Beware! Rupiah Anjlok, Dolar Mendekati Rp 14.000


BLOKBERITA -- Rencana The Fed mengerek suku bunganya masih tetap menjadi momok yang diperhitungkan oleh pemain valas.  Pemilik uang terus berspekulasi.

Di pasar spot pagi tadi (21/8/2015), satu dolar AS sudah dihargai Rp 13.946. Dolar AS sedang siap-siap menembus Rp 14.000. Bahkan di beberapa bank, dolar AS sudah menembus Rp 14.000. Di Bank International Indonesia, misalnya, satu dolar AS ditetapkan sebesar Rp 14.140. Di tengah tertekannya perekonomian Indonesia, nasib rupiah seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan.

Faktor utama yang membuat mata uang rupiah terus melemah adalah rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunganya di bulan September. Situasi ini membuat masyarakat internasional maupun domestik mendivestasikan aset-aset nondolar ke dolar. Saham, obligasi negara dan korporasi,  serta instrumen investasi lainnya dilepas untuk mengejar dolar.

Selain terfokus pada langkah yang diambil The Fed, para pelaku pasar juga aktif mengamati keputusan Vietnam yang mendevaluasi mata uang dong, termasuk kemungkinan pada yen Jepang dan won Korea. Jika kedua negara di kawasan Asia Timur itu mengikuti jejak People Bank of China yang mendevaluasi yuan, ada kemungkinan rupiah akan terperosok lebih dalam.   Hal lain yang ikut menganggu rupiah adalah kegaduhan di kabinet.

Situasi bertambah parah karena masyarakat pemilik uang melihat pemerintah semakin kebingungan. Terutama dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Mungkin saking bingungnya, RAPBN 2016 terkesan dibuat dengan semangat ekstra optimistis. Misalnya, target penerimaan pajak yang dipatok naik 5,3% menjadi Rp 1.565,8 triliun, padahal bisnis sedang lesu. China, yang menjadi tujuan ekspor Indonesia, juga tengah memasuki resesi dan tak bisa cepat pulih.

Jadi, memang, nyaris tak ada sentimen positif sedikit pun yang bisa membuat rupiah berotot. Betul, rupiah sempat menguat setelah BI menurunkan batas transaksi valuta asing yang harus memakai agunan aset dari US$ 100.000 menjadi US$ 25.000. Tapi, setelah itu, rupiah kembali melorot.

Rencana The Fed mengerek suku bunganya memang masih tetap menjadi momok yang diperhitungkan oleh pemain valas. “Saat ini rencana kenaikan suku bunga The Fed membuat orang terus berspekulasi,” ujar Rully Arya Wisnubroto, analis pasar uang Bank Mandiri.

Dalam percaturan ekonomi dunia, bos The Fed, Janet Yellen tak ubahnya Dewa. Segala tindak tanduk orang nomor satu di The Fed itu selalu menjadi panutan para ekonom, praktisi perbankan, serta pelau pasar uang di seantero jagat. Itu sebabnya, saat Yellen mengatakan kemungkinan The Fed Rate naik di bulan September, sontak nilai tukar dolar AS melejit terhadap semua mata uang di dunia. Tak terkecuali Indonesia. Mata uang hijau itu telah membuat rupiah terkapar.

Ketergantungan pada otoritas moneter Amerika Serikat itulah yang membuat banyak orang kesal. Soalnya, bukan hanya mengombang-ambingkan nilai tukar rupiah dan menyulitkan para pengusaha. Lebih dari itu, rencana keputusan  kenaikan suku bunga The Fed juga ikut menentukan meriah tidaknya perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia. “Investor kini sedang menunggu langkah yang akan diambil The Fed,” ujar seorang analis pasar modal.

Tapi, agaknya, pasar uang dan pasar modal masih akan terombang-ambing cukup lama. Soalnya, pemulihan ekonomi di Amerika Serikat masih menunjukkan data yang simpang siur. Maksudnya, suatu ketika, data bagus yang ke luar, setelah itu muncul data yang jelek.

Ini artinya, mata uang di berbagai belahan dunia akan terus terombang-ambing tak menentu. Bagi Indonesia, situasi ini jelas tidak menguntungkan.  [Inrev]

nReview.com -- Rencana The Fed mengerek suku bunganya masih tetap menjadi momok yang diperhitungkan oleh pemain valas.  Pemilik uang terus berspekulasi. 
Di pasar spot pagi tadi (21/8/2015), satu dolar AS sudah dihargai Rp 13.946. Dolar AS sedang siap-siap menembus Rp 14.000. Bahkan di beberapa bank, dolar AS sudah menembus Rp 14.000. Di Bank International Indonesia, misalnya, satu dolar AS ditetapkan sebesar Rp 14.140. Di tengah tertekannya perekonomian Indonesia, nasib rupiah seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan.
Faktor utama yang membuat mata uang rupiah terus melemah adalah rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunganya di bulan September. Situasi ini membuat masyarakat internasional maupun domestik mendivestasikan aset-aset nondolar ke dolar. Saham, obligasi negara dan korporasi,  serta instrumen investasi lainnya dilepas untuk mengejar dolar.
Selain terfokus pada langkah yang diambil The Fed, para pelaku pasar juga aktif mengamati keputusan Vietnam yang mendevaluasi mata uang dong, termasuk kemungkinan pada yen Jepang dan won Korea. Jika kedua negara di kawasan Asia Timur itu mengikuti jejak People Bank of China yang mendevaluasi yuan, ada kemungkinan rupiah akan terperosok lebih dalam.   Hal lain yang ikut menganggu rupiah adalah kegaduhan di kabinet.
Situasi bertambah parah karena masyarakat pemilik uang melihat pemerintah semakin kebingungan. Terutama dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Mungkin saking bingungnya, RAPBN 2016 terkesan dibuat dengan semangat ekstra optimistis. Misalnya, target penerimaan pajak yang dipatok naik 5,3% menjadi Rp 1.565,8 triliun, padahal bisnis sedang lesu. China, yang menjadi tujuan ekspor Indonesia, juga tengah memasuki resesi dan tak bisa cepat pulih.
Jadi, memang, nyaris tak ada sentimen positif sedikit pun yang bisa membuat rupiah berotot. Betul, rupiah sempat menguat setelah BI menurunkan batas transaksi valuta asing yang harus memakai agunan aset dari US$ 100.000 menjadi US$ 25.000. Tapi, setelah itu, rupiah kembali melorot.
Rencana The Fed mengerek suku bunganya memang masih tetap menjadi momok yang diperhitungkan oleh pemain valas. “Saat ini rencana kenaikan suku bunga The Fed membuat orang terus berspekulasi,” ujar Rully Arya Wisnubroto, analis pasar uang Bank Mandiri.
Dalam percaturan ekonomi dunia, bos The Fed, Janet Yellen tak ubahnya Dewa. Segala tindak tanduk orang nomor satu di The Fed itu selalu menjadi panutan para ekonom, praktisi perbankan, serta pelau pasar uang di seantero jagat. Itu sebabnya, saat Yellen mengatakan kemungkinan The Fed Rate naik di bulan September, sontak nilai tukar dolar AS melejit terhadap semua mata uang di dunia. Tak terkecuali Indonesia. Mata uang hijau itu telah membuat rupiah terkapar.
Ketergantungan pada otoritas moneter Amerika Serikat itulah yang membuat banyak orang kesal. Soalnya, bukan hanya mengombang-ambingkan nilai tukar rupiah dan menyulitkan para pengusaha. Lebih dari itu, rencana keputusan  kenaikan suku bunga The Fed juga ikut menentukan meriah tidaknya perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia. “Investor kini sedang menunggu langkah yang akan diambil The Fed,” ujar seorang analis pasar modal.
Tapi, agaknya, pasar uang dan pasar modal masih akan terombang-ambing cukup lama. Soalnya, pemulihan ekonomi di Amerika Serikat masih menunjukkan data yang simpang siur. Maksudnya, suatu ketika, data bagus yang ke luar, setelah itu muncul data yang jelek.
Ini artinya, mata uang di berbagai belahan dunia akan terus terombang-ambing tak menentu. Bagi Indonesia, situasi ini jelas tidak menguntungkan.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/ya-ampun-dolar-mendekati-rp-14000#sthash.92AkU4Lh.dpuf
View

Related

EKBIS 736095611804042887

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item