Ultimatum The Fed


BLOKBERITA -- The Fed masih ragu-ragu mengerek suku bunga acuan. Tapi, semuanya bisa berubah secara mengejutkan.

Kamis pekan lalu boleh dibilang merupakan hari yang menentukan bagi para pemilik uang untuk mengambil sikap. Sebab, dari hasil Federal Open Market Committee (FOCM) itu pelaku pasar uang bisa menduga-duga langkah yang apa akan diambil The Fed. Sayang, seperti yang sudah-sudah, pertemuan FOMC kali ini pun tidak memberi gambaran apakah The Fed akan mengerek suku bunganya.

Jadi, wajar jika banyak investor yang kecewa. Soalnya, beberapa hari sebelum pertemuan FOMC digelar, banyak pemilik uang yang mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed dengan mengoleksi dolar. Tujuannya, apa lagi kalau bukan demi mengamankan kekayaan mereka dari ancaman kerugian kurs.

Aksi pengamanan itu sudah mulai tampak sejak Senin pekan lalu. Setelah mencoba bangkit sepanjang Senin (27/7) hingga Kamis (30/7), rupiah kembali terjungkal. Pada perdagangan hari Kamis, misalnya, mata uang kesayangan rakyat Indonesia itu ditutup melemah ke level Rp 13.548 per dolar. Sehingga, jika dibandingkan dengan sepekan sebelumnya, nilai tukar rupiah melemah Rp 38.

Hari Senin (3/8/2015) ini rupiah terapreasiasi 0,21% atau menguat 29 poin ke Rp 13.510 pada penutupan pasar spot. Mata uang Garuda hari ini bergerak antara level Rp 13.465—Rp 13.542 per dolar AS setelah dibuka menguat 0,18% ke Rp 13.514 per dolar AS.

Rupiah adalah mata uang dengan penguatan paling tajam di Asia setelah won dan rupee. Won Korea Selatan naik 0,38%, sedangkan rupee naik 0,28%.

Sedikit menguatnya rupiah hari ini, karena ada sebagian investor yang yakin bahwa kenaikan suku bunga The Fed tidak akan terjadi di bulan September. Betul, perekonomian Amerika Serikat (AS) sepanjang kuartal II diperkirakan tumbuh 2% dan tingkat upah naik 0,7%. Namun membaiknya indikator ekonomi itu belum bisa dijadikan pijakan oleh The Fed karena masih belum stabil.

Angka consumer confidence bulan Juli, yang turun dari 99,8 menjadi 90,9, mungkin bisa jadi contoh. Itu sebabnya, mengapa The Fed sampai saat ini masih gamang dalam mengerek suku bunganya. Apalagi masih ada kekahawatiran pelemahan ekonomi China akan berdampak ke AS. Tapi, memang, semuanya bisa berubah jika data mengenai lapangan kerja yang bakal diterbitkan 7 Agustus dan 4 September depan semakin membaik.

Keragu-raguan The Fed dalam mengerek suku bunga ini, tampaknya, sudah diantisipasi oleh sebagian pelaku pasar uang. Itu sebabnya, permintaan dolar kali ini tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya. Apalagi, BI sebagai otoritas moneter belakangan ini terlihat semakin ketat dalam menjaga pasar. Itu sebabnya, kalangan analis memperkirakan, beberapa pekan ke depan rupiah akan relatif stabil.

Tekanan terhadap mata uang RI juga semakin tidak terlalu besar lantaran harga minyak dunia masih anteng di kisaran US$ 50 per barel. Melemahnya harga si emas hitam ini, syukur Alhamdulillah, didukung oleh penurunan konsumsi BBM di dalam negeri. Pemicunya, selain melambatnya perekonomian, kini musim mudik dan arus balik telah habis. Dengan demikian, diharapkan, Pertamina tak perlu memborong dolar untuk mengimpor minyak.

Lantas, bagaimana dengan rencana perombakan kabinet yang akan dilakukan Jokowi? Memang hal itu bakal berpengaruh, tapi sifatnya hanya jangka pendek. Pelaku pasar tidak akan peduli terhadap siapa pun yang nanti akan menduduki kursi pengendali ekonomi di kabinet Jokowi - JK. Yang penting, kebijakan yang ditelurkan sang pejabat mesti pro pasar.

Hanya saja, para pengusaha atau bankir jangan berharap banyak BI akan menurunkan tingkat bunganya. Sebab, kemarau panjang diyakini akan mendongkrak tingkat inflasi. Apalagi, rencana kenaikan suku bunga The Fed masih mengancam rupiah. Sehingga, Rapat Dewan Gubernur BI pekan ini diperkirakan tak akan mengubah BI rate.

Tapi, sekali lagi, rupiah yang relatif stabil itu diperkirakan hanya berlangsung sementara, selama investor asing melihat negeri ini bisa mendatangkan untung besar. Makanya, jangan terlalu mengandalkan dana panas, karena model menarik uang semacam ini bisa berbahaya bagi perekonomian nasional. Buatlah kebijakan yang strategis, sehingga modal luar negeri yang masuk ke sini bukan hanya ingin menikmati bunga tinggi, tapi iklim investasi yang menarik, aman dan nyaman.

[ bmw / Inrev ]
onesianReview.com -- The Fed masih ragu-ragu mengerek suku bunga acuan. Tapi, semuanya bisa berubah secara mengejutkan.
Kamis pekan lalu boleh dibilang merupakan hari yang menentukan bagi para pemilik uang untuk mengambil sikap. Sebab, dari hasil Federal Open Market Committee (FOCM) itu pelaku pasar uang bisa menduga-duga langkah yang apa akan diambil The Fed. Sayang, seperti yang sudah-sudah, pertemuan FOMC kali ini pun tidak memberi gambaran apakah The Fed akan mengerek suku bunganya.
Jadi, wajar jika banyak investor yang kecewa. Soalnya, beberapa hari sebelum pertemuan FOMC digelar, banyak pemilik uang yang mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed dengan mengoleksi dolar. Tujuannya, apa lagi kalau bukan demi mengamankan kekayaan mereka dari ancaman kerugian kurs.
Aksi pengamanan itu sudah mulai tampak sejak Senin pekan lalu. Setelah mencoba bangkit sepanjang Senin (27/7) hingga Kamis (30/7), rupiah kembali terjungkal. Pada perdagangan hari Kamis, misalnya, mata uang kesayangan rakyat Indonesia itu ditutup melemah ke level Rp 13.548 per dolar. Sehingga, jika dibandingkan dengan sepekan sebelumnya, nilai tukar rupiah melemah Rp 38.
Hari Senin (3/8/2015) ini rupiah terapreasiasi 0,21% atau menguat 29 poin ke Rp 13.510 pada penutupan pasar spot. Mata uang Garuda hari ini bergerak antara level Rp 13.465—Rp 13.542 per dolar AS setelah dibuka menguat 0,18% ke Rp 13.514 per dolar AS.
Rupiah adalah mata uang dengan penguatan paling tajam di Asia setelah won dan rupee. Won Korea Selatan naik 0,38%, sedangkan rupee naik 0,28%.
Sedikit menguatnya rupiah hari ini, karena ada sebagian investor yang yakin bahwa kenaikan suku bunga The Fed tidak akan terjadi di bulan September. Betul, perekonomian Amerika Serikat (AS) sepanjang kuartal II diperkirakan tumbuh 2% dan tingkat upah naik 0,7%. Namun membaiknya indikator ekonomi itu belum bisa dijadikan pijakan oleh The Fed karena masih belum stabil.
Angka consumer confidence bulan Juli, yang turun dari 99,8 menjadi 90,9, mungkin bisa jadi contoh. Itu sebabnya, mengapa The Fed sampai saat ini masih gamang dalam mengerek suku bunganya. Apalagi masih ada kekahawatiran pelemahan ekonomi China akan berdampak ke AS. Tapi, memang, semuanya bisa berubah jika data mengenai lapangan kerja yang bakal diterbitkan 7 Agustus dan 4 September depan semakin membaik.
Keragu-raguan The Fed dalam mengerek suku bunga ini, tampaknya, sudah diantisipasi oleh sebagian pelaku pasar uang. Itu sebabnya, permintaan dolar kali ini tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya. Apalagi, BI sebagai otoritas moneter belakangan ini terlihat semakin ketat dalam menjaga pasar. Itu sebabnya, kalangan analis memperkirakan, beberapa pekan ke depan rupiah akan relatif stabil.
Tekanan terhadap mata uang RI juga semakin tidak terlalu besar lantaran harga minyak dunia masih anteng di kisaran US$ 50 per barel. Melemahnya harga si emas hitam ini, syukur Alhamdulillah, didukung oleh penurunan konsumsi BBM di dalam negeri. Pemicunya, selain melambatnya perekonomian, kini musim mudik dan arus balik telah habis. Dengan demikian, diharapkan, Pertamina tak perlu memborong dolar untuk mengimpor minyak.
Lantas, bagaimana dengan rencana perombakan kabinet yang akan dilakukan Jokowi? Memang hal itu bakal berpengaruh, tapi sifatnya hanya jangka pendek. Pelaku pasar tidak akan peduli terhadap siapa pun yang nanti akan menduduki kursi pengendali ekonomi di kabinet Jokowi - JK. Yang penting, kebijakan yang ditelurkan sang pejabat mesti pro pasar.
Hanya saja, para pengusaha atau bankir jangan berharap banyak BI akan menurunkan tingkat bunganya. Sebab, kemarau panjang diyakini akan mendongkrak tingkat inflasi. Apalagi, rencana kenaikan suku bunga The Fed masih mengancam rupiah. Sehingga, Rapat Dewan Gubernur BI pekan ini diperkirakan tak akan mengubah BI rate.
Tapi, sekali lagi, rupiah yang relatif stabil itu diperkirakan hanya berlangsung sementara, selama investor asing melihat negeri ini bisa mendatangkan untung besar. Makanya, jangan terlalu mengandalkan dana panas, karena model menarik uang semacam ini bisa berbahaya bagi perekonomian nasional. Buatlah kebijakan yang strategis, sehingga modal luar negeri yang masuk ke sini bukan hanya ingin menikmati bunga tinggi, tapi iklim investasi yang menarik, aman dan nyaman.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/ancaman-fed#sthash.JdFUiQRT.dpuf
onesianReview.com -- The Fed masih ragu-ragu mengerek suku bunga acuan. Tapi, semuanya bisa berubah secara mengejutkan.
Kamis pekan lalu boleh dibilang merupakan hari yang menentukan bagi para pemilik uang untuk mengambil sikap. Sebab, dari hasil Federal Open Market Committee (FOCM) itu pelaku pasar uang bisa menduga-duga langkah yang apa akan diambil The Fed. Sayang, seperti yang sudah-sudah, pertemuan FOMC kali ini pun tidak memberi gambaran apakah The Fed akan mengerek suku bunganya.
Jadi, wajar jika banyak investor yang kecewa. Soalnya, beberapa hari sebelum pertemuan FOMC digelar, banyak pemilik uang yang mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed dengan mengoleksi dolar. Tujuannya, apa lagi kalau bukan demi mengamankan kekayaan mereka dari ancaman kerugian kurs.
Aksi pengamanan itu sudah mulai tampak sejak Senin pekan lalu. Setelah mencoba bangkit sepanjang Senin (27/7) hingga Kamis (30/7), rupiah kembali terjungkal. Pada perdagangan hari Kamis, misalnya, mata uang kesayangan rakyat Indonesia itu ditutup melemah ke level Rp 13.548 per dolar. Sehingga, jika dibandingkan dengan sepekan sebelumnya, nilai tukar rupiah melemah Rp 38.
Hari Senin (3/8/2015) ini rupiah terapreasiasi 0,21% atau menguat 29 poin ke Rp 13.510 pada penutupan pasar spot. Mata uang Garuda hari ini bergerak antara level Rp 13.465—Rp 13.542 per dolar AS setelah dibuka menguat 0,18% ke Rp 13.514 per dolar AS.
Rupiah adalah mata uang dengan penguatan paling tajam di Asia setelah won dan rupee. Won Korea Selatan naik 0,38%, sedangkan rupee naik 0,28%.
Sedikit menguatnya rupiah hari ini, karena ada sebagian investor yang yakin bahwa kenaikan suku bunga The Fed tidak akan terjadi di bulan September. Betul, perekonomian Amerika Serikat (AS) sepanjang kuartal II diperkirakan tumbuh 2% dan tingkat upah naik 0,7%. Namun membaiknya indikator ekonomi itu belum bisa dijadikan pijakan oleh The Fed karena masih belum stabil.
Angka consumer confidence bulan Juli, yang turun dari 99,8 menjadi 90,9, mungkin bisa jadi contoh. Itu sebabnya, mengapa The Fed sampai saat ini masih gamang dalam mengerek suku bunganya. Apalagi masih ada kekahawatiran pelemahan ekonomi China akan berdampak ke AS. Tapi, memang, semuanya bisa berubah jika data mengenai lapangan kerja yang bakal diterbitkan 7 Agustus dan 4 September depan semakin membaik.
Keragu-raguan The Fed dalam mengerek suku bunga ini, tampaknya, sudah diantisipasi oleh sebagian pelaku pasar uang. Itu sebabnya, permintaan dolar kali ini tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya. Apalagi, BI sebagai otoritas moneter belakangan ini terlihat semakin ketat dalam menjaga pasar. Itu sebabnya, kalangan analis memperkirakan, beberapa pekan ke depan rupiah akan relatif stabil.
Tekanan terhadap mata uang RI juga semakin tidak terlalu besar lantaran harga minyak dunia masih anteng di kisaran US$ 50 per barel. Melemahnya harga si emas hitam ini, syukur Alhamdulillah, didukung oleh penurunan konsumsi BBM di dalam negeri. Pemicunya, selain melambatnya perekonomian, kini musim mudik dan arus balik telah habis. Dengan demikian, diharapkan, Pertamina tak perlu memborong dolar untuk mengimpor minyak.
Lantas, bagaimana dengan rencana perombakan kabinet yang akan dilakukan Jokowi? Memang hal itu bakal berpengaruh, tapi sifatnya hanya jangka pendek. Pelaku pasar tidak akan peduli terhadap siapa pun yang nanti akan menduduki kursi pengendali ekonomi di kabinet Jokowi - JK. Yang penting, kebijakan yang ditelurkan sang pejabat mesti pro pasar.
Hanya saja, para pengusaha atau bankir jangan berharap banyak BI akan menurunkan tingkat bunganya. Sebab, kemarau panjang diyakini akan mendongkrak tingkat inflasi. Apalagi, rencana kenaikan suku bunga The Fed masih mengancam rupiah. Sehingga, Rapat Dewan Gubernur BI pekan ini diperkirakan tak akan mengubah BI rate.
Tapi, sekali lagi, rupiah yang relatif stabil itu diperkirakan hanya berlangsung sementara, selama investor asing melihat negeri ini bisa mendatangkan untung besar. Makanya, jangan terlalu mengandalkan dana panas, karena model menarik uang semacam ini bisa berbahaya bagi perekonomian nasional. Buatlah kebijakan yang strategis, sehingga modal luar negeri yang masuk ke sini bukan hanya ingin menikmati bunga tinggi, tapi iklim investasi yang menarik, aman dan nyaman.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/ancaman-fed#sthash.JdFUiQRT.dpuf
View

Related

HEADLINES 8019714778033218302

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item