Tantangan Normalisasi Rupiah

https://kabar22.blogspot.com/2015/05/tantangan-normalisasi-rupiah.html
BLOKBERITA -- Sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rupiah sekarang menghadapi tantangan yang tidak mudah. Hampir setiap hari fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah membuat jantung pengusaha nasional berdebar. Pasalnya, depresiasi rupiah khususnya terhadap dolar AS sekarang sulit diprediksi dalam waktu singkat.
Seperti yang dialami mata uang negara lain, rupiah kembali tertekan oleh imbas gejolak pasar finansial global. Faktor utamanya masih terkait kebijakan normalisasi yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, setelah bertahun-tahun sebelumnya menggelontorkan stimulus keuanganquantitative easing(QE) besar-besaran. Namun kini The Fed bersiap-siap dalam waktu dekat akan menaikkan suku bunga acuannya.
Faktor lain yang memicu gejolak adalah kekhawatiran investor melihat pemulihan ekonomi dunia yang melambat, plus harga minyak yang mulai merangkak naik. Sedangkan faktor internal dalam negeri, adalah merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang turun menjadi sentimen negatif, apalagi berada di level 4,7% pada kuartal I-2015, merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir ini.
Munculnya sinyal spekulasi bahwa The Fed akan mempercepat kenaikan Fed funds rate (FFR) pada September mendatang, setidaknya membuat level FFR ke depan berpotensi naik menjadi 0,5%- 0,75%, yang berarti mendekati 1%. Bersamaan dengan itu, banyak investor mengkhawatirkan kenaikan harga minyak ke tingkat tertinggi tahun ini sekitar di atas US$60 per barel.
Tidak hanya itu. Kondisi perekonomian Tiongkok, negara terbesar kedua dunia yang banyak mengimpor minyak, tingkat pertumbuhannya diprediksi hanya 6,8% pada 2015, turun dari tahun lalu sebesar 7%. Proses pemulihan ekonomi Eropa dan Jepang juga masih menghadapi kendala berat.
Situasi ini setidaknya membuat banyak investor asing pulang kampung memburu dolar AS, sehingga mayoritas mata uang dunia terpuruk terhadap dolar dan bursa saham memerah. Kurs rupiah terhadap dolar AS yang sudah merosot 5,38% sepanjang tahun ini (year to date) merupakan ambang batas yang perlu diwaspadai otoritas moneter. Apalagi, dolar AS masih berpotensi menguat terhadap mata uang dunia seiring perbaikan ekonomi AS, termasuk rupiah.
Karena itu, otoritas moneter dan fiskal di dalam negeri mau tidak mau harus fokus untuk mengefektifkan bauran kebijakan-kebijakan yang bisa memperkuat rupiah. Bank Indonesia (BI) bersama pemerintah harus menjaga agar fundamental ekonomi nasional semakin baik, sehingga investor asing tidak lari dari negeri ini.
Tahun lalu, arus modal masuk (capital inflow) netto masih mencapai Rp 181 triliun, melonjak dari tahun sebelumnya Rp 35 triliun. Hal ini didorong kebijakan Bank Indonesia yang meredam pelemahan rupiah dengan menaikkan BI Rate dari 5,75% persen menjadi 7,75% (Nov. 2014). Selain untuk meredam pelarian modal keluar, pengetatan likuiditas yang diberlakukan bank sentral bertujuan mengurangi impor agar defisit transaksi berjalan turun. Sementara itu, sepanjang 2015,capital inflowmencapai Rp 43 triliun, yang antara lain masuk di surat utang negara, obligasi korporasi, dan saham.
Tugas BI bersama pemerintah harus bersinergi menjaga agar defisit transaksi berjalan tahun ini bisa turun ke level 2,5% dari produk domestik bruto (PDB), untuk meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan masih sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95% dari PDB.
Upaya menjaga defisit transaksi berjalan yang sehat tersebut akan menghadapi tantangan yang tidak kecil, mengingat ada potensi terjadi lonjakan impor untuk investasi infrastruktur besar-besaran mulai tahun ini. Untuk itu, pemerintah harus segera turun tangan dengan mewajibkan lebih banyak pemakaian komponen lokal dalam proyek-proyek besar.
Untuk itu, semua Kementerian dan Lembaga (K/L) termasuk BUMN harus patuh dalam menjaga wibawa Rupiah sebagai tuan di negeri sendiri. Pemerintah saatnya bertindak tegas tanpa kompromi jika diketemukan perorangan atau perusahaan yang masih bertransaksi menggunakan mata uang asing di dalam negeri, harus diberikan sanksi berat sesuai UU Mata Uang No 7/2011.
[ cia / editorial neraca ]
Seperti yang dialami mata uang negara lain, rupiah kembali tertekan oleh imbas gejolak pasar finansial global. Faktor utamanya masih terkait kebijakan normalisasi yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, setelah bertahun-tahun sebelumnya menggelontorkan stimulus keuanganquantitative easing(QE) besar-besaran. Namun kini The Fed bersiap-siap dalam waktu dekat akan menaikkan suku bunga acuannya.
Faktor lain yang memicu gejolak adalah kekhawatiran investor melihat pemulihan ekonomi dunia yang melambat, plus harga minyak yang mulai merangkak naik. Sedangkan faktor internal dalam negeri, adalah merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang turun menjadi sentimen negatif, apalagi berada di level 4,7% pada kuartal I-2015, merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir ini.
Munculnya sinyal spekulasi bahwa The Fed akan mempercepat kenaikan Fed funds rate (FFR) pada September mendatang, setidaknya membuat level FFR ke depan berpotensi naik menjadi 0,5%- 0,75%, yang berarti mendekati 1%. Bersamaan dengan itu, banyak investor mengkhawatirkan kenaikan harga minyak ke tingkat tertinggi tahun ini sekitar di atas US$60 per barel.
Tidak hanya itu. Kondisi perekonomian Tiongkok, negara terbesar kedua dunia yang banyak mengimpor minyak, tingkat pertumbuhannya diprediksi hanya 6,8% pada 2015, turun dari tahun lalu sebesar 7%. Proses pemulihan ekonomi Eropa dan Jepang juga masih menghadapi kendala berat.
Situasi ini setidaknya membuat banyak investor asing pulang kampung memburu dolar AS, sehingga mayoritas mata uang dunia terpuruk terhadap dolar dan bursa saham memerah. Kurs rupiah terhadap dolar AS yang sudah merosot 5,38% sepanjang tahun ini (year to date) merupakan ambang batas yang perlu diwaspadai otoritas moneter. Apalagi, dolar AS masih berpotensi menguat terhadap mata uang dunia seiring perbaikan ekonomi AS, termasuk rupiah.
Karena itu, otoritas moneter dan fiskal di dalam negeri mau tidak mau harus fokus untuk mengefektifkan bauran kebijakan-kebijakan yang bisa memperkuat rupiah. Bank Indonesia (BI) bersama pemerintah harus menjaga agar fundamental ekonomi nasional semakin baik, sehingga investor asing tidak lari dari negeri ini.
Tahun lalu, arus modal masuk (capital inflow) netto masih mencapai Rp 181 triliun, melonjak dari tahun sebelumnya Rp 35 triliun. Hal ini didorong kebijakan Bank Indonesia yang meredam pelemahan rupiah dengan menaikkan BI Rate dari 5,75% persen menjadi 7,75% (Nov. 2014). Selain untuk meredam pelarian modal keluar, pengetatan likuiditas yang diberlakukan bank sentral bertujuan mengurangi impor agar defisit transaksi berjalan turun. Sementara itu, sepanjang 2015,capital inflowmencapai Rp 43 triliun, yang antara lain masuk di surat utang negara, obligasi korporasi, dan saham.
Tugas BI bersama pemerintah harus bersinergi menjaga agar defisit transaksi berjalan tahun ini bisa turun ke level 2,5% dari produk domestik bruto (PDB), untuk meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan masih sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95% dari PDB.
Upaya menjaga defisit transaksi berjalan yang sehat tersebut akan menghadapi tantangan yang tidak kecil, mengingat ada potensi terjadi lonjakan impor untuk investasi infrastruktur besar-besaran mulai tahun ini. Untuk itu, pemerintah harus segera turun tangan dengan mewajibkan lebih banyak pemakaian komponen lokal dalam proyek-proyek besar.
Untuk itu, semua Kementerian dan Lembaga (K/L) termasuk BUMN harus patuh dalam menjaga wibawa Rupiah sebagai tuan di negeri sendiri. Pemerintah saatnya bertindak tegas tanpa kompromi jika diketemukan perorangan atau perusahaan yang masih bertransaksi menggunakan mata uang asing di dalam negeri, harus diberikan sanksi berat sesuai UU Mata Uang No 7/2011.
[ cia / editorial neraca ]