Kisruh Pimpinan DPD Masih Berlanjut, Dua Kubu Gelar Rapat Terpisah

Berdasarkan pantauan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Senin (10/4/2017), GKR Hemas beserta sejumlah anggota DPD kontra kepemimpinan Oesman Sapta Odang menggelar rapat Panitia Musyawarah (Panmus) di ruang Samithi, Gedung Nusantara V.
Sebelumnya, Hemas dkk akan melakukan rapat panmus di ruangan lantai 8 Gedung DPD. Namun rencana itu urung dilaksanakan karena ruangan tersebut dikunci sejak pagi hingga siang hari ini.
Belakangan diketahui, ruang di lantai 8 tersebut digunakan rapat Panmus oleh kubu Oesman.
Ditemui usai rapat, Hemas mengatakan ada sejumlah poin yang dihasilkan dalam rapat, salah satunya akan meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan pelantikan Oesman.
" Kita akan minta Ketua MA untuk membatalkan sumpah (Oesman). Kami akan bertemu Ketua MA," ucap Hemas.
Hemas juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menghadiri rapat parpurna DPD siang ini hingga persoalan hukum dan politik di lembaga tersebut tuntas.
" Kami meminta BPK tidak hadir rapat hingga persoalan politik dan hukum di DPD usai," ucap Hemas.
Konflik Kian Serius
Perpecahan yang melanda pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dikhawatirkan akan membuat lembaga tinggi negara itu makin terpuruk setelah kewenangannya yang serba terbatas dan perannya tidak berjalan optimal, kata seorang pengamat.
"Dengan kewenangan tidak optimal, ditambah perilaku anggota DPD yang tidak baik, ini menjadi persoalan cukup serius. Apalagi saya melihat anggota DPD kurang berperan cukup signifikan," kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, kepada BBC Indonesia, Rabu (05/04) sore.
Veri mengatakan dirinya menyayangkan kecenderungan DPD dalam setahun terakhir yang disebutnya "gontok-gontokan perebutan kekuasaan untuk menduduki pimpinan DPD."
Sebaliknya, sambungnya, pimpinan DPD tidak fokus pada perjuangan untuk memperkuat DPD. "Misalnya (untuk memperjuangkan DPD) dalam struktur pengaturan atau memperkuat konsolidasi di internal DPD untuk mengoptimalkan kewenangan," paparnya.
Dia kemudian mengusulkan agar DPD menyelesaikan terlebih dahulu persoalan kepemimpinannya, dan setelah bekerja keras untuk melakukan penguatan kelembagaan DPD ke depan.
"Kalau ini tidak terselesaikan, maka ada persoalan legitimasi terhadap kebijakan yang akan dikeluarkan DPD. (Kebijakan) Yang dikeluarkan akan dianggap inkonstitusional, karena dikeluarkan pimpinan yang inkostitusional," jelas Veri.
Putusan MA
Pelantikan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD periode 2017-2019, Selasa malam, telah diprotes oleh Wakil Ketua DPD periode 2014-2019 GKR Hemas, Rabu (05/04) siang, karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang ada.
Dalam jumpa pers, GKR Hemas menganggap pelantikan Oesman Sapta itu melanggar aturan hukum, sehingga dia meminta agar Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkannya. MA melalui wakil ketuanya telah memandu Oesman saat mengucapkan sumpah jabatan.
"Politik harus tunduk pada hukum. Jika tidak bisa menjelaskan dalam waktu 1 x 24 jam, kami minta MA segera membatalkan," kata GKR Hemas yang juga istri dari Sri Sultan HB X.
Perpecahan di pimpinan DPD diawali keputusan sidang paripurna luar biasa DPD yang mengubah masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi dua tahun enam bulan, pertengahan Januari 2016.
Setahun kemudian, sidang paripurna DPD mengesahkan revisi Peraturan DPD nomor 1 2016 dan nomor 1 tahun 2017 yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD menjadi dua tahun enam bulan.
Tetapi putusan ini digugat oleh enam anggota DPD yang mengajukan uji materi peraturan tersebut. Dan, akhir Maret lalu, MA membatalkan peraturan DPD tersebut.
Namun demikian, sidang paripurna DPD pada Senin lalu ricuh, yang antara lain diwarnai aksi mosi sejumlah anggota DPD terhadap Wakil Ketua DPD GKR Hemas. Ini terkait putusan Hemas yang menyatakan masa jabatan pimpinan DPD tetap lima tahun.
Kekisruhan ini berlanjut ketika DPD memilih Oesman Sapta Odang sebabai ketua DPD yang baru, dan Wakil Ketua MA Suwardi memandu saat Oesman dan dua wakilnya mengucapkan sumpah jabatan, Selasa (04/04).
Berbagai kritikan pun dilayangkan kepada DPD serta MA yang dianggap mempermainkan hukum. Misalnya saja, MA seharusnya konsisten dengan pendapat hukumnya bahwa masa jabatan pimpinan DPD adalah lima tahun.
Pimpinan MA 'No Comment'
Kepada wartawan, Selasa (04/04) malam, Wakil Ketua MA menolak berkomentar terhadap alasan MA melangsungkan pelantikan. Dia meninggalkan gedung DPD/DPR dan menolak berkomentar atas cecaran wartawan.
Secara terpisah, Ketua DPD yang baru dilantik, Oesman Sapta Odang meminta pelantikannya tidak perlu dipermasalahkan lagi. "Anggap saja polemik itu sudah enggak ada lagi. Mari kita bangun DPD ke depan," kata Oesman kepada wartawan.
Pada Rabu (05/04) siang, dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Ketua Muda MA bidang Tata Usaha Negara (TUN) Supandi mengingatkan bahwa MA telah membatalkan Peraturan DPD No 1 tahun 2017 tentang tata tertib DPD.
"Saya dan Pak Ketua MA sedang umroh. Kami baru membatalkan peraturan DPD No 1 tahun 2017 tentang tata tertib DPD karena bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi hakikatnya (UU)," kata Supandi.
Walaupun dia meminta DPD mematuhi putusan MA, Supandi tidak menyebut langsung soal pelantikan dan pengambilan sumpah pimpinan DPD yang baru
"Kalau kita mau konsekuen bernegara yang berdasar atas hukum, hendaknya patuhi dan hormati putusan itu yang telah difikirkan dan dipelajari dengan ikhlas dan sungguh-sungguh oleh para hakim agung yang memutusnya," katanya.
DPD yang didirikan 13 tahun lalu, kehadirannya diharapkan sebagai lembaga tinggi negara yang mewakili utusan daerah dan golongan. Dalam menjalankan perannya, mereka mewakili setiap provinsi di Indonesia.
[ bin / bbcInd / sindonews ]