Neoliberalisme, Senjata Makan Tuan

BLOKBERITA -- Konsep neoliberalisme dipertanyakan seiring kejatuhan perekonomian Cina. Kini, konsep ekonomi yang digagas AS dan Inggris itu siap memangsanya tuannya.

Tak lebih dari satu bulan, Cina diguncang anjloknya Bursa Saham Shanghai.  Apakah ini menandakan titik kebuntuan Cina dalam menerapkan ekonomi neoliberalismenya yang selama ini dipuji-puji negara-negara berkembang, seperti Indonesia?

Anjloknya nilai saham gabungan mengakibatkan kerugian hampir mencapai 30% dari perdagangan saham-saham perusahaan di Cina. Ada apa sebenarnya dengan neoliberalisme, dan bagaimana sebenarnya yang terjadi terhadap kondisi ekonomi negara-negara yang menganut paham neoliberalisme saat ini,  yang kerap rentan terkena krisis?

Sejarah munculnya paham neoliberalisme, tidak lepas dari gejolak ekonomi global pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sistem ekonomi pasar liberal yang dianut oleh negara-negara Eropa dan Amerika tidak menuai sukses. Ketika itu, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka membuat campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan lagi.

Tetapi setelah perekonomian dunia terjerembab ke dalam depresi besar di tahun 1930-an, kepercayaan terhadap sistem ekonomi pasar liberal merosot drastis. Anggapan publik kala itu, pasar bukan hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, namun juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi terjadi di mana-mana karena banyak yang bangkrut dan menganggur..

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap sistem ekonomi pasar dunia, yaitu dengan memperkuat peran negara sebagai pembuat kebijakan.

Pada perkembangannya,  gagasan Rostow dan Euken ini, kemudian dibawa oleh ekonom Amerika, yakni Ropke dan Simon ke Universitas Chicago untuk dikembangkan, yang menjadikan institusi pendidikan yang dinaunginya sontak terkenal dengan sebutan Chicago School. Pada akhirnya Chicago School menyempurnakan konsep ekonomi neoliberal, konsep sistem ekonomi yang dipercaya sebagai solusi menekan tingkat depresi suatu negara. Tapi, teori neoliberal yang telah siap diterapkan, ketika itu kalah pamor dari konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Namun, kedigdayaan Keynesianisme berakhir di era tahun 1979/1980-an, menyusul terjadinya resesi global yang menghantam negara-negara Eropa dan Amerika. Terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dijadikan momentum bagi Margaret Thatcher (PM Inggris) untuk memproklamirkan konsep neoliberalisme bersama Ronald Reagan. Thatcher pun mengeluarkan sebuah pernyataan There Is No Alternative (TINA)!, yang maksudnya adalah tiada pilihan lain selain dari neoliberalisme.  Thatcher sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya neoliberalisme dapat memperkuat sistem ekonomi negara, yang menyangkut perbaikan format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian.

Propaganda neoliberalisme yang dilakukan Thatcher dan Reagan seperti menemukan momentumnya. Banyak pemimpin negara dengan segera menerapkan sistem ekonomi neoliberal,  seperti Jerman, Perancis, dan negara-negara lainnya.

Kebijakan ekonomi  neoliberalisme yang dibuat oleh Thatcher dan Reagan semakin nyata diterapkan melalui kebijakan yang berkaitan dengan pasar global, seperti liberalisasi dan privatisasi,  Washington Consensus yang berperan dalam pembentukan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, serta adanya pemfokusan pada aspek materialistik.

Menurut pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir, konsep ekonomi yang dikembangkan dari Chicago School, sebenarnya memiliki tujuan yang baik yaitu memberikan prinsip-prinsip dasar perekonomian serta menambah pengetahuan. Tetapi bagi masyarakat kebanyakan hal itu justru dianggap sebagai sesuatu yang konservatif dan semakin memiskinkan yang miskin.

Kenapa neoliberalisme memiskinkan yang miskin, karena sistem ekonomi neoliberalisme lebih  mengutamakan kepentingan pemodal atau kapitalis atau juga investor sehingga menempatkannya diposisi sentral substansial. Sementara poisisi rakyat diletakkan pada posisi marginal residula atau pinggiran. Jelas, sistem ekonomi neoliberalisme akan menggusur rakyat miskin, pembangunan rakyat tidak inherent dengan pembangunan ekonomi. Rakyat atau kalangan kelas bawah selalu menjadi budak di negerinya sendiri. Rakyat akan berada dicengkraman kapitalisme neoliberalisme yang merupakan penghisapan dan penindasan struktural.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tampaknya juga masih cenderung menganut paham neoliberalisme. Hal ini terindikasi pada kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat, seperti mengharuskan PT Pertamina bersaing dengan perusahaan minyak asing dengan standar harga yang tinggi, memberi ruang bebas kepada pihak asing untuk mengisi posisi strategis di BUMN serta akan dicabutnya subsidi listrik terhadap pemakai listrik untuk kalangan kelas bawah yaitu 450 watt dan 900 watt.

Pemerintahan yang menerapkan sistem neoliberalisme, hanya memikirkan bagaimana respon pasar dan tidak mempedulikan kondisi rakyatnya. Hal ini dapat terlihat bagaimana kebijakan pemerintahannya mencabut berbagai subsidi tanpa diberikan solusi untuk menunjang kelangsungan hidup rakyatnya.

Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas, berhasil menekan intervensi pemerintah dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi pada kekuatan tertentu saja.

Neoliberalisme bertolak belakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dari sebuah negara.

Tapi setelah masuk dalam era globalisasi saat ini, sistem ekonomi neoliberalisme kini sedang menuju titik jenuh yang tak lain akan kembalinya dunia mengalami resesi. Neoliberalisasi dalam globalisasi dunia menuntut akses pasar yang semakin terbuka, hal tersebut justru menciptakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap neoliberalisme ekonomi itu sendiri dalam bentuk regionalisme ekonomi. Regionalisme ekonomi membuat semakin sulitnya terjadi integrasi pasar secara global, dan masing-masing negara akan sibuk dengan kelompoknya dan urusan negaranya masing-masing. Konsekuensinya dapat membawa perubahan negatif bagi aktivitas pasar global.

Anjloknya Bursa Saham Cina bisa saja akibat dari perilaku pasar global yang kini sudah dengan mudahnya digoyang oleh pihak tertentu. Bila kondisi ini terus terjadi pada kondisi pasar saham di Cina, maka banyak perusahaan AS yang terkena imbasnya. Kita ketahui, bahwa sejumlah perusahaan raksasa di AS memiliki pasar cukup besar di China. Menurut data FactSet yang dilansir CNN, setidaknya ada 10 perusahaan AS yang 30% konsumen di Cina.

Lebih mengerikannya lagi, Cina saat ini merupakan negara kreditur AS terbesar. Data yang dikeluarkan pemerintah AS Mei lalu menunjukkan surat utang AS yang dibeli oleh Beijing mencapai US$ 1,2 triliun. Posisi ini membuat pemerintah AS ketar ketir dalam masalah terpuruknya Bursa Saham Cina.

Bursa saham AS pun diperkirakan ikut jatuh karena kekhawatiran akan kondisi Cina tersebut. Bakal ada banyak perusahaan AS yang bangkrut  karena turunnya perekonomian Cina. Bahkan perusahaan seperti Apple juga bakal terkena dampaknya, karena 16% penjualannya adalah ke Cina. Merembet pula ke perusahaan kasino di AS, yaitu MGM Resort, Las Vegas Sand, dan Wynn, karena mereka memiliki kasino di Macau, China.

Sejatinya, neoliberalisme adalah perkembangan mutakhir ideologi kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian dan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar. Namun, apa yang terjadi setelah sekitar tiga dasawarsa ini? Konsep neoliberalisme dipertanyakan.

Apalagi dengan kejatuhan perekonomian Cina saat ini, yang diperkirakan akan merembet ke AS dan Eropa. Ibarat pepatah, neoliberalisme yang digagas AS dan Inggris kini telah siap memangsa tuannya sendiri.    

[ bmw / inrev ]






donesianReview.com -- Konsep neoliberalisme dipertanyakan seiring kejatuhan perekonomian Cina. Kini, konsep ekonomi yang digagas AS dan Inggris itu siap memangsanya tuannya. 
Tak lebih dari satu bulan, Cina diguncang anjloknya Bursa Saham Shanghai.  Apakah ini menandakan titik kebuntuan Cina dalam menerapkan ekonomi neoliberalismenya yang selama ini dipuji-puji negara-negara berkembang, seperti Indonesia?
Anjloknya nilai saham gabungan mengakibatkan kerugian hampir mencapai 30% dari perdagangan saham-saham perusahaan di Cina. Ada apa sebenarnya dengan neoliberalisme, dan bagaimana sebenarnya yang terjadi terhadap kondisi ekonomi negara-negara yang menganut paham neoliberalisme saat ini,  yang kerap rentan terkena krisis?
Sejarah munculnya paham neoliberalisme, tidak lepas dari gejolak ekonomi global pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sistem ekonomi pasar liberal yang dianut oleh negara-negara Eropa dan Amerika tidak menuai sukses. Ketika itu, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka membuat campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan lagi.
Tetapi setelah perekonomian dunia terjerembab ke dalam depresi besar di tahun 1930-an, kepercayaan terhadap sistem ekonomi pasar liberal merosot drastis. Anggapan publik kala itu, pasar bukan hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, namun juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi terjadi di mana-mana karena banyak yang bangkrut dan menganggur..
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap sistem ekonomi pasar dunia, yaitu dengan memperkuat peran negara sebagai pembuat kebijakan.
Pada perkembangannya,  gagasan Rostow dan Euken ini, kemudian dibawa oleh ekonom Amerika, yakni Ropke dan Simon ke Universitas Chicago untuk dikembangkan, yang menjadikan institusi pendidikan yang dinaunginya sontak terkenal dengan sebutan Chicago School. Pada akhirnya Chicago School menyempurnakan konsep ekonomi neoliberal, konsep sistem ekonomi yang dipercaya sebagai solusi menekan tingkat depresi suatu negara. Tapi, teori neoliberal yang telah siap diterapkan, ketika itu kalah pamor dari konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Namun, kedigdayaan Keynesianisme berakhir di era tahun 1979/1980-an, menyusul terjadinya resesi global yang menghantam negara-negara Eropa dan Amerika. Terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dijadikan momentum bagi Margaret Thatcher (PM Inggris) untuk memproklamirkan konsep neoliberalisme bersama Ronald Reagan. Thatcher pun mengeluarkan sebuah pernyataan There Is No Alternative (TINA)!, yang maksudnya adalah tiada pilihan lain selain dari neoliberalisme.  Thatcher sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya neoliberalisme dapat memperkuat sistem ekonomi negara, yang menyangkut perbaikan format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian.
Propaganda neoliberalisme yang dilakukan Thatcher dan Reagan seperti menemukan momentumnya. Banyak pemimpin negara dengan segera menerapkan sistem ekonomi neoliberal,  seperti Jerman, Perancis, dan negara-negara lainnya.
Kebijakan ekonomi  neoliberalisme yang dibuat oleh Thatcher dan Reagan semakin nyata diterapkan melalui kebijakan yang berkaitan dengan pasar global, seperti liberalisasi dan privatisasi,  Washington Consensus yang berperan dalam pembentukan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, serta adanya pemfokusan pada aspek materialistik.
Menurut pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir, konsep ekonomi yang dikembangkan dari Chicago School, sebenarnya memiliki tujuan yang baik yaitu memberikan prinsip-prinsip dasar perekonomian serta menambah pengetahuan. Tetapi bagi masyarakat kebanyakan hal itu justru dianggap sebagai sesuatu yang konservatif dan semakin memiskinkan yang miskin.
Kenapa neoliberalisme memiskinkan yang miskin, karena sistem ekonomi neoliberalisme lebih  mengutamakan kepentingan pemodal atau kapitalis atau juga investor sehingga menempatkannya diposisi sentral substansial. Sementara poisisi rakyat diletakkan pada posisi marginal residula atau pinggiran. Jelas, sistem ekonomi neoliberalisme akan menggusur rakyat miskin, pembangunan rakyat tidak inherent dengan pembangunan ekonomi. Rakyat atau kalangan kelas bawah selalu menjadi budak di negerinya sendiri. Rakyat akan berada dicengkraman kapitalisme neoliberalisme yang merupakan penghisapan dan penindasan struktural.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tampaknya juga masih cenderung menganut paham neoliberalisme. Hal ini terindikasi pada kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat, seperti mengharuskan PT Pertamina bersaing dengan perusahaan minyak asing dengan standar harga yang tinggi, memberi ruang bebas kepada pihak asing untuk mengisi posisi strategis di BUMN serta akan dicabutnya subsidi listrik terhadap pemakai listrik untuk kalangan kelas bawah yaitu 450 watt dan 900 watt.
Pemerintahan yang menerapkan sistem neoliberalisme, hanya memikirkan bagaimana respon pasar dan tidak mempedulikan kondisi rakyatnya. Hal ini dapat terlihat bagaimana kebijakan pemerintahannya mencabut berbagai subsidi tanpa diberikan solusi untuk menunjang kelangsungan hidup rakyatnya.
Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas, berhasil menekan intervensi pemerintah dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi pada kekuatan tertentu saja.
Neoliberalisme bertolak belakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dari sebuah negara.
Tapi setelah masuk dalam era globalisasi saat ini, sistem ekonomi neoliberalisme kini sedang menuju titik jenuh yang tak lain akan kembalinya dunia mengalami resesi. Neoliberalisasi dalam globalisasi dunia menuntut akses pasar yang semakin terbuka, hal tersebut justru menciptakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap neoliberalisme ekonomi itu sendiri dalam bentuk regionalisme ekonomi. Regionalisme ekonomi membuat semakin sulitnya terjadi integrasi pasar secara global, dan masing-masing negara akan sibuk dengan kelompoknya dan urusan negaranya masing-masing. Konsekuensinya dapat membawa perubahan negatif bagi aktivitas pasar global.
Anjloknya Bursa Saham Cina bisa saja akibat dari perilaku pasar global yang kini sudah dengan mudahnya digoyang oleh pihak tertentu. Bila kondisi ini terus terjadi pada kondisi pasar saham di Cina, maka banyak perusahaan AS yang terkena imbasnya. Kita ketahui, bahwa sejumlah perusahaan raksasa di AS memiliki pasar cukup besar di China. Menurut data FactSet yang dilansir CNN, setidaknya ada 10 perusahaan AS yang 30% konsumen di Cina.
Lebih mengerikannya lagi, Cina saat ini merupakan negara kreditur AS terbesar. Data yang dikeluarkan pemerintah AS Mei lalu menunjukkan surat utang AS yang dibeli oleh Beijing mencapai US$ 1,2 triliun. Posisi ini membuat pemerintah AS ketar ketir dalam masalah terpuruknya Bursa Saham Cina.
Bursa saham AS pun diperkirakan ikut jatuh karena kekhawatiran akan kondisi Cina tersebut. Bakal ada banyak perusahaan AS yang bangkrut  karena turunnya perekonomian Cina. Bahkan perusahaan seperti Apple juga bakal terkena dampaknya, karena 16% penjualannya adalah ke Cina. Merembet pula ke perusahaan kasino di AS, yaitu MGM Resort, Las Vegas Sand, dan Wynn, karena mereka memiliki kasino di Macau, China.
Sejatinya, neoliberalisme adalah perkembangan mutakhir ideologi kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian dan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar. Namun, apa yang terjadi setelah sekitar tiga dasawarsa ini? Konsep neoliberalisme dipertanyakan.
Apalagi dengan kejatuhan perekonomian Cina saat ini, yang diperkirakan akan merembet ke AS dan Eropa. Ibarat pepatah, neoliberalisme yang digagas AS dan Inggris kini telah siap memangsa tuannya sendiri.
- See more at: http://indonesianreview.com/ds-muftie/neoliberalisme-memangsa-tuannya-sendiri#sthash.AgSlpIFo.dpuf
donesianReview.com -- Konsep neoliberalisme dipertanyakan seiring kejatuhan perekonomian Cina. Kini, konsep ekonomi yang digagas AS dan Inggris itu siap memangsanya tuannya. 
Tak lebih dari satu bulan, Cina diguncang anjloknya Bursa Saham Shanghai.  Apakah ini menandakan titik kebuntuan Cina dalam menerapkan ekonomi neoliberalismenya yang selama ini dipuji-puji negara-negara berkembang, seperti Indonesia?
Anjloknya nilai saham gabungan mengakibatkan kerugian hampir mencapai 30% dari perdagangan saham-saham perusahaan di Cina. Ada apa sebenarnya dengan neoliberalisme, dan bagaimana sebenarnya yang terjadi terhadap kondisi ekonomi negara-negara yang menganut paham neoliberalisme saat ini,  yang kerap rentan terkena krisis?
Sejarah munculnya paham neoliberalisme, tidak lepas dari gejolak ekonomi global pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sistem ekonomi pasar liberal yang dianut oleh negara-negara Eropa dan Amerika tidak menuai sukses. Ketika itu, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka membuat campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan lagi.
Tetapi setelah perekonomian dunia terjerembab ke dalam depresi besar di tahun 1930-an, kepercayaan terhadap sistem ekonomi pasar liberal merosot drastis. Anggapan publik kala itu, pasar bukan hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, namun juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi terjadi di mana-mana karena banyak yang bangkrut dan menganggur..
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap sistem ekonomi pasar dunia, yaitu dengan memperkuat peran negara sebagai pembuat kebijakan.
Pada perkembangannya,  gagasan Rostow dan Euken ini, kemudian dibawa oleh ekonom Amerika, yakni Ropke dan Simon ke Universitas Chicago untuk dikembangkan, yang menjadikan institusi pendidikan yang dinaunginya sontak terkenal dengan sebutan Chicago School. Pada akhirnya Chicago School menyempurnakan konsep ekonomi neoliberal, konsep sistem ekonomi yang dipercaya sebagai solusi menekan tingkat depresi suatu negara. Tapi, teori neoliberal yang telah siap diterapkan, ketika itu kalah pamor dari konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Namun, kedigdayaan Keynesianisme berakhir di era tahun 1979/1980-an, menyusul terjadinya resesi global yang menghantam negara-negara Eropa dan Amerika. Terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dijadikan momentum bagi Margaret Thatcher (PM Inggris) untuk memproklamirkan konsep neoliberalisme bersama Ronald Reagan. Thatcher pun mengeluarkan sebuah pernyataan There Is No Alternative (TINA)!, yang maksudnya adalah tiada pilihan lain selain dari neoliberalisme.  Thatcher sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya neoliberalisme dapat memperkuat sistem ekonomi negara, yang menyangkut perbaikan format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian.
Propaganda neoliberalisme yang dilakukan Thatcher dan Reagan seperti menemukan momentumnya. Banyak pemimpin negara dengan segera menerapkan sistem ekonomi neoliberal,  seperti Jerman, Perancis, dan negara-negara lainnya.
Kebijakan ekonomi  neoliberalisme yang dibuat oleh Thatcher dan Reagan semakin nyata diterapkan melalui kebijakan yang berkaitan dengan pasar global, seperti liberalisasi dan privatisasi,  Washington Consensus yang berperan dalam pembentukan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, serta adanya pemfokusan pada aspek materialistik.
Menurut pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir, konsep ekonomi yang dikembangkan dari Chicago School, sebenarnya memiliki tujuan yang baik yaitu memberikan prinsip-prinsip dasar perekonomian serta menambah pengetahuan. Tetapi bagi masyarakat kebanyakan hal itu justru dianggap sebagai sesuatu yang konservatif dan semakin memiskinkan yang miskin.
Kenapa neoliberalisme memiskinkan yang miskin, karena sistem ekonomi neoliberalisme lebih  mengutamakan kepentingan pemodal atau kapitalis atau juga investor sehingga menempatkannya diposisi sentral substansial. Sementara poisisi rakyat diletakkan pada posisi marginal residula atau pinggiran. Jelas, sistem ekonomi neoliberalisme akan menggusur rakyat miskin, pembangunan rakyat tidak inherent dengan pembangunan ekonomi. Rakyat atau kalangan kelas bawah selalu menjadi budak di negerinya sendiri. Rakyat akan berada dicengkraman kapitalisme neoliberalisme yang merupakan penghisapan dan penindasan struktural.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tampaknya juga masih cenderung menganut paham neoliberalisme. Hal ini terindikasi pada kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat, seperti mengharuskan PT Pertamina bersaing dengan perusahaan minyak asing dengan standar harga yang tinggi, memberi ruang bebas kepada pihak asing untuk mengisi posisi strategis di BUMN serta akan dicabutnya subsidi listrik terhadap pemakai listrik untuk kalangan kelas bawah yaitu 450 watt dan 900 watt.
Pemerintahan yang menerapkan sistem neoliberalisme, hanya memikirkan bagaimana respon pasar dan tidak mempedulikan kondisi rakyatnya. Hal ini dapat terlihat bagaimana kebijakan pemerintahannya mencabut berbagai subsidi tanpa diberikan solusi untuk menunjang kelangsungan hidup rakyatnya.
Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas, berhasil menekan intervensi pemerintah dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi pada kekuatan tertentu saja.
Neoliberalisme bertolak belakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dari sebuah negara.
Tapi setelah masuk dalam era globalisasi saat ini, sistem ekonomi neoliberalisme kini sedang menuju titik jenuh yang tak lain akan kembalinya dunia mengalami resesi. Neoliberalisasi dalam globalisasi dunia menuntut akses pasar yang semakin terbuka, hal tersebut justru menciptakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap neoliberalisme ekonomi itu sendiri dalam bentuk regionalisme ekonomi. Regionalisme ekonomi membuat semakin sulitnya terjadi integrasi pasar secara global, dan masing-masing negara akan sibuk dengan kelompoknya dan urusan negaranya masing-masing. Konsekuensinya dapat membawa perubahan negatif bagi aktivitas pasar global.
Anjloknya Bursa Saham Cina bisa saja akibat dari perilaku pasar global yang kini sudah dengan mudahnya digoyang oleh pihak tertentu. Bila kondisi ini terus terjadi pada kondisi pasar saham di Cina, maka banyak perusahaan AS yang terkena imbasnya. Kita ketahui, bahwa sejumlah perusahaan raksasa di AS memiliki pasar cukup besar di China. Menurut data FactSet yang dilansir CNN, setidaknya ada 10 perusahaan AS yang 30% konsumen di Cina.
Lebih mengerikannya lagi, Cina saat ini merupakan negara kreditur AS terbesar. Data yang dikeluarkan pemerintah AS Mei lalu menunjukkan surat utang AS yang dibeli oleh Beijing mencapai US$ 1,2 triliun. Posisi ini membuat pemerintah AS ketar ketir dalam masalah terpuruknya Bursa Saham Cina.
Bursa saham AS pun diperkirakan ikut jatuh karena kekhawatiran akan kondisi Cina tersebut. Bakal ada banyak perusahaan AS yang bangkrut  karena turunnya perekonomian Cina. Bahkan perusahaan seperti Apple juga bakal terkena dampaknya, karena 16% penjualannya adalah ke Cina. Merembet pula ke perusahaan kasino di AS, yaitu MGM Resort, Las Vegas Sand, dan Wynn, karena mereka memiliki kasino di Macau, China.
Sejatinya, neoliberalisme adalah perkembangan mutakhir ideologi kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian dan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar. Namun, apa yang terjadi setelah sekitar tiga dasawarsa ini? Konsep neoliberalisme dipertanyakan.
Apalagi dengan kejatuhan perekonomian Cina saat ini, yang diperkirakan akan merembet ke AS dan Eropa. Ibarat pepatah, neoliberalisme yang digagas AS dan Inggris kini telah siap memangsa tuannya sendiri.
- See more at: http://indonesianreview.com/ds-muftie/neoliberalisme-memangsa-tuannya-sendiri#sthash.AgSlpIFo.dpuf
View

Related

OPINI 1232321644884744562

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item