Jokowinomics, Ideologi yang Jadi Bulan-bulanan

BLOKBERITA -- Tepat sepuluh bulan setelah dilantik menjadi Presiden, Jokowi melakukan perombakan (reshuffle) kabinet. Faktor ekonomi menyumbangkan sampai 72% dari total krisis yang dihadapi Presiden. Setiap presiden membawa ideologi, atau belief on goodness, ekonominya masing-masing. Demikian juga Jokowi dengan Jokowinomics-nya.

Untuk dicatat, secara formal, prinsip Jokowinomics sudah disampaikan pada NawaCita, yang dapat disarikan menjadi tiga prinsip ekonomi utama: yaitu fokus infrasruktur, subsidi untuk rakyat miskin, dan ekonomi berdikari. Namun demikian, selama 10 bulan terakhir ekonomi Indonesia menjadi bulan-bulanan, baik di tingkat internasional maupun domestik.

Mulai dari neraca perdagangan, yang belakangan sudah bisa dikoreksi, tetapi dengan menurunnya impor, bukan karena naiknya ekspor secara signifikan, nilai tukar rupiah yang meloyo, macetnya industri, harga dan ketersediaan bahan pokok, hingga tetap lemahnya nilai tukar petani di bebagai komoditi. Boleh dikatakan, ada lima faktor penyebab Jokowinomics tak efektif. 
 
Warisan Lama
 
Pertama, kepemimpinan presiden sebelumnya memang mewariskan kondisi ekonomi yang tidak cukup menguntungkan. Kebijakan ekonomi sangat terdistorsi oleh krisis politik. Kekuatan ekonomi tetap disandarkan kepada sektor yang relatif tidak perlu kebijakan ekonomi, yaitu sektor pertambangan. Struktur ekonomi Indonesia merapuh di sektor kunci: industri dan pertanian, sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus menurun, sejak Agustus 2013 sampai Agustus 2014. Produk industri yang diperdagangkan dikuasai produk impor atau olahan impor. Pertanian sawah, baik padi maupun komoditi tradisional seperti cabai, tomat, bawang, hanya memberikan nilai tukar 0-4%, jauh di bawah suku bunga pinjaman sektor mikro 22%.

Jokowinomics membawa angin segar. Bahkan ada janji bahwa rupiah akan berada di bawah Rp 10.000 per dollar AS. Harga dan ketersediaan bahan pokok semakin terjangkau, atau turun, atau minimal stabil. Struktur industri dibangun kembali. Infrastruktur menjadi panggung bersama untuk tumbuh kuat. Ekonomi semakin berdikari. Rakyat kecil dan miskin terangkat kualitas hidupnya. Terlebih setelah kebijakan menaikkan BBM tidak mendapatkan respon negatif dari publik. APBN surplus, dan Presiden gembira. Rencana kebijakan makin menapak di jalur yang benderang.

Namun, kebijakan infrastruktur sebagai prioritas yang sudah benar, tidak fokus. Ini adalah penyebab kedua tidak efektifnya Jokowinomics. Semua mau dikerjakan, dengan asumsi pendapatan dari pajak aman. Karena pada November 2014, Presiden menambah target pencapaian pajak APBN-P 2015 Rp 600 triliun, atau 50 persen dari potensi pajak yang belum diraih. Pasar merespons negatif. Masyarakat pun merespons negatif. Bahkan amnesti pajak pun tidak mendapat respons dalam bentuk repatriasi dana dari luar negeri, khususnya Singapura, secara signifikan. Kebijakan dinilai tak lebih dari “jebakan Batman”, begitu uang masuk, pemiliknya diaduk-aduk.

Ancaman kegagalan penerimaan pemerintah dari pajak makin membesar, sampai pemerintah masuk ke mode panic, sampai kemudian Presiden menunjuk Menko Perekonomian Darmin Nasution, yang sebelum menjadi Gubernur BI adalah Dirjen Pajak.

Kesulitan mendapatkan pembiayaan pajak, proyek-proyek infrastruktur ditawarkan kepada luar negeri. Salah satu mitra favorit adalah China. Seperti biasa, lebih model yang disukai pemberi pinjaman adalah turn key project, kalau sudah selesai diserahkan. Untuk mengerjakan, terserah pemberi modal. China membangun melalui perusahaan China, mesin China, hingga pekerja pun dari China. Pembangunan infrastruktur tergantung di 5M-nya: money, method, management, machine, and man. PLTU di Bali yang baru, dibiayai China, dikerjakan perusahaan China, pekerjanya China, bahkan waktu peresmiannya beberapa hari lalu pun penerima tamunya orang China.

Ketersedian anggaran menjadi masalah serius berkenaan dengan kebijakan subsidi warga miskin. KKS, KIS, dan KIP memang melanjutkan program pemerintahan sebelumnya dengan melakukan rebranding, namun dengan intensitas yang lebih tinggi. Boleh dikatakan, ke depan, hampir 50% popularitas Presiden ditopang oleh keberhasilan dari kebijakan tiga kartu sakti ini.

Ekonomi berdikari yang dibayangkan mendadak terkejap-kejap. Kebijakan publik paling penting di setiap negara adalah kebijakan keuangan, setelah itu kebijakan demografi. Kebijakan keuangan bukan berarti membelanjakan, tetapi bagaimana memastikan pendapatan didapat. Ini adalah masalah risiko manajemen pada kebijakan publik. Kebijakan keuangan kita sudah lama nir-manajemen-risiko. Jika pun ada, hanya risiko fiskal, tidak menjangkau risiko ekonomi, sosial, politik, bahkan risiko dalam satu kesatuan paket. Jika berhadapan dengan Presiden, rerata menteri kita seringkali menjadi menteri Palugada, “apa lu mau, gua ada”. 
 
Kabinet Loyo
 
Kabinet Jokowi bukan kabinet ideal, tetapi kabinet realistik. Karena hanya itulah yang dapat dilakukan Presiden pada saat digencet berbagai kekuatan yang tidak pernah dibayangkan pada saat kampanye. Jerman menjadi juara dunia tanpa taburan bintang-bintang. Brasil dan Argentina kalah. Spanyol yang penuh bintang berkemas pulang di babak pertama. Kabinet Jokowi diharapkan seperti Jerman.

Jerman punya Joachim Low. Kabinet Indonesia punya Jokowi. Sama-sama berfaktor “J”. tetapi, ternyata berbeda kesebelasan, berbeda kabinet. Ini adalah penyebab ketiga.

Menko Ekonomi, Menko Maririm, dan Menko Polhukam seperti tersendat di tempat dan merosot wibawanya karena pernyataan yang tidak efektif dan akhirnya di-bully di sosmed. Demikian juga tim ekonominya. Indonesia sedang mengalami masalah moneter yang berat. Yang diperlukan adalah tokoh moneter, bukan tokoh fiskal, apalagi keuangan daerah. Pilihan presiden di Menko Ekonomi dan Menteri Keuangan bukan tokoh moneter. Barangkali, karena asumsi moneter masalah BI, paling banter OJK. Moneter adalah masalah Presiden. Dan, BI serta OJK tidak di bawah Presiden.

Lalu, Menteri Perdagangan di masa lalu adalah hedge fund manager. Menteri terpilih adalah industrialis, dengan framework yang sudah terbentuk berpuluh tahun. Tidak boleh disalahkan jika kemudian kagok, dan juga merosot wibawanya karena pernyataan yang tidak efektif dan akhirnya di-bully di sosmed. Sektor pertanian belum menunjukkan prestasinya. Demikian pula perindustrian dan ketenagakerjaan. Perkebunan menjadi kagok karena bergabung dengan Lingkungan Hidup. BUMN masih jalan di tempat. Hanya kelautan, gara-gara faktor “Susi” berjalan dengan relatif baik, meski kebijakannya kadang diserobot di tengah jalan, misalnya untuk kasus garam yang diserobot oleh Kemendag.

Dari kajian IPR (Institute for Policy Reform, Agustus 2015), dari skor 1-10, kementerian sektor ekonomi yang berkinerja tertinggi adalah Kelautan-Perikanan dengan skor di kisaran 7,5-8. Berkinerja menengah adalah Kementerian BUMN di kisaran 6-6,5; Kementerian Perindustrian di kisaran yang sama, 6.-6,5; Kementerian Tenaga Kerja di kisaran 5,5-6; Kementerian Pertanian di kisaran 5-5,5. Berkinerja bawah adalah Kementerian Perdagangan di kisaran 4-4,5. Dus, penggantian Mendag boleh dikata sesuai dengan skor kinerja Kementerian. Tantangannya adalah, menteri baru juga seorang hedge fund manager. Diperlukan kesediaan untuk belajar keras untuk keluar dari kepompong itu. Masalah perdagangan adalah masalah menghadapi para penguasa pasar yang bersekongkol, yang sudah menjadi warisan dari sistem pasar kolonial Hindia Belanda; ketika pemerintah kolonial menyerahkan pasar kepada segelintir orang yang membentuk kartel agar mudah di-palak-i oleh Gubernemen. Pasar tidak pernah menjadi milik “pribumi”, seperti juga di masa lalu. Jokowinomics memerlukan tokoh sekaliber Rizal Ramli atau Roby Djohan di usia muda. 
 
Rupiah dan Ekonomi Global
 
Faktor keempat adalah ekonomi global yang sungguh gombal. Globalisasi dengan kebijakan liberalisme baru tidak menjanjikan sebuah win-win solution, bahkan bukan pula win-loose solution atau zero-sum-game. Ketika krisis keuangan melanda AS di tahun 2008, Wall Street kolaps, seluruh dunia ikut menderita. Ketika Yunani krisis di 2009, membuat seluruh Zona Eropa krisis, dan seluruh dunia menderita. Ketika bursa Shanghai jatuh dan membuat China masuk awal krisis, maka seluruh dunia mulai bergetar.

Krisis global pertama-tama mendera nilai tukar rupiah. Bahkan, setelah pelantikan kabinet perombakan, dollar melejit ke Rp 13.800 dan IHSG di bawah 4.500. Faktor yang paling menentukan adalah fundamental ekonomi Indonesia yang masih mengayun labil. Fundamental Indonesia 2015 jauh lebih baik dari fundamental 1998. Tetapi, bukan berarti ekonomi Indonesia bebas dari krisis akut. Terlebih dengan kesan bahwa tim kabinet bekerja dengan mode “Burung Onta”: masukkan kepala ke pasir dan berkata “aku tidak lihat musuh”. Tidak heran Jokowinomics menjadi tergetar hebat. Bahkan Presiden pun sampai turun tangan mengurusi pelabuhan plus bea cukai dan daging sapi. Dengan cara ini Presiden bisa “mati berdiri”.

Rapunhya struktur industri nasional sudah disampaikan berkali-kali. Indonesia tidak punya konsep Management of Technology (MoT). Dalam konsep MoT, kalau pasar memerlukan produk tertentu, maka pendekatan MoT memerintahkan agar dirancang-bangun teknologinya, baik secara mandiri atau hibrida, untuk menyiapkan produk tersebut sehingga dalam waktu kurang dari 5 tahun sudah dibuat di dalam negeri. Jepang, Taiwan, Korea, China menggunakan model seperti ini, dan mereka berhasil. Indonesia memilih mengimpor, bahkan yang diimpor bukan teknologi tetapi langsung barang modal bahkan barang jadinya.

Tidak bisa disalahkan kenapa kita tidak mengenal MoT, karena ideologi ekonomi Indonesia adalah ekonomi berbasis pasar semata, seperti yang diajarkan oleh teori ekonomi berbasis liberalisme-baru yang sudah dimodifikasi khusus untuk negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, Kementerian Ristek pun sudah diberi beban baru mengurusi lisensi guru besar, dan bahkan anggaran Ristek pun akan dialihkan dari perguruan tinggi ke industri. Kita tidak tahu apa yang harus kita kerjakan. Presiden memerintahkan apa pun, selama “mesin” dan “mode”-nya sama, prosesnya sama, dan hasilnya pun sama.

Ujung dari berbagai simpul itu adalah ketergantungan industri nasional terhadap pasokan barang modal dari luar negeri, baik dalam arti strategis dan dalam arti sistematis. Artinya, faktor input yang bersifat strategis dari industri dalam negeri tergantung dari pasokan dari luar negeri, dan kondisi tersebut terbentuk sedemikian sistematisnya sehingga tidak ada solusi efektif kecuali impor. Kebijakan ekonomi pun secara sengaja atau tidak, dibuat sesuai dengan fakta tersebut. Defisit transaksi berjalan akan terjadi seiring dengan upaya meningkatkan industri dalam negeri. Ujungnya adalah pelemahan rupiah.

Kondisi tersebut disokong oleh tergantungnya pendapatan transaksi “pasti” dari perdagangan internasional kepada komoditi primer, termasuk migas, batubara, dan hasil tambang lainnya. Masalahnya, saat ini nilai komoditi global sedang terus merosot. Kondisi tersebut diperkuat dengan tetap kuatnya sentimen terhadap rupiah. Tambah lagi, faktor tersebut diperkuat oleh kebijakan AS dalam waktu ini dan tiga tahun ke depan untuk menarik dollar ke dalam negeri setelah krisis mulai tertangani. Dan, belakangan, devaluasi Yuan semakin memperkuat cengkeraman terhadap rupiah. Seperti tomat ditusuk lima pedang tajam secara bersamaan. 
 
Benang Merah
 
Jokowinomics adalah konsep ekonomi yang baik dan memadai, tetapi perlu tiga ceteris paribus. Pertama, perlu tim ekonomi yang sesuai. Perombakan kabinet dinilai sudah memecahkan sampai 70% masalah. Faktor yang mengganjal adalah faktur “U”; para Menko di bidang ekonomi sudah sepuh. Jokowinomics memerlukan tim yang bekerja '24 jam' sehari. Tantangannya, bagaimana membuat para senior tersebut 'mampu'. Tim senior ekonomi yang hebat akan mampu membangun kebijakan ekonomi yang efektif, bahkan termasuk menghadapi guncangan ekonomi global dan serangan spekulan kapital. Mereka tidak harus made in USA atau UK, dan lain-lain. Yang diperlukan bukan made-in-nya, tetapi pikiran hebatnya.

Kedua, tim ekonomi teknis perlu dibantu dengan tim yang multi-talent, untuk merespons tantangan kebijakan yang multifaset. Tidak bisa tantangan keuangan dihadapi dengan cara keuangan saja, namun memerlukan cara keuangan, cara perdagangan, cara industri, dan cara kebijakan. Demikian juga halnya dengan semua kementerian di sektor ekonomi lain. Karena, hari ini tidak ada lagi kebijakan standalone di sektor ekonomi tertentu; yang ada hanya economic compound policy. Dan ini mengagendakan tugas bagi Menko Perekonomian dan tugas dari setiap menteri sektor ekonomi. Bahkan kalau perlu, tugas membuat kebijakan ekonomi bukan lagi tugas menteri, tetap Menko.

Ketiga, Jokowinomics dan Nawa Cita-nya harus menjadi sebuah konsep yang adaptif, bahkan proaktif kepada perubahan yang menjelang tanpa harus kehilangan inti konsepsinya. Jika Jokowinomics dan Nawa Cita menjadi dogma, maka dengan segera Indonesia menjadi sitting duck yang ditembaki oleh sesama ekonomi dunia, baik itu negara, pelaku ekonomi, hingga spekulan. Di sini, menjadi perlu bagi Presiden untuk membangun sebuah “koloni kebijakan ekonomi” yang menjadi sebuah charger dan bahkan oase pada saat Jokowinomic menemui kebuntuan. Bukan sebuah “organisasi kepresidenan”, tetapi sebuah “ekosistem” di mana Presiden dengan Jokowinomics-nya dapat berenang dengan leluasa. 
 
Oleh: Riant Nugroho / analis kebijakan publik, Direktur Institute for Policy Reform, pernah menjadi adjunct professor di University of Electronic Science and Technology China (UESTC), Chengdu, PR China.
 
 
 
View

Related

OPINI 1973268060413608319

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item