Indonesia Butuh Banyak Manusia "Purna"
https://kabar22.blogspot.com/2015/06/indonesia-butuh-banyak-manusia-purna.html
BLOKBERITA -- Seorang menteri, pejabat tinggi, atau tokoh nasional yang sebelumnya menunjukkan kinerja baik dan mengundang respek publik mendadak terjerat korupsi. Publik tak kaget lagi, apalagi menangisi. Antiklimaks dalam karier politik seseorang sudah terlalu sering terjadi. Bunuh diri eksistensial atas tokoh penyelenggara negara jadi kenyataan rutin. Ada banyak nama terkubur dengan batu nisan "koruptor". Negeri ini pun (berpeluang) menjelma jadi kuburan nama baik, kehormatan, harga diri, dan martabat dari banyak tokoh nasional yang gagal melawan godaan korupsi. Tak ada jaminan apa pun terkait pejabat publik yang memiliki kekayaan melimpah lantas tidak mencuri duit negara. Korupsi lebih erat berhubungan dengan kesentosaan dan mutu mentalitas manusia yang memiliki rasa cukup. Penyelenggara negara yang memiliki rasa cukup cenderung tak tergoda korupsi.
Sikap moral yang terkandung di dalam rasa cukup mendorong manusia berdamai dengan dirinya sendiri. Pertarungan melawan segala godaan berupa pamrih material pun selalu dimenangi. Damai dengan diri sendiri lahir dari pergulatan nilai yang berlangsung sengit lahir batin manusia. Manusia yang selalu ndangak (memandang ke atas dalam konteks kepemilikan material) selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia ngongso (selalu mencari dan mengambil) secara material demi memenuhi kepuasan yang tanpa ujung. Manusia pun menderita kemiskinan mental dan spiritual. Meski depositonya tak terhitung lagi dan kekayaannya super melimpah, tetap saja masih merasa sebagai orang miskin. Duit dan segala bentuk material jadi obsesi nan tak pernah selesai. Rasa syukur tak dimiliki. Keinginan berbagi dengan sesama cenderung dihindari karena takut harta bendanya tergerogoti. Takut miskin berandil besar atas maraknya korupsi di negeri ini.
Kekayaan eksistensial sastrawan dan rohaniman YB Mangunwijaya secara sederhana merumuskan orang kaya sebagai orang yang memiliki banyak kemungkinan atau pilihan meningkatkan diri secara eksistensial. Dalam pandangan sastrawan itu, kekayaan tak selalu berhubungan (identik) dengan hedonisme material/biologis dan hedonisme psikologis. Kekayaan adalah himpunan nilai yang menjadi modal bagi manusia melakukan pembudayaan dan pemberadaban diri. Dalam konteks idealisasi itu, otomatis orang kaya selalu berbudaya dan beradab. Berbudaya karena dengan kekayaannya, seseorang berpeluang besar melakukan berbagai perubahan mental dan spiritual demi meraih kejayaan eksistensial (manusia bermartabat tinggi). Beradab karena dengan nilai-nilai budaya itu, manusia memiliki etika dan etos daya cipta tinggi sehingga berkemuliaan hidup.
Terkait kemuliaan hidup, inti problem manusia terbesar tercakup dalam lima hal mendasar: etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan teknis. Etika mengharuskan manusia berorientasi pada kebaikan moral. Logika mewajibkan manusia bisa rasional dan obyektif/adil. Saintika mendorong manusia memiliki kecukupan ilmu dan pengetahuan agar ekspresi dan aktualisasi dirinya selalu kontekstual-fungsional. Estetika menuntun manusia pada keindahan, kehalusan budi, dan kesantunan perilaku. Adapun keterampilan teknis berhubungan dengan upaya mewujudkan kreativitas. Manusia belajar sepanjang hayat. Manusia yang memiliki rasa cukup secara material layak disebut sebagai manusia "purna" (selesai) yakni manusia yang sukses gemilang mengatasi segala godaan duniawi sehingga mampu lahir jadi manusia baru yang memiliki potensi berupa etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan teknis. Berbasis integritas, komitmen, dan dedikasi, semua potensi itu diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.
Manusia "Purna" adalah manusia yang peduli pada kemuliaan hidup dan menghasilkan karya besar kebudayaan demi memperkuat nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Keterpurukan negeri ini secara kebudayaan dan peradaban salah satunya disebabkan sedikitnya kehadiran manusia "purna" dalam berbagai lini dan bidang kehidupan, terutama penyelenggara negara, politisi, dan pengusaha. Kebanyakan yang ada adalah insan yang masih digelayuti sikap mental "tak merasa cukup" secara serius. Akhirnya peran sosial, politik, dan ekonomi dipahami hanya sebatas wahana perburuan kepentingan dan untung yang berujung pada terpenuhinya obsesi material.
Penghayatan perasaan selalu "miskin" (selalu merasa kurang) mendorong mereka bergerak liar, menyeruduk ke segala arah, membobol kantong kekayaan negara: hasil pajak, migas, sampai APBN/D. Kekuasaan adalah godaan paling manis sekaligus jahat. Hanya manusia berkarakter "selalu merasa kurang" yang tergilas jadi korban. Celakanya, rakyat turut jadi korban, padahal tak menikmati apa-apa. Indonesia yang selamat dan sehat butuh banyak manusia "Purna" yang mampu melampaui kepentingan personalnya. Atau, para penyelenggara negara dan politisi yang masih punya rasa malu menumpuk kekayaan, sementara rakyat sesak napas dilindas kemiskinan dan penderitaan. " Mbok jangan rakus lahh..... Ojo ngongso lahh..... Masihkah kalian tega nyolong, padahal sudah sangat kaya? Kurang apa lagi, coba ?? ".
Satu hal yang pasti adalah Kurang Ajjyaarrr !!!
[ mrheal / sumber rujukan: Indra Tranggono / Pemerhati Kebudayaan / kompas ]
eorang menteri, pejabat
tinggi, atau tokoh nasional yang sebelumnya menunjukkan kinerja baik
dan mengundang respek publik mendadak terjerat korupsi.
Publik tak kaget lagi, apalagi menangisi. Antiklimaks dalam karier
politik seseorang sudah terlalu sering terjadi.
Bunuh diri eksistensial atas tokoh penyelenggara negara jadi kenyataan
rutin. Ada banyak nama terkubur dengan batu nisan "koruptor". Negeri ini
pun (berpeluang) menjelma jadi kuburan nama baik, kehormatan, harga
diri, dan martabat dari banyak tokoh nasional yang gagal melawan godaan
korupsi.
Tak ada jaminan apa pun terkait pejabat publik yang memiliki kekayaan
melimpah lantas tidak mencuri duit negara. Korupsi lebih erat
berhubungan dengan kesentosaan dan mutu mentalitas manusia yang memiliki
rasa cukup. Penyelenggara negara yang memiliki rasa cukup cenderung tak
tergoda korupsi. Sikap moral yang terkandung di dalam rasa cukup
mendorong manusia berdamai dengan dirinya sendiri. Pertarungan melawan
segala godaan berupa pamrih material pun selalu dimenangi.
Damai dengan diri sendiri lahir dari pergulatan nilai yang berlangsung
sengit lahir batin manusia. Manusia yang selalu ndangak (memandang ke
atas dalam konteks kepemilikan material) selalu merasa kurang atas apa
yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia ngongso (selalu mencari dan
mengambil) secara material demi memenuhi kepuasan yang tanpa ujung.
Manusia pun menderita kemiskinan mental dan spiritual. Meski depositonya
tak terhitung lagi dan kekayaannya super melimpah, tetap saja masih
merasa sebagai orang miskin. Duit dan segala bentuk material jadi obsesi
nan tak pernah selesai. Rasa syukur tak dimiliki. Keinginan berbagi
dengan sesama cenderung dihindari karena takut harta bendanya
tergerogoti. Takut miskin berandil besar atas maraknya korup- si di
negeri ini.
Kekayaan eksistensial
sastrawan dan rohaniman YB Mangunwijaya secara sederhana merumuskan
orang kaya sebagai orang yang memiliki banyak kemungkinan atau pilihan
meningkatkan diri secara eksistensial. Dalam pandangan sastrawan itu,
kekayaan tak selalu berhubungan (identik) dengan hedonisme
material/biologis dan hedonisme psikologis. Kekayaan adalah himpunan
nilai yang menjadi modal bagi manusia melakukan pembudayaan dan
pemberadaban diri. Dalam konteks idealisasi itu, otomatis orang kaya
selalu berbudaya dan beradab. Berbudaya karena dengan kekayaannya,
seseorang berpeluang besar melakukan berbagai perubahan mental dan
spiritual demi meraih kejayaan eksistensial (manusia bermartabat
tinggi). Beradab karena dengan nilai-nilai budaya itu, manusia memiliki
etika dan etos daya cipta tinggi sehingga berkemuliaan hidup.
Terkait kemuliaan hidup, inti problem manusia terbesar tercakup dalam
lima hal mendasar: etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan
teknis. Etika mengharuskan manusia berorientasi pada kebaikan moral.
Logika mewajibkan manusia bisa rasional dan obyektif/adil. Saintika
mendorong manusia memiliki kecukupan ilmu dan pengetahuan agar ekspresi
dan aktual- isasi dirinya selalu kontekstual-fungsional. Estetika
menuntun manusia pada keindahan, kehalusan budi, dan kesantunan
perilaku. Adapun keterampilan teknis berhubungan dengan upaya mewujudkan
kreativitas. Manusia belajar sepanjang hayat.
Manusia yang memiliki rasa cukup secara material layak disebut manusia
"selesai" atau manusia yang sukses gemilang mengatasi segala godaan
duniawi sehingga mampu lahir jadi manusia baru yang memiliki potensi
berupa etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan teknis.
Berbasis integritas, komitmen, dan dedikasi, semua potensi itu
diaktualisasi dalam kehidupan sosial. Manusia "selesai" adalah manusia
yang peduli pada kemuliaan hidup dan menghasilkan karya besar kebudayaan
demi memperkuat nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Keterpurukan
negeri ini secara kebudayaan dan peradaban salah satunya disebabkan
sedikitnya kehadiran manusia "selesai" dalam berbagai lini dan bidang
kehidupan, terutama penyelenggara negara, politisi, dan pengusaha.
Kebanyakan yang ada adalah insan yang masih digelayuti sikap mental "tak
merasa cukup" secara serius. Akhirnya peran sosial, politik, dan
ekonomi dipahami hanya sebatas wahana perburuan kepentingan dan untung
yang berujung pada terpenuhinya obsesi material. Penghayatan perasaan
selalu "miskin" (selalu merasa kurang) mendorong mereka bergerak liar,
menyeruduk ke segala arah, membobol kantong kekayaan negara: hasil
pajak, migas, sampai APBN/D.
Kekuasaan adalah godaan paling manis sekaligus jahat. Hanya manusia
berkarakter "selalu merasa kurang" yang tergilas jadi korban. Celakanya,
rakyat turut jadi korban, padahal tak menikmati apa-apa. Indonesia yang
selamat dan sehat butuh surplus manusia "selesai" yang mampu melampaui
kepentingan personalnya. Atau, para penyelenggara negara dan politisi
yang masih punya rasa malu menumpuk kekayaan, sementara rakyat sesak
napas didera kemiskinan dan penderitaan. "Masihkah kalian tega nyolong,
padahal sudah sangat kaya? Kurang apa lagi, coba??? Jangan ngongsotho."
INDRA TRANGGONO
Pemerhati Kebudayaan
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
eorang menteri, pejabat
tinggi, atau tokoh nasional yang sebelumnya menunjukkan kinerja baik
dan mengundang respek publik mendadak terjerat korupsi.
Publik tak kaget lagi, apalagi menangisi. Antiklimaks dalam karier
politik seseorang sudah terlalu sering terjadi.
Bunuh diri eksistensial atas tokoh penyelenggara negara jadi kenyataan
rutin. Ada banyak nama terkubur dengan batu nisan "koruptor". Negeri ini
pun (berpeluang) menjelma jadi kuburan nama baik, kehormatan, harga
diri, dan martabat dari banyak tokoh nasional yang gagal melawan godaan
korupsi.
Tak ada jaminan apa pun terkait pejabat publik yang memiliki kekayaan
melimpah lantas tidak mencuri duit negara. Korupsi lebih erat
berhubungan dengan kesentosaan dan mutu mentalitas manusia yang memiliki
rasa cukup. Penyelenggara negara yang memiliki rasa cukup cenderung tak
tergoda korupsi. Sikap moral yang terkandung di dalam rasa cukup
mendorong manusia berdamai dengan dirinya sendiri. Pertarungan melawan
segala godaan berupa pamrih material pun selalu dimenangi.
Damai dengan diri sendiri lahir dari pergulatan nilai yang berlangsung
sengit lahir batin manusia. Manusia yang selalu ndangak (memandang ke
atas dalam konteks kepemilikan material) selalu merasa kurang atas apa
yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia ngongso (selalu mencari dan
mengambil) secara material demi memenuhi kepuasan yang tanpa ujung.
Manusia pun menderita kemiskinan mental dan spiritual. Meski depositonya
tak terhitung lagi dan kekayaannya super melimpah, tetap saja masih
merasa sebagai orang miskin. Duit dan segala bentuk material jadi obsesi
nan tak pernah selesai. Rasa syukur tak dimiliki. Keinginan berbagi
dengan sesama cenderung dihindari karena takut harta bendanya
tergerogoti. Takut miskin berandil besar atas maraknya korup- si di
negeri ini.
Kekayaan eksistensial
sastrawan dan rohaniman YB Mangunwijaya secara sederhana merumuskan
orang kaya sebagai orang yang memiliki banyak kemungkinan atau pilihan
meningkatkan diri secara eksistensial. Dalam pandangan sastrawan itu,
kekayaan tak selalu berhubungan (identik) dengan hedonisme
material/biologis dan hedonisme psikologis. Kekayaan adalah himpunan
nilai yang menjadi modal bagi manusia melakukan pembudayaan dan
pemberadaban diri. Dalam konteks idealisasi itu, otomatis orang kaya
selalu berbudaya dan beradab. Berbudaya karena dengan kekayaannya,
seseorang berpeluang besar melakukan berbagai perubahan mental dan
spiritual demi meraih kejayaan eksistensial (manusia bermartabat
tinggi). Beradab karena dengan nilai-nilai budaya itu, manusia memiliki
etika dan etos daya cipta tinggi sehingga berkemuliaan hidup.
Terkait kemuliaan hidup, inti problem manusia terbesar tercakup dalam
lima hal mendasar: etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan
teknis. Etika mengharuskan manusia berorientasi pada kebaikan moral.
Logika mewajibkan manusia bisa rasional dan obyektif/adil. Saintika
mendorong manusia memiliki kecukupan ilmu dan pengetahuan agar ekspresi
dan aktual- isasi dirinya selalu kontekstual-fungsional. Estetika
menuntun manusia pada keindahan, kehalusan budi, dan kesantunan
perilaku. Adapun keterampilan teknis berhubungan dengan upaya mewujudkan
kreativitas. Manusia belajar sepanjang hayat.
Manusia yang memiliki rasa cukup secara material layak disebut manusia
"selesai" atau manusia yang sukses gemilang mengatasi segala godaan
duniawi sehingga mampu lahir jadi manusia baru yang memiliki potensi
berupa etika, logika, saintika, estetika, dan keterampilan teknis.
Berbasis integritas, komitmen, dan dedikasi, semua potensi itu
diaktualisasi dalam kehidupan sosial. Manusia "selesai" adalah manusia
yang peduli pada kemuliaan hidup dan menghasilkan karya besar kebudayaan
demi memperkuat nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Keterpurukan
negeri ini secara kebudayaan dan peradaban salah satunya disebabkan
sedikitnya kehadiran manusia "selesai" dalam berbagai lini dan bidang
kehidupan, terutama penyelenggara negara, politisi, dan pengusaha.
Kebanyakan yang ada adalah insan yang masih digelayuti sikap mental "tak
merasa cukup" secara serius. Akhirnya peran sosial, politik, dan
ekonomi dipahami hanya sebatas wahana perburuan kepentingan dan untung
yang berujung pada terpenuhinya obsesi material. Penghayatan perasaan
selalu "miskin" (selalu merasa kurang) mendorong mereka bergerak liar,
menyeruduk ke segala arah, membobol kantong kekayaan negara: hasil
pajak, migas, sampai APBN/D.
Kekuasaan adalah godaan paling manis sekaligus jahat. Hanya manusia
berkarakter "selalu merasa kurang" yang tergilas jadi korban. Celakanya,
rakyat turut jadi korban, padahal tak menikmati apa-apa. Indonesia yang
selamat dan sehat butuh surplus manusia "selesai" yang mampu melampaui
kepentingan personalnya. Atau, para penyelenggara negara dan politisi
yang masih punya rasa malu menumpuk kekayaan, sementara rakyat sesak
napas didera kemiskinan dan penderitaan. "Masihkah kalian tega nyolong,
padahal sudah sangat kaya? Kurang apa lagi, coba??? Jangan ngongsotho."
INDRA TRANGGONO
Pemerhati Kebudayaan
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ