Jateng Peringkat 1 Korupsi di Sektor Pendidikan

BLOKBERITA –  Selama satu dasawarsa terakhir (2006-2015) korupsi di sektor pendidikan di Jawa Tengah menempati posisi tertinggi di Indonesia, dengan 42 kasus dan total kerugian Rp 211,1 miliar.

Jawa Barat berada di urutan kedua, disusul Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Tiga provinsi di Jawa ‘’menyumbang’’ 104 kasus dengan total kerugian Rp 276,8 miliar.

Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan, lembaganya melakukan kajian tren korupsi di sektor pendidikan, selama satu dasawarsa terakhir. Secara keseluruhan di sektor ini ditemukan 425 kasus dengan 618 tersangka yang merugikan negara Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar.

Tren korupsi berdasarkan lima provinsi terbesar, selain Jateng dengan posisi teratas, berikutnya Jawa Barat dan Sulawesi Selatan yang sama-sama memiliki 31 kasus dengan kerugian Rp 87,9 miliar dan Rp 84,9 miliar. Jawa Timur memiliki 29 kasus (Rp 27,8 miliar) dan Sumatera Utara 27 kasus (Rp 56,5 miliar).

Menurut dia, ICW juga melakukan identifikasi terhadap objek yang rawan dikorupsi di sektor pendidikan. Sedikitnya ada 17 objek yang rawan korupsi. Lima sektor yang paling rawan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS, infrastruktur sekolah, dan dana buku.

Selama ini, pendidikan merupakan sektor paling besar mendapat alokasi anggaran dari APBN dan selalu meningkat setiap tahun. Ironisnya, kata Febri, pada saat yang bersamaan, korupsi di sektor pendidikan tergolong tinggi.

Dinas Pendidikan

Febri menambahkan berdasarkan hasil pemetaan, Dinas Pendidikan menjadi tempat paling sering terjadinya korupsi dengan 214 kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 457 miliar. Hal ini menjadi masuk akal karena anggaran dikelola oleh Dinas Pendidikan di daerah. Tempat kedua yaitu sekolah dengan 93 kasus yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 136 miliar.

Dia menambahkan, ICW juga mengidentifikasi berdasarkan latar belakang aktor. Aktor yang paling banyak melakukan korupsi berasal dari PNS yang bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan. Ada sebanyak 225 orang yang terjerat kasus korupsi. Hal ini bukan berarti bahwa PNS menjadi salah satunya otak dalam kasus korupsi yang terjadi, karena mereka yang terjerat kasus korupsi hanya sebagai operator.

Aparat penegak hukum masih belum bisa menjerat aktor utamanya. ‘’Sementara itu ada sebanyak 95 orang yang berasal dari swasta. Kepala dinas menjadi aktor ketiga terbanyak yang melakukan korupsi. Sebanyak 77 orang kepala dinas tersangkut korupsi selama satu dasawarsa,’’katanya.

Staf Divisi Investigasi ICWWana Alamsyah menambahkan, berdasarkan pemantauan ICW diketahui jumlah kasus korupsi pendidikan dalam periode 2005-2016 berjumlah 425 kasus dengan kerugian negara dan nilai suap mencapai Rp 1,3 triliun dan Rp 55 miliar.

Jumlah tersangka terkait dengan seluruh kasus ini mencapai 618 orang. Dari total kasus tersebut, kejaksaan menangani kasus paling banyak yakni sebesar 324 kasus, kepolisian 82 kasus, dan KPK 5 kasus. Kerugian negara atas terkait kasus yang ditangani aparat penegak hukum (APH) tersebut berturut-turut adalah Rp 897,2 miliar, Rp 228,1 miliar, dan Rp 148,0 miliar.

‘’Sementara itu, berdasarkan analisis tren diketahui penyidikan APH atas kasus korupsi mengalami kenaikan dalam periode 2006-2013,’’ katanya. Lebih lanjut Alamsyah mengatakan, pada tahun 2006 APH menangani 15 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 19,9 miliar dan kemudian meningkat menjadi 65 kasus dengan kerugian negara Rp 538,5 miliar.

Namun tren ini menurun memasuki tahun 2014 dan 2015 menjadi 58 dan 33 kasus dengan kerugian negara berturut-turut Rp 178,3 miliar dan Rp 75,8 miliar. ‘’Penurunan ini mungkin disebabkan karena berbagai faktor terutama fokus dan target penindakan APH.

Mungkin salah satu penyebabnya adalah APH memfokuskan penanganan kasus korupsi pada sektor nonpendidikan sehingga jumlah kasus yang ditangani pada dalam dua tahun terakhir menurun,’’katanya. Alamsyah menyayangkan anggaran pendidikan selalu meningkat setiap tahun, sementara sistem pencegahan korupsinya belum terbukti berjalan dengan efektif.

Pada tingkat perencanaan, potensi penyelewengan pada kuota masingmasing daerah. Daerah berusaha mendapatkan DAK lebih besar sehingga pejabat daerah melalui calo menyuap pejabat pemerintah pusat untuk mencapai hal tersebut. Selain itu, pengelolaan DAK di daerah juga berpotensi diselewengkan terutama pada penentuan sekolah penerima DAK atau juga pada saat pengerjaan proyek fisik dan nonfisik.

Potensi penyelewengan semakin tinggi karena pengawasan pengelolaan dana ini di daerah sangat lemah. Selain DAK, kasus korupsi yang banyak terjadi ada pada sarpras sekolah mencapai 79 kasus dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 542 miliar.

Modus Penggelapan
Sementara itu, dana BOS 44 ada kasus dengan kerugian negara Rp 19,3 miliar. Rendahnya jumlah kasus korupsi yang disidik APH disebabkan karena dana BOS yang diterima sekolah relatif lebih kecil. Hal ini menyebabkan kasus korupsi terkait dana BOS relatif banyak namun dengan kerugian negara kecil.

‘’Besarnya korupsi dalam pengelolaan DAK, sarpras, infrastruktur sekolah, dan buku berkontribusi terhadap kasus korupsi PBJ (pengadaan barang dan jasa) sebagaimana diatur dalam Perpres No 54 tahun 2010 tentang PBJ,’’ kata Alamsyah. Empat dana di atas termasuk kategori dalam PBJ, sementara dana BOS merupakan dana operasional yang tidak harus mengacu pada Perpres itu.

Sebanyak 247 kasus atau sekitar 58 persen itu terkait dengan non-PBJ yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 466 miliar atau sekitar 34 persen dari total kerugian negara. Sedangkan kasus yang terkait dengan PBJ sebanyak 178 kasus atau sekitar 41 persen dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 65 miliar.

Artinya, PBJ perlu diawasi secara lebih serius dalam hal proses pengadaan dari awal hingga akhir. Staf Divisi Investigasi ICW lainnya Lais Abid mengatakan, jika melihat postur anggaran terkait dengan PBJ dan non-PBJ, anggaran non-PBJ lebih besar dibandingkan dengan PBJ.

Hal ini yang menyebabkan modus penggelapan adalah modus yang paling sering digunakan karena bisa terkait dengan pengadaan fiktif atau kegiatan operasional fiktif. Terdapat sebanyak 132 kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 518 miliar.

‘’Sedangkan modus mark up menjadi modus kedua tertinggi yang dilakukan oleh tersangka korupsi. Modus mark up digunakan pada saat pengadaan terjadi. Ada sebanyak 110 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 448 miliar,’’kata Lais. Terkait anggaran pendidikan yang terus naik, Lais mencontohkan, pada tahun 2016 negara mengalokasikan anggaran sebesar Rp 424,7 triliun atau 20 persen dari Rp 2.121,3 triliun total APBN.

Dari total anggaran pendidikan 2016 tersebut, 33,8 persen atau Rp 143,8 triliun berada di kementerian/ lembaga pemerintah pusat dan sisanya, 64,9 persen atau Rp 275,9 triliun transfer daerah dan dana desa, dan 1,2 persen atau Rp 5 triliun untuk Dana Pengembangan Pendidikan.

Besarnya anggaran pendidikan, lanjutnya, juga diikuti dengan meningkatnya penyelewengan dalam pengelolaan dana tersebut. Berbagai bentuk inefisiensi dalam pengelolaan anggaran pendidikan selalu ditemukan oleh badan pemeriksa seperti BPK RI dan BPKP.  (bin/SM).
View

Related

REGIONAL 1204200389770314441

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item