antara klien yang membuat namanya menjulang adalah politisi anti Islam Geert Wilders, dan god father dunia hitam Belanda Willem Holleeder. Hanya saja, kegigihannya membela para tokoh tersebut membuahkan banyak protes dari masyarakat. Mozkowics dituding sebagai biang keladi merebaknya SARA dan dunia kejahatan.

Keluhan demikian hebat itu ditanggapi oleh Komisi Disiplin Advokat Belanda dengan melarang Moszkowicz berpraktek pengacara seumur hidup. Komisi ini menganggap Mozkowics tak peduli pada keluhan masyarakat tentang caranya beracara, dan tak disiplin dalam membuat laporan ke kantor pajak atas penerimaannya dari para klien.

Namun, di Indonesia, membangun komisi disiplin seperti itu bukanlah perkara mudah. Para pengacara hitam akan melakukan perlawanan sengit, termasuk melaporkan para anggota komisi tersebut ke Bareskrim. Lalu, setelah ditetapkan sebagai tersangka, presiden membuat surat untuk melengserkannya.

Bisa jadi, para pengacara hitam tersebut tentu hafal betul celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Salah satu celah tersebut, selain uang, adalah Narkoba. Maklum, dunia hukum Indonesia sudah berkali-kali dicoreng oleh kasus hakim, jaksa, dan polisi pecandu Narkoba. Ada hakim Puji Wijayanto, jaksa Tesar Esandra, Komisaris Polisi Sunhot Silalahi yang memperkuat opini publik bahwa masalah uang haram dan narkoba di lingkungan penegak hukum ibarat fenomena gunung es.

[ bin / Inrev ]
View

Related

HUKRIM 6821495334386374672

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item