Kisah Artidjo Alkostar, Hakim Agung yang Tidak Mau Menerima Tamu Berperkara

BLOKBERITA — Hakim Agung Artidjo Alkostar mengaku pernah merasa tersinggung oleh sikap dua orang pengusaha yang diduga hendak menyuap dirinya.
Hal itu diungkapkan Artidjo dalam program acara Satu Meja bertajuk "Palu Godam Hakim Artidjo" yang disiarkan Kompas TV, Senin (12/9/2016) malam.
Artidjo mengatakan, kejadian tersebut dialaminya saat kariernya menjadi hakim MA belum lama dimulai.
"Dulu, saya masuk Mahkamah Agung tahun 2000, ada dua pengusaha masuk (bilang), 'Ya Pak Artidjo yang lain sudah, tinggal Pak Artidjo saja (yang belum)'," ujar Artidjo menirukan dua pengusaha yang diceritakannya itu.
Artidjo mengaku seketika itu pula ia menjawab dengan tegas, "Anda lancang sekali."
Artidjo melanjutkan, kejadian itulah yang kemudian mendasari dirinya untuk membuat tulisan "Tidak Menerima Tamu yang Berperkara" yang dipasang di depan ruang kerjanya di Mahkamah Agung.
"Ya, waktu itu saya tempelkan di kamar (perkara pidana), di lantai tiga Mahkamah Agung," kata dia.
Adanya tulisan tersebut, kata Artidjo, sempat mendapat respons negatif di lingkungan MA. Tindakan Artidjo tersebut dianggap menghalangi kunjungan ke MA, termasuk kunjungan keluarga.
"Tampaknya kolega saya kurang berkenan," kata dia.
Menurut Artidjo, persoalan kunjungan keluarga dan pihak lain, terutama yang beperkara, perlu dibedakan.
Meski banyak resistensi, Artidjo tetap tak melepaskan tulisan tersebut. Hal itu, lanjut dia, perlu dilakukan agar kamar pidana yang menjadi beban tugas dan kewenangannya tetap bersih dari upaya suap.
"Saya kira kalau ke Mahkamah Agung harus bisa dibedakan, itu bukan masalah keluarga, itu saya kira perlu diatur tentang tamu-tamu yang tidak berkepentingan tentang keluarga," ujar alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut.
Artidjo adalah hakim agung yang ditakuti para terdakwa kasus korupsi. Dia kerap menambah hukuman bagi pelaku kejahatan yang masuk kategori luar biasa itu di tingkat kasasi.
Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum. Terakhir kasus pengacara Otto Cornelis Kaligis.
Semua nama itu, oleh Artidjo, dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama.
Bahkan ada sejumlah terdakwa yang mencabut permohonan kasasinya ketika tahu bahwa Artidjo masuk dalam majelis hakim yang akan menangani perkara. 

Keadilan Itu di Dalam Hati

Artidjo Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, menjadi sosok hakim agung yang dipuji sekaligus dibenci. Ia dipuji karena putusannya membangkitkan asa publik akan keadilan yang terkoyak oleh perilaku koruptor. Namun, ia dibenci oleh koruptor yang dihukumnya lebih berat.
Tak sedikit terdakwa korupsi gentar ketika tahu perkaranya ditangani lelaki asal Madura, Jawa Timur, ini. Beberapa terdakwa buru-buru mencabut kasasinya. Bahkan, ada terdakwa yang meminta berkas kasasinya tak diregister terlebih dahulu, menunggu Artidjo pensiun.
Palu di tangan Artidjo menjadi hal yang ditakuti. Tak sedikit yang merasakan beratnya putusan Artidjo. Sebut saja politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, yang harus dipenjara 12 tahun setelah hukumannya ditambah dari 4 tahun 6 bulan. Begitu juga bekas pegawai Kantor Pajak Sidoarjo, Tommy Hindratno, yang hukumannya diperberat dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Pekan ini, Artidjo memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara dan mencabut hak politiknya.
Kamis (18/9/2014) lalu, Artidjo menerima Kompas di ruang kerjanya untuk berbincang lebih kurang dua jam terkait apa yang membuat Artidjo demikian ”kejam” terhadap pelaku korupsi. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang mendasari putusan-putusan berat kepada koruptor? Ada ”dendam” pribadi pada korupsi?
Tidak. Saya tidak punya latar belakang pribadi. Biasa saja. Tetapi, saya kira background saya (sebelum menjadi hakim agung) menjadi pengalaman batin yang memengaruhi. Sebelum menjadi hakim agung, saya advokat.
Saya banyak mengabdi di LBH (lembaga bantuan hukum). Banyak perkara yang saya tangani, mulai dari kasus penembakan misterius, Timor Timur, petani garam di Madura, subversi di Madura, hingga kejahatan penyelewengan pemilu, juga di Madura. Tentu saya terpengaruh dengan perkara-perkara itu, pembelaan terhadap orang kecil itu. Posisi masyarakat begitu lemah untuk mencapai keadilan, access to justice. Lemah secara ekonomi, juga secara politik.
Menurut saya, korupsi berbeda dengan kejahatan lain. Ia kejahatan luar biasa, berdampak pada masa depan negara dan rakyat Indonesia. Dampaknya begitu terasa. Indonesia kaya raya secara natural, tetapi rakyatnya banyak yang miskin. Ada pengemis di jalanan. Ini ironi. Kalau demokrasi ini jalan, seharusnya demokrasi ekonomi juga jalan. Ternyata di tengah jalan ini ada tikus yang menggerogoti. Itu yang dikenal dengan korupsi menimbulkan kemiskinan struktural. Karena sistemnya yang korup, petani meski dia kerja 24 jam tak akan pernah kaya. Ada saja mafia-mafia. Mafia pupuk, mafia apa saja. Daging sapi juga diimpor.
Apa dasar Anda memutus perkara? Mengapa Luthfi yang ”hanya” menerima Rp 1,3 miliar—bahkan pengacaranya bilang belum terima—dihukum 18 tahun penjara. Labora Sitorus yang di rekeningnya didapati Rp 1,5 triliun divonis 15 tahun. Di mana keadilannya?
Sering yang dipakai masyarakat (untuk menilai) itu kebenaran. Kebenaran itu di dalam pikiran. Tetapi, keadilan itu di dalam hati. Dalam zikir. Berapa hukuman yang pas, apakah 5 tahun atau 5 tahun 6 bulan, itu di dalam hati. Banyak faktor yang dipertimbangkan. Pertama, sifat kejahatannya. Kedua, dampaknya. Baru kesimpulan, ooo... pasnya 5 tahun, misalnya. Itu di dalam hati. Dan, itu tidak bisa diukur, lalu diperbandingkan. Karena tidak ada perkara yang sama persis, yang kembar.
Pernah menangani perkara yang begitu kuat berpengaruh?
Tidak. Semua biasa saja. Tetapi, dahulu waktu masih awal-awal hakim agung, tahun 2001, saya dikasih perkara Pak Harto (mantan Presiden Soeharto). Saya terkejut. Saya ini baru masuk, kok, dikasih perkara Pak Harto. Tetapi, dulu waktu di LBH, saya memang sering dianggap sebagai oposan legal. Perkara Pak Harto itu diadili di kamar situ (sambil menunjuk salah satu kamar di ruang kerjanya). Ketua majelisnya, Pak Syafiuddin Kartasasmita, ditembak. Saya ingat waktu itu perdebatannya panjang.
Jadi, kalau saya pernah mengadili perkara Pak Harto, sekarang menangani perkara lain-lain, rasanya itu ringanlah. Mau perkara yang melibatkan menteri, mau melibatkan siapa, apalagi presiden partai, kecillah.

Advokat Kaum Pinggiran 

Sejak mahasiswa, Artidjo biasa berseberangan dengan kekuasaan. Ia membela kasus tebu rakyat di Sumenep, Madura. Sembari pulang kampung, ia mengadvokasi petani yang diwajibkan menanam tebu oleh pemerintah kala itu. Padahal, petani keberatan karena terus merugi. Ia pun berhadapan dengan penguasa setempat dan jaksa yang mewakili pemerintah.
Menjadi advokat yang membela kaum pinggiran juga membuat Artidjo kenyang ancaman atau teror. Saat menangani kasus Santa Cruz di Dili, Artidjo dikirimi ninja untuk menghabisi nyawanya. Namun, itu tak membuatnya surut. ”Senjata saya hanya kebenaran moral. Kalau saya benar secara moral, ya, kita jalan lurus saja. Allah pasti melindungi,” ungkap Artidjo.
Anda susah ditembus. Tapi, pernah ada usaha-usaha itu?
Tidak ada. Kamar ini steril. Tidak ada orang berperkara masuk ke sini. Maka itu, yang sering saya sebut, katanya banyak yang mau menyuap, kok, ke saya nggak ada. Tetapi, memang semua sudah saya sterilkan. Keluarga juga sudah. Saya bilang ke mereka, jangan macam-macam. ’Yang menjadi saudara Anda itu Artidjo, bukan hakim agungnya’. Begitu pun ketika ada teman-teman lama yang menelepon, minta tolong. Saya bilang saja, ’Saya jamin Anda besok ditangkap KPK. Karena telepon saya disadap KPK’. Orang itu lalu bilang, ’Enggak, Pak. Enggak, Pak’. Lalu ngomong yang lain. Telepon saya ini, ya, memang harus disadap, dong. Masa tidak disadap KPK.
Dahulu memang pernah ada seorang pengusaha datang, mau kasih uang. Saya bilang, 'Anda ini kurang ajar sekali'. Saya suruh keluar. Lalu saya tempel di luar ruang kerja saya tulisan tidak menerima tamu yang berurusan dengan perkara. Tapi, itu dulu. Sekarang tidak segampang itu.

Setuju Hukum Mati Koruptor

Hakim Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, berkeinginan untuk memvonis mati seorang koruptor. Masalahnya, belum ada terdakwa koruptor yang kesalahannya dapat diganjar hukuman mati. "Bahkan, tidak ada yang mendekati," kata dia ketika ditemui Tempo di kantornya akhir Desember lalu.

Masalah lainnya, menurut Artidjo, yakni konstruksi hukum di Indonesia tidak pas. Khususnya konstruksi hukum yang menyangkut pasal korupsi. "Dibuatnya setengah hati," ujar pria asal Situbondo, Jawa Timur, itu.

Artidjo mengatakan, klausul hukuman mati seorang koruptor dihubungkan dengan faktor lain di luar hukum. Faktor bencana alam misalnya. Koruptor, menurut dia, baru bisa diganjar hukuman mati jika mengkorupsi anggaran penanggulangan bencana alam. "Lha, itu kan jarang. Konstruksi hukumnya salah," ucap dia.

Dia mencontohkan konstruksi hukum di negara Cina. Di Negara Tirai Bambu tersebut, kata Artidjo, konstruksi dan batasan hukumnya jelas. Misalnya, hukuman mati bagi orang yang korupsi Rp 50 miliar. "Jika jelas begitu, hukuman mati akan tercipta. Di Indonesia?"

Pria yang juga aktif sebagai pengajar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini menyarankan agar konstruksi hukum terkait korupsi diamandemen. Namun, Artidjo ragu perihal amandemen tersebut. "Apakah berani, jika pembuat amandemen masih takut jika suatu saat kena?"

Artidjo dikenal sebagai pribadi yang hangat dan ramah. Sebagai hakim agung, reputasinya begitu horor. Ia seolah menjadi malaikat Izrail bagi para penjahat. Contohnya, terpidana korupsi Angelina Sondakh yang ditambah hukumannya dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta, plus pidana tambahan uang pengganti Rp 12,58 miliar dan US $ 2,35 juta.

Profil Artijo

Artidjo memulai karier hukumnya sebagai pengacara LBH Yogyakarta dan juga dikenal sebagai mantan aktivis jalanan. Saat menjadi pengacara, ia pernah menangani kasus berat seperti penembakan misterius, penggusuran candi borobudur (dan) prambanan, di Timor Timur, di Madura, (kasus) petani garam Madura, subversi di Madura, penyelewengan pemilu di Madura.
Background pengalaman batin itu mempengaruhi dirinya sehingga ia beranggapan senjata utamanya hanya kebenaran moral saja. Artidjo memakai jubah emas hakim agung usai gegap gempita reformasi yaitu akhir tahun 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Usai memegang palu, ia tetap menjaga ritme idealisme. Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1949 mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapat (dissenting opinion)-nya dalam banyak kasus besar. Pria yang saat ini menjabat Ketua Muda Kamar Pidana MA memang dikenal keras dan selalu memberikan hukuman maksimal kepada para terdakwa tindak pidana korupsi.
Ia mengibaratkan korupsi seperti penyakit kanker yang terus menggerogoti tubuh. Oleh karenanya, korupsi harus diberantas agar tidak membawa masa depan suram bagi Indonesia.
“Rakyat Indonesia berhak untuk melihat masa depan lebih baik. Koruptor ini membuat masa depan bangsa suram. Kita harus mencerahkan masa depan bangsa ini. Tidak ada toleransi bagi koruptor. Zero tolerance bagi koruptor,” ujar Artijo.
Kendati sering memutuskan hukuman maksimal bagi para koruptor, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengaku tidak bisa memaksakan kehendak kepada hakim lain untuk sependapat denganya sebab hakim memiliki kebebasan yang dilindungi dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun.
Namanya terangkat saat memperberat vonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh untuk kasus korupsi, serta vonis 10 bulan kepada dokter Ayu untuk kasus malpraktek.
Berikut sejumlah kasus yang pernah ditangani Artidjo sebelum ia melipatgandakan vonis Anas Urbaningrum dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara.
1. Terdakwa Kweh Elchoon (warga Malaysia). Kasus: memiliki ekstasi dan sabu ratusan ribu gram. Putusan: 20 tahun penjara (PN Tangerang), 12 tahun penjara (PT Banten), Vonis Mati (MA, 19/4/2013).
2. Terdakwa Tommy Hindratno (pegawai Ditjen Pajak). Kasus: suap Rp280 juta terkait restitusi pajak milik PT Bhakti Investama Tbk. Putusan: 3,5 tahun penjara (Pengadilan Tinggi), 10 tahun (MA, 30/9/2013).
3. Terdakwa Zen Umar (Direktur Utama PT Terang Kita). Kasus: Korupsi dana Askrindo. Putusan: 5 tahun penhara (Pengadilan Tinggi), 15 tahun (MA, 26/9/2013).
4. Terdakwa Ananta Lianggara alias Alung. Kasus: kurir peredaran psikotropika. Putusan: 1 tahun penjara (PN Surabaya dan PT Jawa Timur), 20 tahun penjara (MA, 21/10/2013).
5. Terdakwa Angelina Sondakh (mantan anggota DPR dari Partai Demokrat). Kasus: Korupsi wisma Atlet Sea Games Palembang dan Kemendikbud. Putusan: 4 tahun, 6 bulan (Pengadilan Tipikor Jakarta), 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp12,58 miliar dan USD2,35 juta (MA, 20/11/2013).
6. Terdakwa Zulkarnain Djabbar (Pejabat Kemenag). Kasus: Korupsi pengadaan Alquran. Putusan: MA menguatkan putusan pengadilan Tipikor Jakarta yakni 15 tahun penjara, denda Rp300 juta, uang pengganti Rp5,7 miliar.
7. Terdakwa Rahudman Harahap (Wali Kota Medan Non-aktif). Kasus korupsi dana tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun anggaran 2005 senilai Rp2,07 milir. Putusan: vonis bebas (pengadilan Tipikor Medan), 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp480.495.500 (MA, 26/3/2014).
8. Terdakwa Djoko Susilo (Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri). Kasus: Korupsi proyek simulator ujian SIM roda dua dan roda empat serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan: MA (4/6/2014) menguatkan vonis PT Jakarta, yaitu 18 tahun penjara, denda Rp1 miliar, uang pengganti Rp32 miliar, dan pencabutan hak politik.
9. Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS). Kasus: suap impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Putusan: 16 tahun penjara (Pengadilan Tipikor Jakarta), 18 tahun penjara dan Pencabutan Hak Politik (MA, 15/9/2014).
10. Terdakwa Aiptu Labora Sitorus (anggota Polisi Sorong, Papua). Kasus: Pemilik rekening gendut Rp1,5 triliun. Putusan: 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta (Pengadilan Tipikor Sorong pada 17 Februari 2014), 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan (MA, 18/9/2014).

[ mrheal / dari berbagai sumber ]
View

Related

RAGAM 2611641866909806379

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item