Inilah Konsekuensi Munas atau Munaslub Golkar
https://kabar22.blogspot.com/2016/03/inilah-konsekuensi-munas-atau-munaslub.html
JAKARTA, BLOKBERITA — Persoalan baru kembali muncul pasca-keluarnya putusan Mahkamah Agung terkait sengketa internal Partai Golkar.
Hingga kini, belum diputuskan apakah partai itu akan menyelenggarakan muswayarah nasional biasa atau luar biasa.
"Ini posisi yang harus dibicarakan internal," kata Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Riau, Ahmadi Noor Supit, di Kompleks Parlemen, Jumat (4/3/2016).
Baik munas atau munaslub memiliki konsekuensi politik berbeda di dalam penyelenggaraannya.
Ia mengatakan, sejauh ini, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Riau, Aburizal Bakrie, masih berkomitmen untuk menyelenggarakan munas.
Jika munas yang dipilih, Supit mengatakan, Aburizal perlu membangun kompromi politik dengan Wakil Ketua Umum Agung Laksono di dalam penyelenggaraannya.
Munas pun dianggap sebagai jalan kompromi yang lebih adil lantaran akan melibatkan kepengurusan dari kedua belah pihak di dalam susunan kepanitiaannya.
Namun, putusan MA yang menolak gugatan kubu Agung justru menguatkan legal standing kepengurusan Bali sehingga wacana penyelenggaraan munaslub pun juga ikut mencuat.
"Kalau munaslub, dia (Aburizal) bisa menentukan sepenuhnya, apa saja. Mau dia libatkan pun (kubu Jakarta), itu tergantung dia, dia bisa libatkan paling satu-dua orang. Dia bisa memilih yang dia suka saja dong," ucapnya.
Supit berharap agar Aburizal dapat menjaga komitmennya untuk menyelenggarakan munas.
Sebab, itu tak hanya berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan, tetapi juga akan berdampak kepada tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Wacana penyelenggaraan munaslub sebelumnya kembali didengungkan Ketua DPD I Partai Golkar Sumatera Utara, Nurdin Halid.
Bahkan, Nurdin menyebut jika penyelenggaraan munas mendatang sebaiknya dilaksanakan pengurus Munas Bali.
"Yang paling aman pelaksanaan munaslub dilakukan oleh Munas Bali. Akan rawan gugatan kalau dilaksanakan berdasarkan Munas Riau," kata Nurdin.
Kader Muda Solusinya
Politisi senior Partai Golkar Hajriyanto Y. Thohari menilai, para kader muda Partai Golkar merupakan generasi yang bisa menghilangkan stigma negatif partai di mata masyarakat.
Sebab, para kader muda relatif tak membawa beban masa lalu.
"Kalau umur-umur saya dan yang lebih tua, kan membawa beban-beban masa lalu. Sulit untuk tampil segar," ujar Hajriyanto di Jakarta, Jumat (4/3/2016).
Ia mencontohkan, tokoh muda di partai politik lainnya yang berhasil jadi ketua umum partai. Seperti Muhaimin Iskandar yang kini menjabat Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hingga mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta.
Nama-nama tersebut dapat dikatakan masuk ke generasi muda.
"Partai Golkar bukannya berhasil melakukan pembeliaan, tapi semakin mengukuhkan gerontologi Partai Golkar," kata mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 itu.
Hal tersebut, menurut Hajriyanto, yang membuat Golkar semakin kalah dan kehilangan suaranya di mata pemilih-pemilih baru. Terlebih, pada pemilu serentak 2019, pemilih muda atau pemilih pemula akan mendominasi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Jika proses pembeliaan tidak segera terwujud di Partai Golkar, ya akan sangat sulit bagi kita untuk tampil jadi pemenang," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Inisiator Generasi Muda Golkar Ahmad Doli Kurnia sepakat dengan pernyataan Hajriyanto bahwa Partai Golkar butuh sosok pemimpin muda.
Ia menyinggung pernyataan sesepuh Golkar, BJ Habibie beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Partai Golkar idealnya dipimpin oleh kader yang usianya di antara 40 tahun hingga 60 tahun.
Bahkan, menurut Doli, seharusnya batas umurnya adalah 40 hingga 50 tahun. Sebabnya, tak lain adalah karena mayoritas pemilih pilkada serentak 2019 adalah pemilih muda.
"Semakin muda pemimpin partai, tentu saja pimpinan partai itu sangat mudah berkomunikasi dengan para konstituen itu bahwa kita bisa bersama-sama di Partai Golkar," ujar Doli. (mrhill/kmpscom)
Hingga kini, belum diputuskan apakah partai itu akan menyelenggarakan muswayarah nasional biasa atau luar biasa.
"Ini posisi yang harus dibicarakan internal," kata Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Riau, Ahmadi Noor Supit, di Kompleks Parlemen, Jumat (4/3/2016).
Baik munas atau munaslub memiliki konsekuensi politik berbeda di dalam penyelenggaraannya.
Ia mengatakan, sejauh ini, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Riau, Aburizal Bakrie, masih berkomitmen untuk menyelenggarakan munas.
Jika munas yang dipilih, Supit mengatakan, Aburizal perlu membangun kompromi politik dengan Wakil Ketua Umum Agung Laksono di dalam penyelenggaraannya.
Munas pun dianggap sebagai jalan kompromi yang lebih adil lantaran akan melibatkan kepengurusan dari kedua belah pihak di dalam susunan kepanitiaannya.
Namun, putusan MA yang menolak gugatan kubu Agung justru menguatkan legal standing kepengurusan Bali sehingga wacana penyelenggaraan munaslub pun juga ikut mencuat.
"Kalau munaslub, dia (Aburizal) bisa menentukan sepenuhnya, apa saja. Mau dia libatkan pun (kubu Jakarta), itu tergantung dia, dia bisa libatkan paling satu-dua orang. Dia bisa memilih yang dia suka saja dong," ucapnya.
Supit berharap agar Aburizal dapat menjaga komitmennya untuk menyelenggarakan munas.
Sebab, itu tak hanya berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan, tetapi juga akan berdampak kepada tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Wacana penyelenggaraan munaslub sebelumnya kembali didengungkan Ketua DPD I Partai Golkar Sumatera Utara, Nurdin Halid.
Bahkan, Nurdin menyebut jika penyelenggaraan munas mendatang sebaiknya dilaksanakan pengurus Munas Bali.
"Yang paling aman pelaksanaan munaslub dilakukan oleh Munas Bali. Akan rawan gugatan kalau dilaksanakan berdasarkan Munas Riau," kata Nurdin.
Kader Muda Solusinya
Politisi senior Partai Golkar Hajriyanto Y. Thohari menilai, para kader muda Partai Golkar merupakan generasi yang bisa menghilangkan stigma negatif partai di mata masyarakat.
Sebab, para kader muda relatif tak membawa beban masa lalu.
"Kalau umur-umur saya dan yang lebih tua, kan membawa beban-beban masa lalu. Sulit untuk tampil segar," ujar Hajriyanto di Jakarta, Jumat (4/3/2016).
Ia mencontohkan, tokoh muda di partai politik lainnya yang berhasil jadi ketua umum partai. Seperti Muhaimin Iskandar yang kini menjabat Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hingga mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta.
Nama-nama tersebut dapat dikatakan masuk ke generasi muda.
"Partai Golkar bukannya berhasil melakukan pembeliaan, tapi semakin mengukuhkan gerontologi Partai Golkar," kata mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 itu.
Hal tersebut, menurut Hajriyanto, yang membuat Golkar semakin kalah dan kehilangan suaranya di mata pemilih-pemilih baru. Terlebih, pada pemilu serentak 2019, pemilih muda atau pemilih pemula akan mendominasi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Jika proses pembeliaan tidak segera terwujud di Partai Golkar, ya akan sangat sulit bagi kita untuk tampil jadi pemenang," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Inisiator Generasi Muda Golkar Ahmad Doli Kurnia sepakat dengan pernyataan Hajriyanto bahwa Partai Golkar butuh sosok pemimpin muda.
Ia menyinggung pernyataan sesepuh Golkar, BJ Habibie beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Partai Golkar idealnya dipimpin oleh kader yang usianya di antara 40 tahun hingga 60 tahun.
Bahkan, menurut Doli, seharusnya batas umurnya adalah 40 hingga 50 tahun. Sebabnya, tak lain adalah karena mayoritas pemilih pilkada serentak 2019 adalah pemilih muda.
"Semakin muda pemimpin partai, tentu saja pimpinan partai itu sangat mudah berkomunikasi dengan para konstituen itu bahwa kita bisa bersama-sama di Partai Golkar," ujar Doli. (mrhill/kmpscom)