Publik Tolak Revisi UU KPK
https://kabar22.blogspot.com/2016/02/publik-tolak-revisi-uu-kpk.html
JAKARTA, BLOKBERITA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga demokrasi yang masih dipercaya publik hingga kini, bahkan lebih dipercaya dibandingkan lembaga kepresidenan. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada KPK cenderung stabil, sekitar 80 – 81 persen. Dan, mayoritas publik yang tahu tentang rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK yang sedang digodok DPR menolak upaya tersebut.
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
" Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
" Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya.
Jokowi Idem Publik
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki mengungkapkan, Presiden Joko Widodo menolak rencana dan usul revisi Undang-Undang KPK. Penolakan dilakukan karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun KPK akan tetap membantu mengawasi.
"Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembiarakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki.
Pernyataan itu disampaikan Ruki dalam konferensi pers yang dilakukan setelah rapat terbatas (ratas) soal strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (19/6).
Ruki mengaku, keputusan yang diambil Jokowi telah membuat KPK lega dan bebas dari rasa saling curiga. Selanjutnya, pencegahan dan penindakan korupsi akan tetap berjalan seperti yang selama ini telah dilakukan.
Menurut Ruki, kualitas pelayanan publik belum baik, rantai birokrasi masih panjang, dan pelayanan satu pintu (Indonesia National Single Window) kurang baik. "Pintu satu tetapi meja banyak. Itulah yang menjadi pantauan kami," katanya.
Diberitakan sebelumnya, DPR menjadi inisiator dalam rencana merevisi UU KPK. Bahkan revisi itu telah masuk dalam program legislasi nasional tahun ini.
Rencana melakukan revisi UU KPK selama ini kerap menuai pro dan kontra. Keinginan merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itu terakhir dibahas tahun 2012. Draf revisi UU KPK yang diajukan Komisi Hukum DPR saat itu dinilai melemahkan fungsi lembaga antirasuah.
Sebut saja draf yang mengatur soal penyadapan dan penuntutan. UU KPK yang ada saat ini memberi kewenangan luas kepada KPK dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tanpa menunggu bukti permulaan yang cukup.
Namun dalam draf itu, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak saja penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri. Frasa "keadaan mendesak" ini tentu saja sangat terbuka untuk diperdebatkan.
Draf itu mendapat penolakan dengan sejumlah argumentasi, di antaranya permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi; menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin; dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.
[mrbin/zona/kpk/tribun ]
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
" Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
" Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya.
Jokowi Idem Publik
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki mengungkapkan, Presiden Joko Widodo menolak rencana dan usul revisi Undang-Undang KPK. Penolakan dilakukan karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun KPK akan tetap membantu mengawasi.
"Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembiarakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki.
Pernyataan itu disampaikan Ruki dalam konferensi pers yang dilakukan setelah rapat terbatas (ratas) soal strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (19/6).
Ruki mengaku, keputusan yang diambil Jokowi telah membuat KPK lega dan bebas dari rasa saling curiga. Selanjutnya, pencegahan dan penindakan korupsi akan tetap berjalan seperti yang selama ini telah dilakukan.
Menurut Ruki, kualitas pelayanan publik belum baik, rantai birokrasi masih panjang, dan pelayanan satu pintu (Indonesia National Single Window) kurang baik. "Pintu satu tetapi meja banyak. Itulah yang menjadi pantauan kami," katanya.
Diberitakan sebelumnya, DPR menjadi inisiator dalam rencana merevisi UU KPK. Bahkan revisi itu telah masuk dalam program legislasi nasional tahun ini.
Rencana melakukan revisi UU KPK selama ini kerap menuai pro dan kontra. Keinginan merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itu terakhir dibahas tahun 2012. Draf revisi UU KPK yang diajukan Komisi Hukum DPR saat itu dinilai melemahkan fungsi lembaga antirasuah.
Sebut saja draf yang mengatur soal penyadapan dan penuntutan. UU KPK yang ada saat ini memberi kewenangan luas kepada KPK dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tanpa menunggu bukti permulaan yang cukup.
Namun dalam draf itu, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak saja penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri. Frasa "keadaan mendesak" ini tentu saja sangat terbuka untuk diperdebatkan.
Draf itu mendapat penolakan dengan sejumlah argumentasi, di antaranya permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi; menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin; dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.
[mrbin/zona/kpk/tribun ]
zonalima.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga demokrasi yang
masih dipercaya publik hingga kini, bahkan lebih dipercaya dibandingkan
lembaga kepresidenan. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada
KPK cenderung stabil, sekitar 80 – 81 persen. Dan, mayoritas publik yang
tahu tentang rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK yang sedang digodok
DPR menolak upaya tersebut.
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
zonalima.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga demokrasi yang
masih dipercaya publik hingga kini, bahkan lebih dipercaya dibandingkan
lembaga kepresidenan. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada
KPK cenderung stabil, sekitar 80 – 81 persen. Dan, mayoritas publik yang
tahu tentang rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK yang sedang digodok
DPR menolak upaya tersebut.
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
zonalima.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga demokrasi yang
masih dipercaya publik hingga kini, bahkan lebih dipercaya dibandingkan
lembaga kepresidenan. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada
KPK cenderung stabil, sekitar 80 – 81 persen. Dan, mayoritas publik yang
tahu tentang rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK yang sedang digodok
DPR menolak upaya tersebut.
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
zonalima.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga demokrasi yang
masih dipercaya publik hingga kini, bahkan lebih dipercaya dibandingkan
lembaga kepresidenan. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada
KPK cenderung stabil, sekitar 80 – 81 persen. Dan, mayoritas publik yang
tahu tentang rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK yang sedang digodok
DPR menolak upaya tersebut.
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf
Demikian hasil survei terkini lembaga survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (8/2/ 2106).
"Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulkan untuk direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapuskan," kata peneliti senior Indikator Politik Indonesia Hendro Prasetyo, saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin.
Survei Indikator ini dilaksanakan pada 18 – 29 Januari 2016 yang didanai oleh Asian Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia. Survei ini melibatkan 1.550 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air dengan margin of error plus minus 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Responden terpilih diwawancarai melalui tatap muka.
Hendro menjelaskan, hasil survei lembaganya menunjukkan sekitar 79,6 persen responden cukup atau sangat percaya kepada KPK. Dan sekitar 22,5 persen responden yang percaya dengan KPK mengikuti berita tentang rencana revisi UU KPK. Di antara responden yang mengikuti berita tersebut, sekitar 54,4 persen menilai revisi UU akan melemahkan KPK.
Di sisi lain, Hendro mengatakan, rencana revisi UU KPK berpengaruh negatif terhadap kepercayaan publik kepada DPR. Sementara, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR saat ini hanya sekitar 48,8 persen dan dapat dikatakan merosot dibandingkan tahun lalu yang berkisar 59,2 persen. Jika DPR terus melanjutkan rencana revisi UU KPK, dapat diperkirakan kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
"Kenyataan ini muncul karena mereka yang tahu tentang rencana revisi UU KPK cenderung menolak. Padahal, DPR saat ini tampak lebih cenderung untuk terus melakukan revisi," ujarnya. ( Arjuna Al Ichsan Siregar)
- See more at: http://www.zonalima.com/artikel/6856/Mayoritas-Publik-Tolak-Revisi-UU-KPK/#sthash.IJyun8oL.dpuf