Barang Palsu Rugikan Negara Rp 65,1 Triliun Per Tahun
https://kabar22.blogspot.com/2015/04/barang-palsu-rugikan-negara-rp-651.html
JAKARTA, BLOKBERITA -- Produksi
dan peredaran barang palsu terus menyebabkan kerugian bisnis puluhan
triliun bagi produsen asli, buruh dan pemerintah. Perlu terobosan hukum
untuk mengatasinya. Peredaran barang palsu di Indonesia
diperkirakan telah menimbulkan kerugian ekonomi senilai Rp65,1 triliun
per tahun. Kesimpulan dari survey oleh Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (FEUI) dan organisasi nonpemerintah Masyarakat Indonesia Anti
Pemalsuan (MIAP) itu menunjukkan kenaikan hingga Rp 43,2 triliun,
dibandingkan hasil survey serupa tahun 2010.
“ Secara nominal, pemalsuan barang dan
kerugiannya di Indonesia meningkat hampir 1.5 kali lipat dalam periode
waktu 5 Tahun,” ujar Eugenia Mardanugraha, anggota tim survei FEUI dalam
paparannya di Jakarta, Rabu (16/7). Survey menjaring 591 responden di
wilayah Jabodetabek dan Surabaya di Provinsi Jawa Timur, yang meliputi
para pedagang dan pembeli produk. Jumlah sampel ini lebih banyak dari
survei yang sama di 2010.
Jika setiap tahun terjadi kebocoran
perekonomian negara senilai Rp 65,1 triliun akibat produksi dan
peredaran beragam produk palsu, survey MIAPFEUI menyimpulkan para buruh
akan kehilangan potensi upah senilai Rp 3 triliun. Pemerintah juga
kehilangan potensi pendapatan pajak tidak langsung sekitar Rp 424 milyar
per tahun. “Potensi kehilangan pendapatan pemerintah dapat lebih besar
lagi, bila kita menghitung pula hasil pajak langsung, seperti pajak
penghasilan dari upah dan gaji, serta pajak penghasilan perusahaan,”
lanjut Eugenia.
Dari hasil survei MIAPFEUI 2014 itu,
terungkap bahwa komoditas pakaian, tinta printer, barang dari kulit dan
software komputer adalah produkproduk yang paling sering dipalsukan
serta paling banyak beredar di pasaran.
“ Persentase produk tinta printer palsu
mencapai 49.4%, pakaian palsu mencapai 38.90%, diikuti oleh barang dari
kulit 37.20% dan software 33.50%. Sisanya produk kosmetika palsu 12.60%,
makanan dan minuman palsu 8.50% dan produk farmasi palsu 3.80%,” lanjut
Eugenia.
Angka-angka di atas bukanlah hasil
tebak-tebakan. Merujuk pada penelitian Shelley (2012), nilai
perdagangan barangbarang palsu di seluruh dunia pada tahun 2003 saja
mencapai USD450 miliar. Khusus untuk obatobatan dan peralatan farmasi,
nilai pemalsuannya berkisar USD 14 miliar.
Pemalsuan software komputer juga telah
menimbulkan kerugian bisnis bagi produsen software asli senilai USD 1,46
miliar (Rp17,3 triliun) di seluruh dunia. Dari hasil razia aparat Polri
dan organisasi produsen software asli (Business Software Alliance/BSA)
di beberapa provinsi Indonesia pada Januari 2013 hingga 31 Maret 2014
berhasil menyita software bajakan bernilai USD 2 juta (Rp22 miliar).
Eugenia Mardanugraha menilai survey
konsumen FEUIMIAP dengan data penggunaan softaware palsu dari BSA
menunjukkan korelasi yang mencemaskan. BSA mencatat sebanyak 84%
software yang digunakan dalam beragam perangkat komputer di Indonesia
terbukti palsu atau hasil bajakan. Dalam survey FEUIMIAP, ternyata 85%
konsumen mengaku ingin membeli dan memakai software bajakan dibandingkan
memakai yang asli.
Ketua Umum MIAP Widyaretna Buenastuti SH
menilai, masih maraknya bisnis barang palsu dipicu daya beli konsumen
yang minim dan penegakan hukum yang lemah. “Dari survey disimpulkan,
64,6% konsumen merasa tidak mungkin diadili kalau memakai barang palsu.
27% penjual mengaku razia petugas kurang gencar. Sedangkan 27% produsen
barang menilai, hukuman bagi pemalsu dan pengedar barang palsu masih
terlalu ringan,” ujar ahli hukum perusahaan itu.
Penyidik Bareskrim Mabes Polri, AKBP Rus
Haryanto SH mengatakan, penegakan hukum sudah berjalan. Namun terlalu
banyaknya peraturan yang terkait justru membuat penegakan hukum menjadi
rumit. “Pemalsuan itu delik aduan dalam KUHPidana, korban yang dirugikan
harus mengajukan aduan dulu agar polisi dapat menindak. Padahal UU Hak
Cipta mengatur pemalsuan software dengan delik biasa yang tidak perlu
menunggu aduan.,” katanya. Ada pula UU Kesehatan dan UU Perlindungan
Konsumen yang bisa menjerat pelaku pemalsuan dengan taktik berbeda.
[ Fk / bbcom / elvi ]