Negara Abal-Abal, Gombal-Gambul...!
https://kabar22.blogspot.com/2016/01/negara-abal-abal-gombal-gambul.html
BLOKBERITA -- Oposisi sudah habis. Kini tinggal bagaimana pemerintah memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Golkar, PAN, dan PKS sudah tunduk di hadapan Jokowi. Pemimpin ketiga Parpol ini sudah sowan ke Istana. Kini kekuatan Jokowi hanya bisa ditandingi oleh mantan presiden Suharto.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah mereka kompak untuk kepentingan negara dan bangsa, atau sekadar berbagi kekuasaan dan kue bisnis. Kalau ternyata jawabannya adalah yang kedua, jangan berharap pada reformasi ekonomi yang serius karena prioritas tertinggi terletak pada kepentingan bisnis para juragan Parpol.
Jadi jangan heran kalau praktek monopoli dan oligopoli bakal tak tersentuh, dan proyek-proyek pemerintah jatuh ke kelompok bisnis yang itu-itu saja. Agar tak jengkel, masyarakat disuguhi berbagai paket kebijakan ekonomi yang sesungguhnya tidak esensial dan membuat Indonesia tetap tak berdaya menghadapi gejolak ekonomi dunia.
Otak masyarakat pun dicuci melalui stasiun-stasiun TV, dan media massa lain yang dikuasai para juragan Parpol. Mereka akan dibuai oleh fatamorgana seolah Indonesia adalah negara impian yang sedang menuju masa depan lebih cerah. Utang yang menggunung, pelemahan rupiah, pelebaran kesenjangan ekonomi, peningkatan angka pengangguran dan sebagainya bakal terlupakan.
Suka atau tidak, melawan kenyataan bahwa panggung politik sedang dikuasai oleh para pengusaha memang teramat sulit. Di tengah perekonomian yang lesu seperti sekarang, mereka tentu giat memburu proyek dan dana segar dari bank pemerintah. Tak cuma kerajaan bisnis yang mereka bangun, tapi juga dinasti politik yang telah terbukti efektif untuk membangun kekuasaan sekaligus kekayaan.
Oposisi sesungguhnya dari situasi semacam itu adalah masyarakat yang kritis. Masyarakat yang tidak merasa harus mendukung atau melawan habis-habisan seorang penguasa karena alasan agama, partai, suku, almamater dan sebagainya. Masyarakat yang lebih mengedepankan akal sehat ketimbang emosi.
Fanatisme dan gila uang yang berkembang demikian hebat belakangan ini tentu saja tidak produktif bagi kepentingan nasional. Bahkan bisa menggiring Indonesia menjadi kancah konflik berdarah seperti Irak, Suriah, dan Libya. Atau perang saudara multi pihak – Islam, Kristen, Druze, Palestina – dari 1975 sampai 1990 yang pernah membuat Lebanon berubah cepat dari ‘surga’ menjadi ‘neraka’ Timur Tengah.
Situasi sekarang memang bisa membuat orang kehilangan akal. Apalagi bila dikaitkan dengan catatan BPS yang menyebut jumlah orang miskin bertambah dari 27,73 juta jiwa pada September 2014, menjadi 28,51 jiwa pada September tahun lalu. Kondisi semacam ini ini tentu juga bisa dimanfaatkan oleh para pendukung separatisme yang sekarang ini berjaya di Aceh dan makin nekad di Papua, dan gerakan garis keras seperti ISIS.
Memanipulasi kesusahan orang bukanlah hal baru di Indonesia, baik di era demokrasi maupun sebelumnya. Sebagaimana kerap terbukti di arena politik maupun bisnis, manipulasi semacam ini efektif untuk mengendalikan masyarakat yang tidak kritis. Lihat saja, ada belasan politisi berstatus tersangka korupsi bisa menang dalam Pilkada. Di antaranya adalah Theddy Tengko di Kepulauan Aru, Jamro Jalil di Bangka Selatan, dan Yusak Yaluwo di Boven Digul. Ada pula bupati yang masuk penjara tapi sukses mempromosikan anak atau istrinya seperti Widya Kandi Susanti di Kendal, yang menang Pilkada setelah suaminya masuk penjara.
Bila perekonomian terus memburuk, dan kekonyolan seperti di atas terus terjadi, tak aneh bila kemudian ada yang menjuluki Indonesia sebagai negara abal-abal...gombal-gambul....tipa-tipu....!
(Inrev./bin)
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah mereka kompak untuk kepentingan negara dan bangsa, atau sekadar berbagi kekuasaan dan kue bisnis. Kalau ternyata jawabannya adalah yang kedua, jangan berharap pada reformasi ekonomi yang serius karena prioritas tertinggi terletak pada kepentingan bisnis para juragan Parpol.
Jadi jangan heran kalau praktek monopoli dan oligopoli bakal tak tersentuh, dan proyek-proyek pemerintah jatuh ke kelompok bisnis yang itu-itu saja. Agar tak jengkel, masyarakat disuguhi berbagai paket kebijakan ekonomi yang sesungguhnya tidak esensial dan membuat Indonesia tetap tak berdaya menghadapi gejolak ekonomi dunia.
Otak masyarakat pun dicuci melalui stasiun-stasiun TV, dan media massa lain yang dikuasai para juragan Parpol. Mereka akan dibuai oleh fatamorgana seolah Indonesia adalah negara impian yang sedang menuju masa depan lebih cerah. Utang yang menggunung, pelemahan rupiah, pelebaran kesenjangan ekonomi, peningkatan angka pengangguran dan sebagainya bakal terlupakan.
Suka atau tidak, melawan kenyataan bahwa panggung politik sedang dikuasai oleh para pengusaha memang teramat sulit. Di tengah perekonomian yang lesu seperti sekarang, mereka tentu giat memburu proyek dan dana segar dari bank pemerintah. Tak cuma kerajaan bisnis yang mereka bangun, tapi juga dinasti politik yang telah terbukti efektif untuk membangun kekuasaan sekaligus kekayaan.
Oposisi sesungguhnya dari situasi semacam itu adalah masyarakat yang kritis. Masyarakat yang tidak merasa harus mendukung atau melawan habis-habisan seorang penguasa karena alasan agama, partai, suku, almamater dan sebagainya. Masyarakat yang lebih mengedepankan akal sehat ketimbang emosi.
Fanatisme dan gila uang yang berkembang demikian hebat belakangan ini tentu saja tidak produktif bagi kepentingan nasional. Bahkan bisa menggiring Indonesia menjadi kancah konflik berdarah seperti Irak, Suriah, dan Libya. Atau perang saudara multi pihak – Islam, Kristen, Druze, Palestina – dari 1975 sampai 1990 yang pernah membuat Lebanon berubah cepat dari ‘surga’ menjadi ‘neraka’ Timur Tengah.
Situasi sekarang memang bisa membuat orang kehilangan akal. Apalagi bila dikaitkan dengan catatan BPS yang menyebut jumlah orang miskin bertambah dari 27,73 juta jiwa pada September 2014, menjadi 28,51 jiwa pada September tahun lalu. Kondisi semacam ini ini tentu juga bisa dimanfaatkan oleh para pendukung separatisme yang sekarang ini berjaya di Aceh dan makin nekad di Papua, dan gerakan garis keras seperti ISIS.
Memanipulasi kesusahan orang bukanlah hal baru di Indonesia, baik di era demokrasi maupun sebelumnya. Sebagaimana kerap terbukti di arena politik maupun bisnis, manipulasi semacam ini efektif untuk mengendalikan masyarakat yang tidak kritis. Lihat saja, ada belasan politisi berstatus tersangka korupsi bisa menang dalam Pilkada. Di antaranya adalah Theddy Tengko di Kepulauan Aru, Jamro Jalil di Bangka Selatan, dan Yusak Yaluwo di Boven Digul. Ada pula bupati yang masuk penjara tapi sukses mempromosikan anak atau istrinya seperti Widya Kandi Susanti di Kendal, yang menang Pilkada setelah suaminya masuk penjara.
Bila perekonomian terus memburuk, dan kekonyolan seperti di atas terus terjadi, tak aneh bila kemudian ada yang menjuluki Indonesia sebagai negara abal-abal...gombal-gambul....tipa-tipu....!
(Inrev./bin)