Puasa Yang Sia-Sia, Ritual Hura-Hura Tahunan
https://kabar22.blogspot.com/2016/06/puasa-yang-sia-sia-ritual-hura-hura.html
BLOKBERITA -- Hal
pertama yang diajarkan puasa adalah tepat waktu. Subuh-subuh kita
bangun, untuk sahur. Kita makan. Begitu tiba waktu azan subuh, kita
berhenti makan.
Tidak ada dari kita yang masih asyik makan saat azan subuh sudah berkumandang, dengan alasan, ”Santai aja,
kan belum lima menit.” Bahkan, kita sudah antisipasi agar tidak
kebablasan. Sepuluh menit sebelumnya kita sudah berhenti makan, saat
imsak.
Pagi
harinya kita pergi kerja. Terlambat lima menit, biasa saja. Lalu kita
mengadakan rapat. Terlambat 10 menit pun biasa. Tenggat waktu pekerjaan
kita, terlambat dua hari, kita masih minta tambahan waktu.
Kita hanya disiplin soal waktu dalam satu hal: makan.
Puasa
itu menahan nafsu, bukan? Yang paling utama adalah nafsu makan. Tapi,
benarkah kita tahan nafsu makan kita? Iya, tapi hanya siang hari.
Coba
lihat saat berbuka, ada berapa jenis makanan terhidang di meja?
Sepertinya semua jenis makanan yang kita impikan selama siang hari hadir
di situ.
Coba tanya praktisi perdagangan, apa yang terjadi menjelang bulan puasa? Harga-harga naik. Kenapa? Karena permintaan naik. Lhoooo, bukankah kita seharusnya menahan diri? Kenapa justru permintaan naik?
Puasa
bagi kita hanyalah rem sementara. Begitu tiba waktu melepas rem, kita
injak gas sedalam-dalamnya. Puncaknya nanti saat Lebaran. Pengeluaran
kita berlipat-lipat dari biasa. Tak jarang kita memaksakan diri untuk
membeli, sampai berutang segala.
Saya mendengar cerita dari sales
mobil. Permintaan mobil meningkat selama puasa, puncaknya menjelang
Lebaran. Nanti setelah Lebaran akan terjadi tumpukan kredit macet.
Mobil-mobil yang dibeli ditarik karena pembelinya tidak mampu membayar
angsuran.
“We buy things we don’t need, using money we don’t have, to impress people who don’t care.”
Puasa
itu katanya latihan sabar. Kita sabar menunggu waktu berbuka. Sabar
untuk tidak marah, walau sering kebablasan juga. Seharusnya kita juga
sabar antre menunggu giliran, bukan?
Cobalah
lihat jalan raya kita selepas ashar hingga menjelang maghrib.
Orang-orang seperti sedang berlomba pulang ke rumah. Saling salip,
saling serobot, dan saling pepet. Lho, sabarnya di mana? Di mulut belaka.
Puasa itu seharusnya membuat kita tunduk, merendahkan diri di hadapan Tuhan dan manusia. Puasa itu persembahan untuk Tuhan.
Sebenarnya
tak ada yang tahu kita puasa atau tidak. Kita bisa saja diam-diam minum
seteguk air, tanpa ada orang lain yang tahu, bukan? Jadi puasa itu
sebenarnya adalah rahasia kita yang paling pribadi.
Tapi
apa yang kita lakukan dengan puasa? Kita umumkan. Kita minta agar orang
lain menghormati kita. Kita ini sedang melakukan ibadah mulia, maka
seluruh kota harus berkhidmat untuk kita.
Tutup
semua tempat hiburan! Konon itu mengganggu ibadah kita. Tergoda ingin
ke sana? Tutup semua kedai makan! Takut kebablasan mampir siang-siang?
Puasa akhirnya hanyalah ritual hura-hura yang berulang tiap tahun, tanpa meninggalkan bekas kebaikan di wajah kita. (Hasanudin Abdurakhman/kompscom).