Neolib versus Sosialis, Sejalankah ?

BLOKBERITA -- Politisi PDIP Effendi Simbolon kuatir bahwa Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Menko Perekonomian Darmin Nasution tidak akan akur. Alasannya, Rizal adalah pengusung ekonomi kerakyatan, sedangkan Darmin adalah pendukung neo-liberalisme. Konsep kedua orang tersebut, bagi  orang seperti Effendi, bertolak belakang.

Bila dilihat dari Index of Economi Freedom, dimana Indonesia berada di peringkat 105, yang berarti ‘mostly unfree (nyaris tak ada kebebasan)’, mempertantangkan kedua konsep tersebut jadi tampak aneh. Sebab, bila mengikuti cara berpikir pendukung ekonomi kerakyatan, berarti perekonomian Indonesia harus diturunkan ke tingkat ‘repressi’ alias tidak bebas.

Hampir seluruh negara di kelompok ini tergolong miskin atau tidak demokrasi. Kalau toh ada yang tergolong makmur seperti Iran dan Aljazair, itu karena mereka tertolong oleh besarnya cadangan Migas. Negara-negara yang tergolong dalam kelompok ini antara lain Korea Utara, Republik Kongo, Republik Demokrasi Kongo, Micronesia, dan Lesotho.

Neo liberal mirip dengan berbicara tentang post modern di Indonesia. Padahal Indonesia masih baru masuk pada tahap awal dunia modern. Sedangkan dalam konteks neo-liberalisme, bila dikaitkan dengan index di atas, Indonesia bahkan belum memasuki babak liberal. Jadi bagaimana mau masuk ke tahap neo liberal?!

Jika yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan adalah ekonomi sosialis, karena lawan liberalisme adalah sosialisme, diskusi tentang ekonomi kerakyatan versus neo liberal tampak seperti gombal. Maklum, Indonesia masih berada dalam posisi liberal tidak, sosialis pun bukan.

Dalam posisi seperti itu, tak ada salahnya bila para pendukung neo liberalisme maupun ekonomi kerakyatan menyimak kenyataan bahwa hampir 100%  dalam daftar top 30 perekonomian paling bebas adalah  negara-negara maju. Negara ASEAN yang masuk dalam peringkat ini adalah Singapura pada peringkat kedua setelah Hongkong; dan Malaysia pada peringkat 31.

Paling menarik adalah Jepang, yang berada di peringkat 20.

Sejak Restorasi Meiji dimulai pada 1866, negeri ini memberi fasilitas berlimpah kepada perusahaan-perusahaan swastanya agar tumbuh besar dan bisa diandalkan untuk mengejar ketertinggalan dari Barat. Pasca perang dunia kedua, negara ini juga memberi berbagai fasilitas kepada perusahaannya agar tumbuh menjadi kapitalis berkaliber dunia.

Mitsubishi, Mitsui, Honda, Toyota, Kawasaki, Sony, Panasonic dan sebagainya adalah buah dari dukungan pemerintah tersebut. Namun,  pemerintah Jepang juga mengembangkan sistem pemerataan kesejahteraan secara progresif, terutama melalui pajak. Hasilnya, meski sukses menjadi kapitalis dunia, Jepang juga dikenal sebagai masyarakat sosialis nyaris sempurna. Buktinya, kini lebih 90% orang Jepang hidup dalam satu kelas, yaitu kelas menengah!

Betapa pentingnya sistem pemerataan kesejahteraan tersebut diungkapkan oleh Amy Chua dalam bukunya The World on Fire, terkait masalah gugatan terhadap Microsoft pada 2001. Ketika itu, karena mendominasi pasar software, Microsoft dituding melanggar Undang-Undang Anti Monopoli Amerika Serikat. Namun, berdasarkan jajak pendapat, mayoritas rakyat Amerika mendukung Microsoft. Mereka, menurut Amy, bahkan menghendaki lebih banyak perusahaan seperti Microsoft karena bisa mendatangkan lebih banyak kesejahteraan bagi rakyat.

Di Indonesia sistem pemerataan seperti itu jelas sangat dibutuhkan karena ketimpangan kaya-miskin makin mencolok mata. Apalagi ketimpangan tersebut telah menyebabkan kecemburuan sosial yang tak kunjung reda meski telah berkali-kali meletus menjadi pertumpahan darah. Maka, orang seperti Rizal Ramli dan lawannya sebaiknya memilih jalan tengah seperti Jepang agar tak terjadi pemerataan penderitaan bagi rakyat Indonesia.

[ bin / Inrev ]
View

Related

TOKOH 4371417019057788887

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item