"Nyawa Politik" di Ujung Tanduk, Fahri Menanti "Nyawa Cadangan"

https://kabar22.blogspot.com/2016/04/nyawa-politik-di-ujung-tanduk-fahri.html
Akbar Tandjung, misalnya. Karier politiknya tak habis meski peluru Buloggate sempat membuatnya merasakan dinginnya lantai tahanan di Kejaksaan Agung. Akbar selamat di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Demikian pula dengan Sutrisno Bachir. Meski "terdepak" dari PAN, bahkan sempat keluar dari partai lantaran perseteruannya dengan kubu Hatta Rajasa, namanya masih bisa berkibar lagi.
Duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PAN pada masa kepemimpinan Zulkifli Hasan saat ini, Sutrisno di-dapuk oleh Presiden Jokowi untuk memimpin Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). Ia masuk ke lingkaran Istana.
Mantan politisi PKS Misbakhun yang gencar berteriak dalam kasus Century juga sempat "tewas" dibidik kasus letter of credit fiktif.
Ia sempat masuk penjara dan menempuh jalan panjang berliku hingga akhirnya Mahkamah Agung mengabulkan semua permohonan peninjauan kembali yang membebaskannya dari perkara tersebut.
Misbakhun terbukti punya nyawa cadangan. Setelah kasus itu, ia memilih hijrah ke Partai Golkar dan masih melenggang di Senayan hingga kini.
Nah, peluru politik kini tengah mengarah kepada Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, politisi yang dikenal vokal, tak sedikit yang sebal, termasuk partainya. Surat DPP PKS dengan Nomor 463/SKEP/DPP-PKS/1437 tertanggal 1 April 2016 memecat Fahri Hamzah dari semua jenjang jabatan di kepartaian.
Alasannya, Fahri dianggap mbalelo. Komentar-komentarnya dinilai kontroversial dan berseberangan dengan garis kebijakan partai. Bahkan, ada kesan Fahri berseteru dengan pimpinan PKS lainnya.
Tentu Fahri yang terkenal "galak" itu meradang. KPK saja dia lawan. Ia menggugat Presiden PKS Sohibul Iman ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (5/4/2016). Fahri juga menggugat Majelis Syuro PKS dan Badan Penegak Disiplin Organisasi PKS.
Ketiganya dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Fahri menuntut, pemberhentiannya tidak sah dan batal demi hukum.
Setidaknya, ada tiga kemungkinan bagi Fahri untuk "menyelamatkan nyawanya". Pertama, gugatannya diterima dan ia tetap di PKS. Kedua, ia pindah partai. Ketiga, ia memulai karier politik baru sebagai kepala daerah.
Kemungkinan pertama, akankah Fahri memenangi gugatannya?
Keputusan partai memecat Fahri tidaklah tiba-tiba. Presiden Sohibul Iman mengungkapkan, sudah berulang kali Fahri diberi arahan agar menjaga kesantunan pendapatnya ke publik. Arahan itu seolah tak digubris Fahri. Partai pun hilang kesabaran.
Ketua Dewan Tingkat Wilayah (DPTW) PKS Nusa Tenggara Barat Abdul Hadi, daerah pemilihan Fahri, juga mengungkapkan, putusan pemberhentian Fahri telah melalui proses panjang. Ia mengaku beberapa kali berupaya melakukan mediasi antara Fahri dan DPP PKS. Keputusan pemecatan Fahri adalah akhir dari kebuntuan mediasi.
Pengalaman sebelumnya, mereka yang melawan partai dan kandas adalah Effendi Choirie dan Lily Chadijah Wahid. Dua anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR periode 2009-2014 juga dipecat lantaran sering berseberangan dengan keputusan partai.
Rasanya, "nyawa" Fahri sudah sulit diselamatkan di PKS. Kalaulah Fahri menang, ia mungkin akan jadi semacam kerikil dalam sepatu PKS yang jelas-jelas tidak menyukainya lagi.
Kemungkinan kedua, Fahri pindah partai. Ke mana? Ini yang menarik.
Sebagai politisi yang lahir dan tumbuh dari rahim PKS, Fahri mengekalkan corak pribadinya sebagai politisi dengan warna religius. Tengoklah kicauannya di Twitter. Jika mengikuti akun Fahri, warna kicauan seperti ini akan sering kita jumpai diakun twitternya:
" Dialah yang menulis nasibmu dari awal sampai akhir...lahir dan Matimu dan setelah itu.."
" Dialah yang menulis nasibmu dari awal sampai akhir...lahir dan Matimu dan setelah itu.. "
" Dialah yang memutuskan kemuliaan atau kehinaan...bagimu di sini dan di sana..."
Jika Fahri tak ingin menggadaikan corak religiusitasnya, pilihannya ada pada PPP atau PKB. PPP bukan pilihan yang menguntungkan. Partai berlambang Kabah itu sedang terbelah. Fahri mau ikut gerbong siapa? Hubungannya dengan politisi PPP sepertinya juga tidak ramah. Sementara itu, di PKB, corak religiusitas Fahri jelas berbeda dengan kaum Nahdliyin.
Lalu, akankah Fahri bergabung dengan partai-partai "sekuler"? Ada PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, Hanura, dan Nasdem.
Kecuali Gerindra dan Demokrat, semua partai "sekuler" itu berada di kubu pemerintah.
Akankah Fahri mengorbankan mukanya dengan bergabung dengan partai pendukung pemerintah yang Presidennya pernah disebutnya "sinting" karena menggagas hari santri nasional?
Tidak hanya Presidennya "sinting", pemerintahannya pun disebut Fahri lemah dan bodoh.
Lucu betul memang negeri ini di mata Fahri. Pemerintahnya lemah dan bodoh, sementara anggota DPR-nya banyak yang blo'on.
Demokrat? Apakah SBY yang terkenal santun itu mau menerima Fahri yang tersandung oleh masalah kesantunan?
Yang
paling aman tentu saja Gerindra. Politisi Gerindra yang juga wakil
ketua DPR Fadli Zon adalah sahabatnya yang setia. Meski tak segaris
dengan partainya, Fahri seia sekata dengan koleganya itu.
Sebaliknya, Fadli-lah yang membela Fahri di tengah situasi sulit Fahri saat ini. Menurut Fadli, jika yang dipermasalahkan adalah gaya bicara Fahri, memang sudah jadi tugas DPR untuk mengkritik pemerintah.
Ikut Pilkada
Masih ada satu lagi, kalaulah tidak bergabung dengan partai politik, masih ada satu opsi bagi Fahri untuk menyelamatkan dirinya, berjuang menjadi kepala daerah. Dia bisa kembali ke tanah kelahirannya di Nusa Tenggara Barat menjadi gubernur atau bupati.
Jika Fahri memaknai menjadi anggota legislatif bukan sebagai pekerjaan mencari nafkah, melainkan pengabdian kepada masyarakat, kembali ke daerah adalah pilihan pengabdian yang sama mulianya.
Tiga kali mengikuti pemilu, Fahri selalu memperoleh suara terbanyak dibandingkan calon anggota legislatif PKS lainnya. Pada Pemilu 2014, ia menangguk suara lebih dari 125.000 di Nusa Tenggara Barat.
Kalaulah tak ada partai yang mendukung, masih ada jalur independen. Soal apakah konstituennya mau memilihnya kembali atau tidak, itu soal yang lain.
Namun, politik toh tidak hitam putih. Tak pernah ada musuh abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Kalau kepentingan Fahri bertemu dengan kepentingan partai yang sama, ia pasti melupakan istilah beloon yang pernah keluar dari mulutnya.
Oleh: Heru Margianto / kompas.com