Membaca "Fenomena" Stiglitz di Era Jokowi

BLOKBERITA -- Konteks sosial dari negara maju seperti Amerika Serikat dan negara berkembang Indonesia, selain memperlihatkan perbedaan juga memiliki persamaan masalah. 

Seperti diuraikan peraih Nobel Ekonomi dan Professor ekonomi Joseph E Stiglitz, bahwa negerinya Amerika saat ini tengah menghadapi krisis ekonomi yang berakar pada problem social inequality (ketimpangan sosial). Ketimpangan sosial sebagai akar dari krisis tidak hanya dihadapi oleh Amerika, namun juga menjadi persoalan krusial di negeri kita.

Joseph Stiglitz (2013) dalam karyanya The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers our Future menegaskan bahwa di Amerika Serikat 1% orang terkaya menguasai 93% kue pendapatan nasional dibandingkan 99% mayoritas rakyat hanya dapat mengakses sisa dari pendapatan nasional sebesar 7%.

Sementara dalam perhitungan selama tiga dekade 90% tenaga kerja Amerika Serikat hanya naik sebesar 15 % dibandingkan dengan percepatan keuntungan 1% orang terkaya dalam kurun yang sama melesat sampai 150%.

Dengan realitas sosial seperti diatas, Amerika Serikat telah menjadi negeri dengan tingkat ketimpangan sosial begitu tinggi dan tingkat kesetaraan kesempatan yang sangat rendah.
Realitas data statistik di atas menepis dogma ekonomi dominan pro pasar bebas yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh produktivitas ekonomi orang-orang terkaya akan mengalir ke bawah, membawa kemakmuran sekaligus perluasan kesempatan ekonomi dari masyarakat luas.

Apa yang salah dari dinamika perjalanan sistemik kapitalisme kontemporer? Problem tingginya ketimpangan sosial di Amerika Serikat terjadi karena tingkat akumulasi kemakmuran dilakukan melalui proses rent seeking (perburuan rente).

Dalam proses itu orang-orang terkaya menangguk keuntungan dengan mengambil alih jatah dari orang-orang miskin, ketika sirkulasi uang berlangsung pada sektor finansial yang meninggalkan dorongan atas sektor ekonomi produktif.

Sistem ekonomi pasar bebas yang timpang ini terfasilitasi oleh intervensi negara dengan kebijakan-kebijakan pemotongan pajak bagi kaum pengusaha besar, kebijakan moneter yang ramah dengan para spekulan pemburu keuntungan jangka pendek dan kebijakan alokasi anggaran yang anti-subsidi publik.

Ketimpangan Indonesia 

Apa yang diutarakan Stiglitz diatas tidak saja relevan untuk membaca realitas ketimpangan sosial di Amerika Serikat. Namun "fenomena" (kejadian) diatas merupakan epos dinamika ekonomi-politik yang tengah berlangsung di Indonesia.

Seperti temuan World Bank pada tahun 2015 berjudul Indonesia’s Rising Divide bahwa pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir hanya memberi keuntungan bagi sebesar 20% orang-orang terkaya dan meninggalkan sekitar 80% (205 juta jiwa) mayoritas rakyat.

Dalam pembacaan lebih detail dalam catatan tahun 2003-2010 tertera bahwa tingkat konsumsi per-orang dari 10% warga terkaya di Indonesia naik sebesar 6% pertahun setelah mengalami penyesuaian inflasi, sementara 40% konsumsi perorang dari warga termiskin dalam periode yang sama naik kurang dari 2% pertahun.

Gambaran ironis ini ditambah dengan kenyataan pahit bahwa dalam hitungan statistik ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tercatat 10% orang terkaya memiliki 77% kekayaan di negeri ini, sementara 1% orang terkaya memperoleh kue pembangunan sebesar 50%.

Artinya 90% lapisan mayoritas orang Indonesia hanya berbagi sekitar 23% hasil pembangunan di negeri kita.
Seperti halnya yang berlangsung di AS seperti dikemukakan oleh Stiglitz, praktik-praktik rent seeking (perburuan keuntungan) tanpa konsekwensi pada daya dorong ekonomi produktif menjadi pola-pola relasi ekonomi-politik yang berlangsung di negeri kita.

Apabila di Amerika Serikat praktik-praktik rent seeking berlangsung melalui kuatnya lobby pengusaha-penguasa yang berimplikasi pada kebijakan negara yang pro-orang terkaya, pada konteks Indonesia akumulasi kekayaan dari mereka yang sangat diuntungkan berlangsung melalui dari praktik-praktik korupsi dalam relasi bisnis-politik di negeri kita.
Kombinasi antara desain pasar bebas tanpa batas (neoliberalisme) dan pola-pola relasi kekuasaan oligarkhis-predatoris merupakan desain yang mematikan bagi mati surinya berkah pembangunan di Indonesia sekaligus sumber dari ketimpangan sosial.

Apabila diabstraksikan maka formula neoliberalisme plus oligarkhi selama satu dekade terakhir  dapat terformulasikan dalam:

Pertama, arahan pembangunan yang lebih menekankan pada pemotongan anggaran publik, ekspansi investasi modal yang tidak sensitif terhadap keseimbangan ekologis dan pemerataan pembangunan seperti program MP3EI.

Kedua, praktik kebijakan publik kita terbelenggu oleh pertarungan dan negosiasi diantara aliansi kekuatan sosial bisnis-politisi yang menguasai institusi publik, anggaran maupun akses atas kebijakan bagi kepentingan kelompok mereka sendiri.
Pada akhirnya ketimpangan sosial tidak hanya merugikan kaum miskin, namun juga menghambat kemajuan tatanan ekonomi itu sendiri. Ketimpangan sosial yang tinggi akan melemahkan kohesifitas sosial, mengikis social trust (kepercayaan sosial), dan mendorong ketidakstabilan politikdapat mengganggu tumbuhnya investasi.

Di sisi lain ketimpangan sosial juga mengurangi mobilitas sosial dari masyarakat Indonesia. Seiring melemahnya daya tahan ekonomi masyarakat banyak, semakin lemah kemampuan mereka mengakses sektor-sektor vital bagi terbukanya peluang mobilitas sosial seperti pendidikan.

Dengan melemahnya akses pada sektor pendidikan berkualitas bagi rakyat banyak, maka semakin sempit harapan tatanan ekonomi di negeri ini memberikan peluang bagi kesetaraan kesempatan dalam memenuhi hajat hidup warganya.

Belajar dari Masa Lalu

Meskipun menghadapi persoalan pembangunan yang berat, namun negeri kita bukanlah negeri tanpa harapan.

Salah satu momen penting adalah ketika Presiden Jokowi  melantik Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang menyatukan para ekonom dan pengusaha nasional di bawah pimpinan Soetrisno Bachir sebagai pemberi masukan atas kebijakan ekonomi nasional.

Saatnya membalikkan cara pandang, rekomendasi kebijakan ekonomi ke depan tidak hanya terfokus pada peningkatan daya saing namun juga merekomendasikan beberapa langkah pro kesetaraan sosial seperti:

Pertama, kebijakan publik inovatif yang pro rakyat miskin dalam bidang pendidikan, kesehatan dan tunjangan sosial.

Kedua, kebijakan perbankan yang lebih ramah pada sektor permodalan bagi pengusaha kecil menengah,

Ketiga, serta formulasi sistem perpajakan yang pro atas kesejahteraan orang banyak. 
Untuk Indonesia, kita membutuhkan kombinasi antara kebijakan progresif dan pemimpin yang berani. Pemimpin bangsa yang tidak hanya berkomitmen untuk memproduksi kebijakan sosial yang pro keadilan sosial, namun juga pemimpin yang tegar dan berani melawan praktik-praktik korupsi dalam relasi penguasa-pengusaha yang menjadi penyakit berurat akar di negeri kita. (kompas)

Oleh : Airlangga Pribadi Kusman
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangg.

View

Related

TOKOH 5918493346883889741

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item