Membangun Negara Dengan Modal Utang, Hemm...?

https://kabar22.blogspot.com/2015/05/membangun-negara-dengan-modal-utang-hemm.html
BLOKBERITA -- RRC sudah siap menggelontorkan pinjaman senilai Rp 625 triliun untuk membangun infrastruktur di Indonesia, demikian juga negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, AS, Rusia, World Bank, dan lain-lainnya.
Sejak APBNP 2015 disahkan oleh DPR, pemerintahan Presiden Jokowi membutuhkan anggaran untuk kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 507,5 triliun. Demikian pula, untuk menutupi defisit anggaran dalam APBNP tahun ini sebesar Rp 222,5 triliun. Tambah lagi, untuk pembayaran utang yang jatuh tempo sebesar Rp 223 triliun dan pembiayaan nonutang sebesar Rp 62 triliun. Sementara dana untuk menutupi pembiayaan terinci di atas, berasal dari utang sebesar Rp 502,4 triliun dan sebesar Rp 5,1 triliun dari non utang. Anggaran utang sebesar Rp 507,5 triliun hanya dipergunakan sebagai 'gali lubang tutup lubang', yang bernama utang. Bukan untuk kebutuhan investasi dalam bentuk proyek-proyek yang produktif.
Pada akhir tahun nanti pemerintahan Jokowi akan punya utang sebesar Rp 3.303 triliun, yang akan dibebankan pada pembayar pajak, artinya adalah bahwa setiap penduduk akan menanggung utang sebesar Rp 13 juta per kepala.
Utang memang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, di satu sisi utang akan sangat berguna bila negara yang berutang dapat mengolah pinjaman tersebut secara optimal untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Sehingga perekonomian dapat berjalan dengan lebih baik dan akan memicu perbaikan taraf hidup masyarakatnya dengan ditandai peningkatan PDB -- yang dapat dipakai sebagai salah satu tolok ukur kemakmuran suatu negara, sehingga pada akhirnya akan dapat memandirikan negara tersebut.
Namun perlu diingat bahwa keberanian suatu negara untuk berutang harus dibarengi perhitungan matang dengan mengetahui potensi sumber-sumber yang dimiliki, baik Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Ekonomi (SDE) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan untuk menjamin pengembalian pinjaman tersebut. Dengan perhitungan matang tidak akan terjadi seperti yang dialami oleh negara kita saat ini. Kita hanya dapat mengharapkan belas kasihan dari negara donatur dengan menjadwalkan kembali pembayaran utang luar negerinya.
Di sisi lain utang ini merupakan beban berat yang tidak saja harus ditanggung oleh negara semata tetapi juga seluruh masyarakatnya, bahkan sampai ke generasi selanjutnya. Oleh karena itulah utang memiliki dua sisi berbeda. Jika pinjaman tersebut dapat dipergunakan secara optimal tidaklah menjadi masalah namun jika sebaliknya, ini merupakan petaka yang harus ditanggung oleh negara yang akan makin memerosotkan perekonomian negara tersebut.
Indonesia selama ini dalam kenyataannya menempatkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan utama, padahal seharusnya sebagai sumber tambahan. Hal ini tentu akan sangat riskan, karena bisa muncul suatu ketergantungan yang makin lama makin besar terhadap utang tersebut.
Suatu negara yang telah tergantung pada utang luar negeri -- seperti halnya Indonesia- akan mengalami risiko besar yaitu terjerat perangkap utang. Negara yang telah masuk dalam jeratan tersebut, sistem ekonominya akan sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di luar. Lewat mekanisme utang luar negeri tersebut akan memudahkan pengaruh luar untuk menggoyahkan sistem perekonomian negara kita. Contohnya seperti adanya penguatan nilai mata uang yen terhadap dolar AS, yang akhirnya akan makin meningkatkan jumlah utang luar negeri Indonesia karena utang kita sebagian besar berupa yen.
Beban utang yang tinggi akhirnya justru akan menjadi bumerang bagi kita. Tekanan terhadap neraca pembayaran ataupun APBN akan makin meningkat yang pada akhirnya akan membuat perekonomian Indonesia dalam kondisi rentan. Apabila pembayaran utang luar negeri ini dipaksakan maka akan mengorbankan perekonomian dalam negeri. Memang jalan satu-satunya hanyalah dengan melakukan diplomasi untuk meminta "belas kasihan" negara donatur untuk menjadwalkan kembali pembayaran utang tersebut.
Risiko lainnya adalah birokrasi boros dengan pola ekonomi biaya tinggi. Hal ini terkait dengan "mudahnya" negara kita mendapatkan utang yang akhirnya akan membuat kita "terbuai", sehingga pengelolaan terhadap utang-utang yang didapat dilakukan dengan seenaknya, kurang memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas, ditambah lagi dengan adanya budaya korupsi yang kian akut maka makin boroslah birokrasi kita.
Sarang Korupsi
Telah menjadi rahasia umum bahwa besar-kecil utang luar negeri yang diterima akan mengakibatkan sangat tipis kemungkinan penyaluran utang tersebut dari "benalu negara" (koruptor). Pemerintah sendiri belum dapat menjamin bahwa utang luar negeri yang diterima tidak akan dijadikan ladang korupsi baru. Sehingga yang paling berbahagia dengan pencairan utang luar negeri adalah oknum-oknum para pengelolanya yang kelak akan menggerogoti utang luar negeri tersebut dulu sebelum efektif untuk menalangi anggaran dan membiayai pembangunan ekonomi kita.
Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah saat ini harus benar-benar mewujudkan political will untuk memerangi "bahaya laten" KKN, bukan hanya menjadikan wacana perang terhadap KKN sebagai bahan beretorika saja. Pemerintah harus secara tegas dan cepat mewujudkan clean governance, dimana eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bahu-membahu berusaha mewujudkan pemerintahan bersih ini. Apabila pemerintah gagal mewujudkan clean governance tersebut, yang pasti akan terjadi adalah utang baru yang akan diterima ini menjadi lahan baru bagi para koruptor.
Sebenarnya masalah utang piutang ini telah membuat pusing kedua belah pihak, baik negara donatur maupun Indonesia sebagai negara penerima utang. Negara donatur akan dipusingkan dengan makin sulit dan mustahilnya untuk dapat menagih piutangnya dari Indonesia akibat krisis yang belum juga berakhir Indonesia.
Sedangkan bagi Indonesia sebagai negara pengutang, masalah utang merupakan beban sangat berat dan sangat sulit untuk melepaskan diri dari jeratannya. Yang tidak pusing dengan permasalahan ini adalah para koruptor yang justru melihat utang itu sebagai lahan baru untuk menimbun lebih banyak tambahan kekayaan tanpa peduli dengan keadaan ekonomi negara yang kian terpuruk.
Akhirnya sangat diharapkan kelak utang luar negeri yang akan diterima dari negara atau donatur manapun, dapat dikelola sebaik mungkin. Juga semaksimal mungkin dijaga agar tidak mengalami kebocoran lagi. Para oknum pengelola utang (eksekutif) yang selama ini disinyalir sebagai "tikus-tikus pengerat" sangat diharapkan integritas, jiwa nasionalismenya, dan tidak memanfaatkan pencairan utang baru sebagai lahan korupsi baru untuk menimbun kekayaan 'panas' hingga tujuh turunan.
[ mrheal / bbcom / berbagai sumber ]
Sejak APBNP 2015 disahkan oleh DPR, pemerintahan Presiden Jokowi membutuhkan anggaran untuk kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 507,5 triliun. Demikian pula, untuk menutupi defisit anggaran dalam APBNP tahun ini sebesar Rp 222,5 triliun. Tambah lagi, untuk pembayaran utang yang jatuh tempo sebesar Rp 223 triliun dan pembiayaan nonutang sebesar Rp 62 triliun. Sementara dana untuk menutupi pembiayaan terinci di atas, berasal dari utang sebesar Rp 502,4 triliun dan sebesar Rp 5,1 triliun dari non utang. Anggaran utang sebesar Rp 507,5 triliun hanya dipergunakan sebagai 'gali lubang tutup lubang', yang bernama utang. Bukan untuk kebutuhan investasi dalam bentuk proyek-proyek yang produktif.
Pada akhir tahun nanti pemerintahan Jokowi akan punya utang sebesar Rp 3.303 triliun, yang akan dibebankan pada pembayar pajak, artinya adalah bahwa setiap penduduk akan menanggung utang sebesar Rp 13 juta per kepala.
Utang memang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, di satu sisi utang akan sangat berguna bila negara yang berutang dapat mengolah pinjaman tersebut secara optimal untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Sehingga perekonomian dapat berjalan dengan lebih baik dan akan memicu perbaikan taraf hidup masyarakatnya dengan ditandai peningkatan PDB -- yang dapat dipakai sebagai salah satu tolok ukur kemakmuran suatu negara, sehingga pada akhirnya akan dapat memandirikan negara tersebut.
Namun perlu diingat bahwa keberanian suatu negara untuk berutang harus dibarengi perhitungan matang dengan mengetahui potensi sumber-sumber yang dimiliki, baik Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Ekonomi (SDE) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan untuk menjamin pengembalian pinjaman tersebut. Dengan perhitungan matang tidak akan terjadi seperti yang dialami oleh negara kita saat ini. Kita hanya dapat mengharapkan belas kasihan dari negara donatur dengan menjadwalkan kembali pembayaran utang luar negerinya.
Di sisi lain utang ini merupakan beban berat yang tidak saja harus ditanggung oleh negara semata tetapi juga seluruh masyarakatnya, bahkan sampai ke generasi selanjutnya. Oleh karena itulah utang memiliki dua sisi berbeda. Jika pinjaman tersebut dapat dipergunakan secara optimal tidaklah menjadi masalah namun jika sebaliknya, ini merupakan petaka yang harus ditanggung oleh negara yang akan makin memerosotkan perekonomian negara tersebut.
Indonesia selama ini dalam kenyataannya menempatkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan utama, padahal seharusnya sebagai sumber tambahan. Hal ini tentu akan sangat riskan, karena bisa muncul suatu ketergantungan yang makin lama makin besar terhadap utang tersebut.
Suatu negara yang telah tergantung pada utang luar negeri -- seperti halnya Indonesia- akan mengalami risiko besar yaitu terjerat perangkap utang. Negara yang telah masuk dalam jeratan tersebut, sistem ekonominya akan sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di luar. Lewat mekanisme utang luar negeri tersebut akan memudahkan pengaruh luar untuk menggoyahkan sistem perekonomian negara kita. Contohnya seperti adanya penguatan nilai mata uang yen terhadap dolar AS, yang akhirnya akan makin meningkatkan jumlah utang luar negeri Indonesia karena utang kita sebagian besar berupa yen.
Beban utang yang tinggi akhirnya justru akan menjadi bumerang bagi kita. Tekanan terhadap neraca pembayaran ataupun APBN akan makin meningkat yang pada akhirnya akan membuat perekonomian Indonesia dalam kondisi rentan. Apabila pembayaran utang luar negeri ini dipaksakan maka akan mengorbankan perekonomian dalam negeri. Memang jalan satu-satunya hanyalah dengan melakukan diplomasi untuk meminta "belas kasihan" negara donatur untuk menjadwalkan kembali pembayaran utang tersebut.
Risiko lainnya adalah birokrasi boros dengan pola ekonomi biaya tinggi. Hal ini terkait dengan "mudahnya" negara kita mendapatkan utang yang akhirnya akan membuat kita "terbuai", sehingga pengelolaan terhadap utang-utang yang didapat dilakukan dengan seenaknya, kurang memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas, ditambah lagi dengan adanya budaya korupsi yang kian akut maka makin boroslah birokrasi kita.
Sarang Korupsi
Telah menjadi rahasia umum bahwa besar-kecil utang luar negeri yang diterima akan mengakibatkan sangat tipis kemungkinan penyaluran utang tersebut dari "benalu negara" (koruptor). Pemerintah sendiri belum dapat menjamin bahwa utang luar negeri yang diterima tidak akan dijadikan ladang korupsi baru. Sehingga yang paling berbahagia dengan pencairan utang luar negeri adalah oknum-oknum para pengelolanya yang kelak akan menggerogoti utang luar negeri tersebut dulu sebelum efektif untuk menalangi anggaran dan membiayai pembangunan ekonomi kita.
Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah saat ini harus benar-benar mewujudkan political will untuk memerangi "bahaya laten" KKN, bukan hanya menjadikan wacana perang terhadap KKN sebagai bahan beretorika saja. Pemerintah harus secara tegas dan cepat mewujudkan clean governance, dimana eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bahu-membahu berusaha mewujudkan pemerintahan bersih ini. Apabila pemerintah gagal mewujudkan clean governance tersebut, yang pasti akan terjadi adalah utang baru yang akan diterima ini menjadi lahan baru bagi para koruptor.
Sebenarnya masalah utang piutang ini telah membuat pusing kedua belah pihak, baik negara donatur maupun Indonesia sebagai negara penerima utang. Negara donatur akan dipusingkan dengan makin sulit dan mustahilnya untuk dapat menagih piutangnya dari Indonesia akibat krisis yang belum juga berakhir Indonesia.
Sedangkan bagi Indonesia sebagai negara pengutang, masalah utang merupakan beban sangat berat dan sangat sulit untuk melepaskan diri dari jeratannya. Yang tidak pusing dengan permasalahan ini adalah para koruptor yang justru melihat utang itu sebagai lahan baru untuk menimbun lebih banyak tambahan kekayaan tanpa peduli dengan keadaan ekonomi negara yang kian terpuruk.
Akhirnya sangat diharapkan kelak utang luar negeri yang akan diterima dari negara atau donatur manapun, dapat dikelola sebaik mungkin. Juga semaksimal mungkin dijaga agar tidak mengalami kebocoran lagi. Para oknum pengelola utang (eksekutif) yang selama ini disinyalir sebagai "tikus-tikus pengerat" sangat diharapkan integritas, jiwa nasionalismenya, dan tidak memanfaatkan pencairan utang baru sebagai lahan korupsi baru untuk menimbun kekayaan 'panas' hingga tujuh turunan.
[ mrheal / bbcom / berbagai sumber ]