Rupiah Loyo, Perbankan Goyah, Asing Siap 'Mencaplok'

BLOKBERITA -- Bank apa yang akan lebih dulu tumbang atau dicaplok asing? Siapa pejabat yang akan dikriminalkan?

Itulah dua pertanyaan yang sangat klop untuk menggambarkan situasi perbankan nasional saat ini. Jawabnya memang masih belum jelas. Tapi, bila dikaitkan dengan nilai tukar rupiah yang masih melemah, jawabnya tampak kian dekat.

Bank-bank kelas menengah dan kecil tampaknya bakal menjadi korban terbesar dan pertama rontoknya rupiah. Bank besar tak perlu terlalu khawatir meski bisa saja ikut menjadi korban. Bank BUMN pasti selamat karena pemerintah tak akan membiarkan mereka gulung tikar. Paling banter hanya direksinya yang diganti.

Bagaimana situasi perbankan saat ini bisa dilihat dari hasil kajian OJK. Bila dollar menyentuh 15 ribu, menurut OJK, modal perbankan nasional akan terganggu. Sedangkan menurut hasil stress test, bank BUMN papan atas, masih aman sampai dollar menyentuh 16 ribu. Yang telah melakukan test ini di antaranya adalah BRI.

Apabila nanti ada bank di ambang bangkrut, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah? Nekad menyelamatkannya dengan alasan untuk menghindari krisis perbankan, atau membiarkannya mati. Bila pilihan pertama yang diambil, konsekuensinya adalah hingar bingar politik. Akan ada petinggi pemerintah – termasuk presiden - dan otoritas moneter menjadi bulan-bulanan politisi untuk dikriminalkan seperti telah terjadi pada kasus Bank Century.

Bila membiarkan bank tersebut mati, para nasabah bisa beramai menarik dana dari bank. Akibatnya bank kecil dan menengah, bahkan yang besar, bisa menghadapi krisis keuangan sangat parah bahkan mematikan.

Bagi pemerintah, situasi tersebut ibarat orang yang mengantungi buah simalakama. Kalau dimakan bapak akan mati. Kalau tidak dimakan ibu akan mati. Lalu orang itu ditanya, “apa yang akan anda lakukan?” Jawaban paling aman adalah, “saya serahkan buah tersebut ke orang lain.”

Dalam konteks ini, jawaban tersebut bisa berarti menyerahkan bank-bank nahas tersebut ke orang asing sebagaimana terjadi pasca krisis moneter 1998. Hasilnya, investor asing kini mendominasa bank-bank swasta papan atas.  Apa boleh buat, karena para investor Indonesia pada umumnya lebih suka main aman karena secara modal dan manajerial memang tak punya kemampuan untuk menandingi para investor asing, yang kebanyakan dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.

Apa boleh buat, perbankan Indonesia memang kecil dihadapan para tetangga. Lihat saja, menurut hasil riset Forbes, sampai dengan akhir tahun lalu,  dari 20 bank terbesar di ASEAN berdasarkan aset, hanya terdapat tiga bank dari Indonesia. Yaitu BRI di peringkat 12, BCA di 16, dan BNI di 19.

Bandingkan dengan Malaysia yang menempatkan 6 bank di peringkat 4,5,6, 13, 14, dan 17. Thailand menempatkan empat bank di peringkat 7, 8, 9, dan 10. Sedangkan Singapura, meski menempatkan tiga bank, tapi menguasai posisi teratas, 2 dan 3.

Hal di atas menunjukkan, di tingkat ASEAN pun posisi perbankan Indonesia tergolong lemah. Maka tak mengherankan bila hanya perbankan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang saat ini bisa sungguh-sungguh melakukan ekspansi ke seluruh penjuru ASEAN. Sedangkan posisi Indonesia masih ibarat ‘anak bawang’.

Lebih memprihatinkan lagi, perbankan swasta Indonesia bahkan juga menjadi pemain kecil saja di dalam negeri. Lihat saja, bank-bank swasta papan atas sekarang ini hampir seluruhnya dikuasai oleh asing. Dari 5 bank terbesar di Indonesia, empat di antaranya dimiliki oleh asing. CIMB Niaga dan BII oleh Malaysia, Panin Bank oleh Australia, dan Danamon oleh Singapura.

Maka tak mengherankan bila pelemahan rupiah terus berlanjut, bakal ada pencaplokan lagi oleh investor asing terhadap bank-bank swasta nasional. Maklum, menyelamatkan bank menggunakan dana pemerintah bisa berbuah caci-maki seperti dialami oleh Sri Mulyani. Citra Indonesia sebagai gajah loyo pun bakal makin terkukuhkan.  (Inrev)

onesianReview.com -- Bank apa yang akan lebih dulu tumbang atau dicaplok asing? Siapa pejabat yang akan dikriminalkan?
Itulah dua pertanyaan yang sangat klop untuk menggambarkan situasi perbankan nasional saat ini. Jawabnya memang masih belum jelas. Tapi, bila dikaitkan dengan nilai tukar rupiah yang masih melemah, jawabnya tampak kian dekat.
Bank-bank kelas menengah dan kecil tampaknya bakal menjadi korban terbesar dan pertama rontoknya rupiah. Bank besar tak perlu terlalu khawatir meski bisa saja ikut menjadi korban. Bank BUMN pasti selamat karena pemerintah tak akan membiarkan mereka gulung tikar. Paling banter hanya direksinya yang diganti.
Bagaimana situasi perbankan saat ini bisa dilihat dari hasil kajian OJK. Bila dollar menyentuh 15 ribu, menurut OJK, modal perbankan nasional akan terganggu. Sedangkan menurut hasil stress test, bank BUMN papan atas, masih aman sampai dollar menyentuh 16 ribu. Yang telah melakukan test ini di antaranya adalah BRI.
Nah, bila nanti ada bank di ambang bangkrut, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah? Nekad menyelamatkannya dengan alasan untuk menghindari krisis perbankan, atau membiarkannya mati. Bila pilihan pertama yang diambil, konsekuensinya adalah hingar bingar politik. Akan ada petinggi pemerintah – termasuk presiden - dan otoritas moneter menjadi bulan-bulanan politisi untuk dikriminalkan seperti telah terjadi pada kasus Bank Century.
Bila membiarkan bank tersebut mati, para nasabah bisa beramai menarik dana dari bank. Akibatnya bank kecil dan menengah, bahkan yang besar, bisa menghadapi krisis keuangan sangat parah bahkan mematikan.
Bagi pemerintah, situasi tersebut ibarat orang yang mengantungi buah simalakama. Kalau dimakan bapak akan mati. Kalau tidak dimakan ibu akan mati. Lalu orang itu ditanya, “apa yang akan anda lakukan?” Jawaban paling aman adalah, “saya serahkan buah tersebut ke orang lain.”
Dalam konteks ini, jawaban tersebut bisa berarti menyerahkan bank-bank nahas tersebut ke orang asing sebagaimana terjadi pasca krisis moneter 1998. Hasilnya, investor asing kini mendominasa bank-bank swasta papan atas.  Apa boleh buat, karena para investor Indonesia pada umumnya lebih suka main aman karena secara modal dan manajerial memang tak punya kemampuan untuk menandingi para investor asing, yang kebanyakan dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.
Apa boleh buat, perbankan Indonesia memang kecil dihadapan para tetangga. Lihat saja, menurut hasil riset Forbes, sampai dengan akhir tahun lalu,  dari 20 bank terbesar di ASEAN berdasarkan aset, hanya terdapat tiga bank dari Indonesia. Yaitu BRI di peringkat 12, BCA di 16, dan BNI di 19.
Bandingkan dengan Malaysia yang menempatkan 6 bank di peringkat 4,5,6, 13, 14, dan 17. Thailand menempatkan empat bank di peringkat 7, 8, 9, dan 10. Sedangkan Singapura, meski menempatkan tiga bank, tapi menguasai posisi teratas, 2 dan 3.
Hal di atas menunjukkan, di tingkat ASEAN pun posisi perbankan Indonesia tergolong lemah. Maka tak mengherankan bila hanya perbankan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang saat ini bisa sungguh-sungguh melakukan ekspansi ke seluruh penjuru ASEAN. Sedangkan posisi Indonesia masih ibarat ‘anak bawang’.
Lebih memprihatinkan lagi, perbankan swasta Indonesia bahkan juga menjadi pemain kecil saja di dalam negeri. Lihat saja, bank-bank swasta papan atas sekarang ini hampir seluruhnya dikuasai oleh asing. Dari 5 bank terbesar di Indonesia, empat di antaranya dimiliki oleh asing. CIMB Niaga dan BII oleh Malaysia, Panin Bank oleh Australia, dan Danamon oleh Singapura.
Maka tak mengherankan bila pelemahan rupiah terus berlanjut, bakal ada pencaplokan lagi oleh investor asing terhadap bank-bank swasta nasional. Maklum, menyelamatkan bank menggunakan dana pemerintah bisa berbuah caci-maki seperti dialami oleh Sri Mulyani. Citra Indonesia sebagai gajah loyo pun bakal makin terkukuhkan.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/indonesia-loyo#sthash.C2WI6ObV.dpuf
View

Related

HEADLINES 5657827946745982026

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item