Industri Manufaktur dan Pengolahan Ikan Ambruk, Utang LN Indonesia Meningkat. Gagalnya Visi Maritim?

BLOKBERITA -- Fenomena kesejahteraan nelayan yang rendah merupakan permasalahan yang sering terjadi, terutama pada nelayan tradisional sehingga menghambat pembangunan subsektor perikanan khususnya perikanan tangkap.

Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir umumnya menempati strata paling rendah di banding masyarakat lainnya di darat, padahal Indonesia memiliki potensi perikanan terbesar di dunia sekitar 65 juta ton/tahun (Rokhmin Dahuri, 2013) atau 23% dari total produksinya yang baru termanfaatkan.

Tulisan ini merupakan hasil observasi dan penelitian secara seksama diberbagai wilayah masyarakat pesisir, mulai dari Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, NTT, Maluku Utara, Manado, Bitung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Makassar dan Aceh, tepatnya penelitian ini disetiap TPI.

Tujuan observasi, penelitian dan advokasi ini adalah a). upaya – upaya menganalisis sektor pengelolaan wilayah pesisir: b). Mengamati peran serta stakeholder dalam mengembangkan kawasan pesisir: c). Indikator ekonomi yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan negara bersama negara lain: e). Mengamati tingkat serapan penggunaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi pesisir.

Hasil dari pengamatan, observasi, penelitian dan advokasi, menunjukan bahwa faktor sosial ekonomi yang menjadi prioritas utama adalah alat tangkap, ukuran kapal armada tangkap yang merupakan salah satu tolak ukur yang berpengaruh pada jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan perikanan tangkap.

Menurut data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di tahun 2017 bahwa Bidang Kelautan dan Perikanan dalam pemetaannya tertinggal jauh untuk kurun waktu lima tahun belakangan maupun mendatang. Maka, kedepan perlu pemetaan yang konprehensif.

Roadmap pembangunan kelautan dan perikanan 2015-2019, berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan belum optimal, misalnya 1). belum optimalnya produksi perikanan budidaya nasional (ikan dan rumput laut) dan produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas sebagai sumber pangan perikanan;

2). belum optimalnya pertumbuhan PDB perikanan; 3). belum terkelolanya pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi; 4). belum optimalnya industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan Indonesia Bagian Timur; 5). ketersediaan BBM untuk nelayan dan pembudidayaan ikan; 6). belum optimalnya pengawasan UU fishing; 7). peningkatan kawasan konversi laut nasional; 8). peningkatan kapasitas SDM kelautan dan perikanan;
9. peningkatan iptek kelautan dan perikanan serta diseminasi teknologi; 10). peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional.

Niat pemerintahan Jokowi-JK mengelola laut dan perikanan tidak serius, faktanya banyak pelaku usaha gulung tikar hanya karena kebijakan Susi Pudjiastuti dengan membuat banyak peraturan menteri secara ugal-ugalan, sehingga industry pengolahan ikan mayoritas tutup, industry manufaktur perikanan tutup juga.

Hal ini terjadi sekarang ini, diberbagai daerah mengalami kesulitan pengembangan industry pengolahan dan berbagai produk kelautan dan perikanan. Kebanyakan sector industry memilih impor bahan baku dengan kualitas yang tidak cukup baik.

Faktor besar kegagalan perikanan adalah karena kebijakan pemerintah tanpa ada pertimbangan secara matang konsep poros maritim untuk menegelola hasil laut dan perikanan. Hal ini pertanda pemerintah hanya memanfaat laut untuk mendatangkan keuntungan semata melalui peminjaman hutang dan lain sebagainya.

Terbukti, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan I-2017 berada pada posisi US$ 326,3 miliar, tumbuh 2,9% (year on year/yoy) atau sedikit meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 2,0% (yoy).

Kalau didasarkan pada kelompok peminjam, peningkatan ULN tersebut dipengaruhi oleh lebih kecilnya kontraksi pertumbuhan ULN swasta pada triwulan I 2017 yaitu sebesar 3,6% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar negatif 5,5% (yoy).

Sementara, ULN sektor publik tumbuh melambat dari 11,0% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 10,0% (yoy). Pada akhir triwulan I 2017, posisi ULN sektor publik tercatat sebesar US$ 166,5 miliar (51,0% dari total ULN), sementara posisi ULN sektor swasta tercatat sebesar US$ 159,9 miliar (49,0% dari total ULN). ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 3,6% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar negatif 5,5% (yoy).

Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB), relatif stabil di kisaran 34% sebagaimana pada akhir triwulan IV 2016, namun menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 37%.

Berdasarkan jangka waktu asal, pertumbuhan ULN jangka panjang melambat, sementara pertumbuhan ULN jangka pendek meningkat. Posisi ULN jangka panjang yang mendominasi ULN Indonesia pada akhir triwulan I 2017 tercatat sebesar US$ 282,4 miliar (86,5% dari total ULN) atau tumbuh 1,1% (yoy), sedikit melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 1,5% (yoy).

Sementara itu, posisi ULN berjangka pendek pada akhir triwulan I 2017 tercatat sebesar US$ 43,9 miliar (13,5% dari total ULN) atau tumbuh 16,3% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 6,0% (yoy).

Sejalan dengan peningkatan ULN jangka pendek tersebut, rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa sedikit meningkat dari 35,3% pada triwulan IV 2016 menjadi 36,1% pada triwulan I 2017.

Semua indeks hutang diatas, yang paling besar resiko dibidang perikanan adalah besarnya hutang pemerintah pada aspek industry manufaktur dan pengolahan ikan, selain itu akhir triwulan I 2017 terkonsentrasi di sektor keuangan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.

Pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan meningkat dibandingkan dengan triwulan IV 2016, sementara ULN sektor pertambangan dan sektor keuangan masih mengalami kontraksi pertumbuhan. Peningkatan ULN ini berbahaya bagi kelangsungan industry dibidang perikanan sehingga dapat menganggu kinerja perekonomian nasional.

Bayangkan saja rilis pemberitaan diberbagai media yang bersumber dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, bahwa per akhir April 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.667,41 triliun. Dalam sebulan, utang ini naik Rp 17 triliun, dibandingkan jumlah di Maret 2017 yang sebesar Rp 3.649,75 triliun.

Dalam denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah pusat di April 2017 adalah US$ 275,19 miliar, naik dari posisi akhir Maret 2017 yang sebesar US$ 273,98 miliar.

Sebagian besar utang pemerintah dalam bentuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN). Sampai April 2017, nilai penerbitan SBN mencapai Rp 2.932,69 triliun, naik dari akhir Maret 2017 yang sebesar Rp 2.912,84 triliun. Sementara itu, pinjaman (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp 734,71 triliun, turun dari Maret 2017 sebesar Rp 738,2 triliun.

Deretan jumlah hutang tersebut, hasil jualan diplomasi pembangunan Indonesia yang dianggap semakin berperan penting bagi dunia global. Tentu pemerintahan Jokowi-JK tidak ingin melewati kesempatan ini dengan tawaran hutang yang sangat besar memalui instrumen kebijakan luar negeri.

Tentu prinsip diplomasi pembangunan didasarkan pada hasil kajian strategis “One Belt One Road” dan pengamanan dibidang infrastruktur, kelautan, perikanan, perdagangan, investasi dan pariwisata. Di beberapa bidang inilah negara terasa terjual, apalagi investasi dan hutang yang sangat luar biasa besar tanpa ada kendali.

Melihat perkembangan ekonomi dan politik pembangunan dunia dengan melihat berbagai peluang bisnis, kerjasama bilateral dan mendigitalisasi proses investasi yang ada merupakan tawaran yang dapat menganggu kepentingan Negara, sehingga dapat memberatkan beban pemerintahan dimasa akan datang.

Banyaknya hutang pembangunan tersebut, tentu pemerintahan Jokowi – JK berharap visi trisakti dan poros maritim yang termasuk program perioritas pemerintahan saat ini menghadapi tantangan berat, membutuhkan keamauan yang kuat dan dukungan kebijakan politik dari seluruh komponen Negara. Tanpa dukungan, poros maritim akan gagal dan tinggal kenangan saja.

Kabinet kerja yang berjalan ini harus mampu bekerja sekuat tenaga dalam menjamin kekuatan diplomasi pembangunan Indonesia di tingkat global melalui kerangka dasar kebijakan untuk mempercepat implementasi trisakti dan poros maritime.

Namun, perlu juga dievaluasi secara terstruktur terhadap kesiapan pemerintah menghadapi bahayanya perkembangan dan perjalanan negara dibawah tekanan hutang yang menggunung.

Percaya atau tidak, strategi One Belt One Road yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi – Jk yang berkiblat kepada China, dapat membahayakan negara dimasa akan datang. Kepentingan nasional Indonesia bisa dianggap tidak penting lagi. Jadi pemerintahan Jokowi – Jk mengadopsi konsep strategi China “One Belt One Road” disatu sisi. Sementara disisi lain bebani negaranya sendiri dengan hutang. Cara dan ideologi pembangunan negara lain di impor, lalu bombardier negaranya sendiri dengan segala bentuk invetasi melalui peminjaman hutang. Indonesia dalam masa darurat hutang. Disinilah letak gagalnya poros maritime.

Oleh : Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Nelayan Indonesia.
View

Related

KESOS 7025987779507537957

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item