Cacatnya Hak Angket KPK

BLOKBERITA -- Lawakan politik Dewan Perwakilan Rakyat dengan menggulirkan hak angket atas Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya tak perlu dilanjutkan. Keabsahan dan legitimasi Panitia Angket diragukan karena telah nyata melanggar banyak aturan. Sebagai "wakil rakyat terpilih" yang semestinya memberi teladan dalam menaati undang-undang, DPR tak perlu canggung mengoreksi diri jika berbuat keliru.

Panitia Angket KPK yang telah terbentuk itu cacat administrasi karena tak sesuai dengan Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mensyaratkan keanggotaan terdiri atas seluruh unsur fraksi DPR. Sampai digelarnya rapat perdana pansus yang menghasilkan pemimpin Panitia Angket pada Rabu lalu, hanya 7 dari 10 fraksi menghadirkan wakilnya.

Sebelum adanya Panitia Angket ini pun, pengesahan usul hak angket juga melanggar Pasal 199 ayat (3) UU MD3 karena tanpa persetujuan, baik secara aklamasi maupun pemungutan suara, oleh rapat paripurna. Keputusan itu diambil sepihak oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sebagai ketua rapat paripurna pada 28 April. Ia langsung mengetuk palu di tengah hujan interupsi anggota Dewan.

Terpilihnya Agun Gunandjar Sudarsa sebagai Ketua Panitia Angket pun dipertanyakan karena berpotensi konflik kepentingan dengan KPK. Politikus Golkar itu merupakan saksi kasus e-KTP dan termasuk di antara 37 anggota DPR yang disebut dalam dakwaan atas bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor. Agun, yang menjadi anggota Komisi II DPR periode 2009-2014, disebut menerima US$ 1,047 juta dari proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.

Satu lagi aturan yang dilanggar sehingga Panitia Angket ini tak layak diteruskan adalah penggunaannya yang salah sasaran. Berdasarkan Pasal 79 ayat (3), hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah, bukan penyelidikan terhadap KPK. Ternyata, hak angket ini menjadi pintu masuk bagi DPR untuk memaksakan kehendaknya yang sudah berulang kali diupayakan tapi belum berhasil.

Seperti diakui Fahri Hamzah, hak angket KPK akan berujung pada rekomendasi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Rekomendasi Panitia Angket lebih ampuh karena Presiden Joko Widodo tak memiliki celah untuk menolak. Alasannya, hasil hak angket mengikat dan harus diperhatikan oleh pemerintah. Kalau tidak, DPR dapat menggunakan hak istimewa berikutnya: hak menyatakan pendapat.

Akhirnya, belang DPR pun terungkap. Proses politik yang selalu digadang-gadang DPR sebagai pengawalan atas penanganan pemberantasan korupsi itu ternyata akal-akalan semata. Tujuannya bukan untuk melenyapkan biang penyakit yang menginfeksi KPK, melainkan membinasakan lembaga antirasuah itu.
[ Tempo.co ]
View

Related

OPINI 6453899483835496196

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item