Golkar Patah Arang
https://kabar22.blogspot.com/2016/01/golkar-patah-arang.html
Pertarungan dua kubu di tubuh Golkar sepertinya tak kunjung berakhir. Kini, malah melebar ke arah perpecahan di internal masing-masing kubu. Golkar seperti sudah di bibir jurang. Padahal, sebelum Setya Novanto mundur dari kursi Ketua DPR, hanya ada dua kubu yang berseteru, yakni Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono. Namun setelah Novanto ditetapkan sebagai Ketua Fraksi Golkar, muncul faksi-faksi di kubu Ical.
Apakah dengan kondisi ini Golkar akan kembali mengalami masa kelam ?
Situasi dan kondisi Partai GOLKAR saat ini sebenarnya tidak lebih parah dibanding tahun 1998. Setelah kejatuhan Soeharto, ketika itu Golkar tidak punya apa-apa lagi. Era reformasi, semua anti Orde Baru mencabik-cabik tubuh Partai Golkar, sehingga hampir seluruh aset utama Golkar hilang. Kader, sumber pembiayaan, citra dan juga lembaga-lembaga fungsional yang selama Orde Baru menjadi pemasok utama kader. Di saat itulah Golkar mengalami pembunuhan karakter, tekanan, hujatan, ancaman, stigmatisasi, demoralisasi, provokasi, teror, serangan fisik dan pembakaran kantor di sejumlah daerah, diancam tidak ikut Pemilu 1999 dan 2004, bahkan sempat dibubarkan di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Dengan tekanan yang begitu dahsyat kala itu, para pengamat politik, kelompok kelompok anti Orde Baru, mahasiswa, LSM dan lain lain merasa yakin Pemilu 1999 adalah akhir dari riwayat Golkar. Bahkan seorang Amien Rais saja ketika itu sudah menyatakan Golkar sudah The End. “Saya kira ajal Golkar juga sudah selesai dalam tahun ini juga.” (Koran Merdeka, 26/04/1999).
Tapi, apa yang tidak disangka tiba-tiba muncul tokoh sekaliber Akbar Tanjung yang telah siap dengan segala cara untuk mempertahankan supremasi Golkar. Dan memang benar, di tangan Akbar kemudian Golkar benar benar seperti terlahir kembali. Namun siasat politik Akbar bukan bukan bangkit dan berdiri seorang diri tapi muncullah ide ide koalisi yang bisa memagari agar tatanan hukum Golkar tetap terjaga dengan baik.
Dengan tatanan hukum yang terjaga, para kader tegar dan tabah menghadapi segala tekanan dan ancaman, sementara konsolidasi dilaksanakan tiada henti. Kesigapan Akbar membangkitkan kembali semangat para kadernya yang sudah sempat tenggelam. Dengan slogan “mari bung, rebut kembali,” atau istilah yang selalu dikibarkan oleh Akbar dalam berbagai kesempatan, to win the heart of the people. Golkar akhirnya memenangkan Pemilu 2004 dengan meraih 21.6%, bahkan satu satunya parpol dari 24 peserta Pemilu yang berhasil menambah suara pada 1999.
Kini situasi yang sama kembali melanda Partai Golkar, yang sedikit berbeda adalah peran pemerintah yang kebetulan saat ini dikuasai oleh Partai yang sama ketika periode gonjang ganjing Golkar 1999 diprediksikan akan “lenyap”. Golkar era Akbar Tanjung, hanya dikebiri oleh para anti orde baru sedangkan pemerintah yang kala itu dikuasai PDIP belum begitu pengalaman dalam bersiasat politik, jadi untuk menusuk dari dalam hampir tidak ada. Sehingga buat Akbar saat itu, tidak perlu pusing untuk menyangsikan kesoliditasan para pengurus partai, apalagi memikirkan berbagai hal meredam kegaduhan di internal partai, semuanya itu begitu mudah, tinggal memfokuskan diri pada konsolidasi partai di tingkat bawah untuk kembali menjadi partai pemenang Pemilu.
Buktinya tahun 2004 Partai Golkar memang benar benar meraup kemenangan fenomenal. Namun saya, tidak ada tokoh yang mumpuni untuk menjadi kandidat sebagai Calon Presiden. Sampai seorang kader sekaliber Jusuf Kalla pun tidak bisa meyakinkan partainya, sehingga ia merapat ke gerbong barisan Susilo Bambang Yudoyono.
Apa yang terjadi sekarang adalah buah ketidaksolidan pengurus partai, PDIP kini tidak lagi sama dengan PDIP pada masa 1999, mereka kini sangat mahir memainkan peran sebagai konduktor politik nasional. Setelah Pilpres 2014, Golkar dengan begitu mudahnya “masuk angin” hingga kondisi internal partai terpecah belah. Buruknya lagi, pemerintah seolah sebagai pemegang legitimasi kepartaian, jadilah Golkar karut marut seperti sekarang ini.
Apalagi sikap ketua umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical), yang diibaratkan Golkar sebagai ikan bandeng asap tanpa duri, yang diperdagangkan olehnya kesana kemari sejak menjelang Pilpres 2014 lalu. Politik dagang bandeng asap tersebut, dimulai dengan merontokkan “tulang tulangnya” terlebih dahulu agar mendapatkan daging yang enak. Seluruh pengurus yang punya kekuatan politik seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso dan Agun Gunanjar satu demi satu di non tugaskan. Setiap pengurus punya kekuatan politik disingkirkannya atau diparkir supaya tidak lagi bisa menusuk dirinya. Yang terakhir, Bambang Soesatyo, Ade Komarudin dan kelompoknya dibuat tidak berkutik, hanya memerintahkan seorang Setya Novanto yang belum sah menjadi Ketua Fraksi untuk mengeluarkan “surat sakti”nya.
Semua itu, seolah demi kepentingan politik Ical pribadi, agar bisa bargaining dengan pihak pemerintah yang hingga saat ini masih berharap Golkar merapat ke “Koalisi Istana.” Sikap Ical ini sering menimbulkan ketidakstabilan didalam pengurus Golkar. Menjadikan kian lama terbentuk sebongkah kepelikan yang bukan tidak mungkin tidak akan terselesaikan dalam sekejap.
Kefakuman aktivitas partai pun akan terjadi manakala kepelikan itu makin membelit ke rongga yang paling kecil yaitu terbelahnya kepengerusan partai di tingkat ranting.
Periode Golkar era kepemimpinan Ical, memang sangat getir, alih alih meneruskan kedigdayaan era Akbar Tanjung, kini malah kodisinya lebih parah dari apa yang dikehendaki Akbar Tanjung yang didaulat sebagai ketua dewan pertimbangan Golkar kubu Ical.
Sementara itu, Wakil ketua umum dari kubu Agung Laksono, yakni Priyo Budi Santoso menyebut, saat ini kondisi partai dalam keadaan yang sangat suram. “Golkar berada pada hari hari kelam dalam sejarahnya. Sekarang telah terjadi vacuum of power dan tak ada satu pihak mana pun yang bisa bergerak atas nama DPP Golkar dan kini malah bergerak kearah semakin gelap,” ungkapnya.
Situasinya Golkar sudah kehilangan jiwa yang menghidupkan, mempertahankan dan menenangkan Golkar di saat partai ini berada di titik krusial. Kini pengabdian dan kesetiaan kader bukan kepada partai lagi, tapi lebih kepada person berdasar hubungan patron client. Jika, kader cuma loyal kepada sesorang, bukan lagi partainya maka loyalitas seperti itu tidak sehat dalam upaya penyatuan partai yang sekarang lagi makin kelam. Salahnya lagi, dalam situasi seperti itu lahirlah oligarki, pembisik dan pembusuk yang ada di lingkaran terdekat ketua umum atau ketua. Mereka akhirnya tidak lagi menjadi orang-orang yang ingin partainya bersatu tapi selalu mengutamakan dirinya akan hausnya kekuasaan. Dengan begitu, tanpa disadari Golkar akan mengalami masa suram paling panjang sepanjang sejarahnya. (Inrev./bin)