Meeting Kemenaker dan Perwakilan Buruh Bahas JHT Tanpa Solusi
https://kabar22.blogspot.com/2015/07/meeting-kemenaker-dan-perwakilan-buruh.html
JAKATA, BLOKBERITA -- Pertemuan 83 perwakilan serikat buruh dengan Kementerian
Ketenagakerjaan untuk membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 46
Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) dinilai fomalitas. Pasalnya,
pertemuan 2,5 jam itu tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan para pekerja/buruh.
Ketua Umum Serikat pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan mengatakan, PP tersebut tidak masuk akal, jika pencairan dana JHT dilakukan setelah pekerja menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan minimal 10 tahun dan pencairan JHT penuh baru bisa dilakukan setelah berusia 56 tahun.
" Kan kami sampaikan, PP jangan menunggu sampai 10 tahun atau tunggu pensiun sampai 56 tahun, ini nggak bisa diterima," jelas Iwan dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Kemenaker, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kemarin.
Menurut Iwan, pertemuan tersebut hanya sebagai formalitas belaka dan tidak memberikan hasil apa-apa. "Masa dana kita yang punya, tetapi yang ribut malah pemerintah sama pengusaha. Harusnya kalau mau susun Peraturan Pemerintah itu kita dilibatkan sebagai pemilik dana. JHT Harus diubah, kalau perlu dicabut undang-undangnya," ujarnya.
Iwan menyebut, pertemuan ini hanya sebagai respons pemerintah untuk menjawab kritikan masyarakat. "Jadi, ini cuma formalitas aja kalau sifatnya hanya pertemuan," ujar Iwan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, ricuh soal perubahan pencairan JHT adalah kesalahan Kemenaker. "Yang salah kan birokrasi yang membuat peraturan. Apa (Kemenaker) tidak kasihan sama presiden, setelah kasus fasilitas mobil, sekarang soal JHT," kata Said di tempat yang sama.
Said mengatakan, jangan sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi) salah menandatangani peraturan. Dia meminta kementerian memberikan aturan yang benar untuk diteken presiden.
" Presiden sudah beberapa kali salah tanda tangan. Apa ini disengaja atau apa. Seolah peraturan ini dibuat untuk menjatuhkan presiden. Kalau buat peraturan yang benarlah, jangan sampai ini malah merugikan presiden kita. Kalau peraturan kan bisa diganti, masa karena ini presidennya juga diganti," ujarnya.
Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 09.30-12.00 WIB, hadir 83 perwakilan serikat buruh di Indonesia. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Hayani Rumondang; Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Muji Handaya; dan Direktur Pengupahan Wahyu Widodo juga hadir.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsostek, Hayani Rumondang mengatakan, pertemuannya dengan serikat buruh untuk menyampaikan hasil verifikasi PP yang akan direvisi.
" Kita tidak ada kesimpulan, karena ini hanya dialog saja. Ada usulan dari buruh dan sebagainya, ya kita akan siapkan," ujar Hayani.
Dia melanjutkan, percakapan dari pertemuan ini akan ditindaklanjuti pihaknya. "Ada beberapa poin yang dilontarkan. Jadi ini bukan karena formalitas saja, kita sudah merencanakan bahwa kami memang akan membuat pertemuan dengan buruh," ujarnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mengkritisi kebijakan BPJS Ketenagakerjaan soal pencairan dana JHT yang tidak pro pada buruh/pekerja. Kebijakan tersebut merupakan buntut dari keluarnya PP JHT yang mengatur masa waktu pencairan dana JHT.
" Aturan baru Direksi BPJS Ketenagakerjaan ini mengindikasikan masih adanya raja-raja kecil di BPJS Ketenagakerjaan yang secara sengaja telah mengabaikan hak pekerja untuk dapat memperoleh manfaat pasti," katanya di Jakarta, kemarin.
Dia menyebutkan, Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 40 Tahun 2004 menyatakan dana jaminan sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta dalam hal ini adalah para pekerja atau buruh. "Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh menafsirkan sendiri UU 40/2004 serta mengabaikan hak dari peserta sebagai pemberi amanat," ujarnya.
Tidak hanya itu, keputusan pembatasan pencairan dana JHT juga terkesan lebih memprioritaskan aspek pengembangan dana jaminan sosial pada instrumen investasi dibandingkan memaksimalkan pemberian manfaat kepada peserta. Alasannya, jika hasil pengembangannya tinggi tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan termasuk pemberian bonus dan kenaikan gaji direksi dan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, Menaker M Hanif Dhakiri mengaku sudah mendapat arahan dari Presiden Jokowi untuk mengatasi masalah dimana buruh dan pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar dapat segera mencairkan dana JHT.
" Pengecualiannya adalah bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT hanya dengan masa tunggu satu bulan, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. Itu arahan Presiden," katanya.
[ bmw / rmol ]
Ketua Umum Serikat pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan mengatakan, PP tersebut tidak masuk akal, jika pencairan dana JHT dilakukan setelah pekerja menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan minimal 10 tahun dan pencairan JHT penuh baru bisa dilakukan setelah berusia 56 tahun.
" Kan kami sampaikan, PP jangan menunggu sampai 10 tahun atau tunggu pensiun sampai 56 tahun, ini nggak bisa diterima," jelas Iwan dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Kemenaker, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kemarin.
Menurut Iwan, pertemuan tersebut hanya sebagai formalitas belaka dan tidak memberikan hasil apa-apa. "Masa dana kita yang punya, tetapi yang ribut malah pemerintah sama pengusaha. Harusnya kalau mau susun Peraturan Pemerintah itu kita dilibatkan sebagai pemilik dana. JHT Harus diubah, kalau perlu dicabut undang-undangnya," ujarnya.
Iwan menyebut, pertemuan ini hanya sebagai respons pemerintah untuk menjawab kritikan masyarakat. "Jadi, ini cuma formalitas aja kalau sifatnya hanya pertemuan," ujar Iwan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, ricuh soal perubahan pencairan JHT adalah kesalahan Kemenaker. "Yang salah kan birokrasi yang membuat peraturan. Apa (Kemenaker) tidak kasihan sama presiden, setelah kasus fasilitas mobil, sekarang soal JHT," kata Said di tempat yang sama.
Said mengatakan, jangan sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi) salah menandatangani peraturan. Dia meminta kementerian memberikan aturan yang benar untuk diteken presiden.
" Presiden sudah beberapa kali salah tanda tangan. Apa ini disengaja atau apa. Seolah peraturan ini dibuat untuk menjatuhkan presiden. Kalau buat peraturan yang benarlah, jangan sampai ini malah merugikan presiden kita. Kalau peraturan kan bisa diganti, masa karena ini presidennya juga diganti," ujarnya.
Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 09.30-12.00 WIB, hadir 83 perwakilan serikat buruh di Indonesia. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Hayani Rumondang; Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Muji Handaya; dan Direktur Pengupahan Wahyu Widodo juga hadir.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsostek, Hayani Rumondang mengatakan, pertemuannya dengan serikat buruh untuk menyampaikan hasil verifikasi PP yang akan direvisi.
" Kita tidak ada kesimpulan, karena ini hanya dialog saja. Ada usulan dari buruh dan sebagainya, ya kita akan siapkan," ujar Hayani.
Dia melanjutkan, percakapan dari pertemuan ini akan ditindaklanjuti pihaknya. "Ada beberapa poin yang dilontarkan. Jadi ini bukan karena formalitas saja, kita sudah merencanakan bahwa kami memang akan membuat pertemuan dengan buruh," ujarnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mengkritisi kebijakan BPJS Ketenagakerjaan soal pencairan dana JHT yang tidak pro pada buruh/pekerja. Kebijakan tersebut merupakan buntut dari keluarnya PP JHT yang mengatur masa waktu pencairan dana JHT.
" Aturan baru Direksi BPJS Ketenagakerjaan ini mengindikasikan masih adanya raja-raja kecil di BPJS Ketenagakerjaan yang secara sengaja telah mengabaikan hak pekerja untuk dapat memperoleh manfaat pasti," katanya di Jakarta, kemarin.
Dia menyebutkan, Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 40 Tahun 2004 menyatakan dana jaminan sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta dalam hal ini adalah para pekerja atau buruh. "Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh menafsirkan sendiri UU 40/2004 serta mengabaikan hak dari peserta sebagai pemberi amanat," ujarnya.
Tidak hanya itu, keputusan pembatasan pencairan dana JHT juga terkesan lebih memprioritaskan aspek pengembangan dana jaminan sosial pada instrumen investasi dibandingkan memaksimalkan pemberian manfaat kepada peserta. Alasannya, jika hasil pengembangannya tinggi tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan termasuk pemberian bonus dan kenaikan gaji direksi dan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, Menaker M Hanif Dhakiri mengaku sudah mendapat arahan dari Presiden Jokowi untuk mengatasi masalah dimana buruh dan pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar dapat segera mencairkan dana JHT.
" Pengecualiannya adalah bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT hanya dengan masa tunggu satu bulan, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. Itu arahan Presiden," katanya.
[ bmw / rmol ]