Daya Beli Masyaraakat Lemah, Pemerintah Jangan Anggap Remeh

BLOKBERITA -- Pemerintah diminta tidak menganggap sepele adanya penurunan daya beli masyarakat yang terjadi sekarang ini, apalagi sampai dikaitkan dengan isu politik menjelang Pemilu 2019.

" Penurunan daya beli jangan dianggap sebagai hal sepele dan nyeleneh, apalagi disangkutkan dengan isu yang seolah-olah digoreng partai oposisi. Yang jelas bagaimanapun fakta dari data BPS dan di lapangan bahwa daya beli memang menurun," jelas anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan kepada wartawan, Minggu (8/10).

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2017 tercatat 5,01 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 5,18 persen. Penurunan ditandai oleh penurunan konsumsi rumah tangga yang menjadi indikator mengukur daya beli.

" Konsumsi rumah tangga kuartal II-2017 juga hanya mencapai 4,95 persen, atau naik tipis dibandingkan kuartal sebelumnya yang pertumbuhannya 4,94 persen. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi rumah tangga pada kuartal dua tahun lalu yang mencapai 5,07 persen," papar Heri.

Dia menambahkan, lemahnya daya beli masyarakat juga tidak tertutup kemungkinan akibat arah kebijakan ekonomi yang belum mampu menciptakan trikcle down effect. Karena itu, Heri mengimbau sebaikanya pemerintah memastikan tidak adanya distorsi pada daya beli masyarakat.

" Semua masih didominasi oleh sektor finansial tak langsung, sehingga sektor-sektor produktif masih loyo," imbuhnya.

Ulah Pemerintah Sendiri

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa isu penurunan daya beli masyarakat sengaja dipolitisasi oleh lawan-lawan politik untuk kepentingan 2019. 

Menurutnya, penurunan daya beli adalah isu ekonomi yang telah lama digaungkan, baik oleh kalangan pengusaha maupun para ekonom. Bahkan sejak akhir 2014, saat pemerintahan Jokowi mulai mencabuti subsidi BBM dan berbagai subsidi untuk rakyat lainnya.

" Isu tersebut makin mengemuka sesudah pemerintah mencabut juga subsidi listrik untuk 23 juta pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere dan 900 VA pada Januari 2017 lalu. Jadi itu sebenarnya adalah isu ekonomi lama," kata Fadli kepada wartawan, Minggu (8/10).

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga kuartal II-2017 hanya tumbuh 4,95 persen, padahal pada periode yang sama tahun lalu mencapai 5,07 persen. Indikator lainnya juga tidak bagus. Pertumbuhan konsumsi listrik kita bahkan penurunnya lebih besar lagi. Sepanjang 2017, konsumsi listrik di semua golongan hanya tumbuh 1,37 persen, padahal periode yang sama tahun lalu pertumbuhannya mencapai 7,8 persen.

" Sebelumnya tak ada yang pernah menjadikan persoalan ekonomi ini sebagai persoalan politik. Justru pernyataan presiden kemarin lah yang telah menjadikan isu ekonomi itu kemudian seolah menjadi isu politik," kata Fadli.

Politisi Partai Gerindra itu melihat lucu dan memprihatinkan jika Jokowi mengingkari penurunan daya beli masyarakat. Karena data penurunan daya beli berasal dari BPS. Sejak Juli 2017, isu itu juga telah dibahas dan diakui sejumlah menteri, termasuk gubernur Bank Indonesia. Bahkan, pada 4 Agustus lalu, Jokowi sendiri mengumpulkan 18 menteri di istana untuk membahas cara mengatasi persoalan tersebut.

" Lho kok sekarang tiba-tiba disangkal jika persoalan itu tidak pernah ada, dan disebut hanyalah merupakan gorengannya lawan-lawan politiknya saja. Bagi saya pernyataan itu lucu," beber Fadli.

Lebih jauh dari itu, pernyataan Jokowi juga amat memprihatinkan. Penurunan daya beli ini adalah fakta yang secara akademis ada datanya dan secara riil pengusaha dan masyarakat telah sejak lama merasakan.

" Persoalannya kemudian bagaimana pemerintah akan bisa mengatasi persoalan penurunan daya beli ini jika di sisi lain pemerintah menganggap persoalan tersebut tidak ada. Padahal, 56,94 persen struktur PDB kita disumbang oleh konsumsi masyarakat," ujar Fadli.

Untuk itu, dia kembali mengingatlan pemerintah bahwa dalam jangka pendek, persoalan ekonomi utama yang harusnya diselesaikan adalah penurunan daya beli masyarakat. Dalam jangka panjang, pemerintah membenahi kemampuan produksi nasional. Berikutnya infrastruktur, sebab infrastruktur bisa menggerakkan ekonomi hanya ketika daya beli masyarakat telah pulih.

" Kebijakan fiskal yang ketat dalam tiga tahun terakhir tidak bagus bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat. Seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat dan memecahkan persoalan mendesak jangka pendek. Tidak seharusnya di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan penerimaan negara, pemerintah terus-menerus memprioritaskan anggaran untuk belanja infrastruktur," demikian Fadli. [gram/rmol]  
View

Related

EKBIS 1089241675636629113

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item