Pensiun dari Pangab, Jenderal Moeldoko Bakal Gantikan Tedjo ?

https://kabar22.blogspot.com/2015/07/pensiun-dari-pangab-jenderal-moeldoko.html
BLOKBERITA -- Jenderal TNI Moeldoko memiliki syarat semuanya untuk memangku jabatan Menko Polhukam. Perombakan atau reshuffle kabinet tampaknya tidak lama lagi akan dilakukan Presiden Jokowi. Sejumlah nama mulai muncul, dan diperkirakan akan menggantikan beberapa wajah lama di Kabinet Kerja. Salah satu yang santer bakal dicopot adalah Laksamana (Purn) Tedjo Edhi Purdijanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam).
Sekadar informasi, Menko Polhukam membawahi beberapa kementerian penting dalam cabinet, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Informasi, Kementerian PAN dan RB, Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksanaan Agung, TNI, Polri, Lembaga Sandi Negara, dan Badan Koordinasi Keamanan Laut.
Dengan banyaknya kementerian atau lembaga yang dikoordinasi oleh Menko Polhukam, maka mau tak mau tugas seorang menteri yang menempati pos ini harus piawai dalam melakukan koordinasi, sinergi, berwibawa, dan dituntut untuk komunikasi dengan publik secara baik. Hal inilah yang belum nampak pada diri Menteri Tedjo selama ini.
Lalu, siapa yang berpeluang menggantikan menteri Tedjo? Sejumlah pengamat melihat ada beberapa nama. Misalnya, sosok Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Menurut Institute Publik Indonesia (IPI), Karyono Wibowo, TB Hasanuddin adalah figur yang tepat. Selain menguasai masalah pertahanan keamanan, Hasanuddin juga sudah lama menggeluti bidang pertahanan di Komisi I DPR.
Tak hanya itu. Hasanuddin juga pernah menjadi Sekretaris Militer di era Presiden Megawati. Karena itu, menurut Karyono, dia sangat memahami masalah sosial politik dengan baik. Namun, karena Hasanuddin belum pernah menduduki jabatan tertinggi dalam struktur militer, hal ini tentu saja akan membuat publik ragu pada kemampuannya, terutama yang sifatnya koordinatif.
Selain figur Hasanuddin, ada sosok yang lebih pantas yakni Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Di tengah panas dinginnya hubungan antara Jokowi dengan Jusuf Kalla, terselip nama Luhut. Banyak yang mengunggulkan ia sebagai kandidat menggantikan Menteri Tedjo.
Selain orang kepercayaan Presiden Jokowi, Luhut punya pengalaman cukup komplet di militer. Dengan pengalamannya ini, ia pasti tahu betul bagaimana peran yang harus dilakukan oleh seorang Menko Polhukam.
Hanya saja, sosok Luhut memiliki resistensi cukup tinggi, baik di kubu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena itu, mengangkat Luhut untuk menggantikan Tedjo punya risiko politik yang cukup besar bagi Jokowi.
Kabar terakhir yang berhembus kuat masuk ke meja redaksi adalah ada dua nama calon kuat pengganti Tedjo. Mereka adalah Jenderal (Pur) Wiranto dan Jenderal Muldoko. Wiranto adalah sosok yang sarat pengalaman dan pernah memegang berbagai jabatan di bidang politik dan keamanan. Pada era Soeharto, ia pernah menjadi dan Menhankam/Pangab. Di era Gus Dur, ia juga mengisi jabatan yang sama.
Nama Wiranto memang muncul belakangan. Kabarnya, namanya sengaja disorongkan Partai Hanura untuk mengisi posisi Menko Polhukam.
Wiranto memang lebih diunggulkan untuk menjadi Menko Polhukam, apalagi jika melihat posisi dirinya sebagai pendukung utama Jokowi dari masa kampanye hingga kini. Kedekatan Wiranto dengan Megawati dan Surya Paloh juga menjadi acuan kenapa ia sangat kuat untuk menggantikan menteri Tedjo.
Meskipun demikian, resistensi Wiranto juga cukup tinggi. Ia kurang populer di kalangan penggiat HAM. Banyak pengamat memperkirakan, jika Wiranto jadi Menko Polhukam hal ini akan menambah beban bagi Jokowi, terutama dalam kaitannya dengan isu HAM internasional yang bisa berdampak pada tersendatnya laju investasi ke Indonesia. Padahal, salah satu tujuan reshuffle adalah untuk meningkatkan kepercayaan dunia internasional, agar investasi secepatnya masuk sehingga bisa menumbuhkan perekonomian Indonesia yang sedang lesu ini.
Di luar tiga kandidat di atas, ada satu calon lagi yang cukup mumpuni untuk menduduki jabatan Menko Polhukam, yakni Jenderal Muldoko. Ia mantan Panglima TNI yang baru saja digantikan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Karier militernya cemerlang. Dari prajurit hingga berpangkat jenderal, ia selalu menempati posisi strategis di dalam struktur militernya.
Selain mahir ilmu kemiliteran, Moeldoko juga telah meraih gelar Doktor (S-3) jurusan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia. Kemampuan diplomasi dengan publik atau pun dengan lembaga legislatif, tidak kalah dengan para seniornya yang pernah menjabat Menko Polhukam, seperti Widodo AS dan Djoko Suyanto.
Kedekatannya dengan Presiden Jokowi selama ini, juga bisa menambah nilai plus dari sosok Moeldoko. Secara politik, Moeldoko adalah sosok yang masih diterima oleh semua pihak. Saat menjadi Panglima TNI, ia membawa TNI bersikap netral dalam Pemilu 2014. Ia selalu bisa menempatkan diri pada posisi sesungguhnya, yang membuat para tokoh politik seperti Megawati, Jusuf Kalla dan Prabowo tak pernah mengkritiknya. Dengan kepemimpinan Moeldoko, mereka yang kadang sensitif terhadap manuver petinggi militer, untuk kali itu merasa tenteram dan tidak merasa terusik.
Sebagai calon kuat Menko Polhukam, tentu saja Moeldoko tidak lepas dari sorotan negatif dari publik. Saat memimpin pasukan Siliwangi, Moeldoko sempat dikaitkan dengan apa yang disebut-sebut sebagai “Operasi Sajadah”, operasi yang disinyalir “pengislaman” pengikut Ahmadyah. Tapi soal ini sudah dibantah keras. “Pangdam Siliwangi sudah lapor kepada Panglima TNI, tidak ada operasi itu,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Iskandar kala itu.
Memilih Moeldoko sebagai Menko Polhukam, juga keuntungan buat Jokowi. Seorang pemimpin sipil sesungguhnya membutuhkan pendamping seorang mantan militer (Moeldoko pensiun Agustus 2015) yang cerdas dan punya wawasan kebangsaan kuat. Tanpa itu, kekuatan pemimpin sipil bak seperti macan ompong.
Hingga saat ini, Moeldoko belum terkontaminasi oleh partai, sehingga oleh Jokowi bisa dijadikan partner yang baik dalam hal mengelola urusan politik, keamanan dan hukum. Dan bukan tidak mungkin keduanya akan terus bekerjasama di Pemilu 2019. Moeldoko, jelas punya syarat semuanya, dan hal ini meyakini bahwa ia adalah sosok paling berpeluang menggantikan Menteri Tedjo Adhi Purdijanto.
[ bbcom / inrev ]
Sekadar informasi, Menko Polhukam membawahi beberapa kementerian penting dalam cabinet, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Informasi, Kementerian PAN dan RB, Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksanaan Agung, TNI, Polri, Lembaga Sandi Negara, dan Badan Koordinasi Keamanan Laut.
Dengan banyaknya kementerian atau lembaga yang dikoordinasi oleh Menko Polhukam, maka mau tak mau tugas seorang menteri yang menempati pos ini harus piawai dalam melakukan koordinasi, sinergi, berwibawa, dan dituntut untuk komunikasi dengan publik secara baik. Hal inilah yang belum nampak pada diri Menteri Tedjo selama ini.
Lalu, siapa yang berpeluang menggantikan menteri Tedjo? Sejumlah pengamat melihat ada beberapa nama. Misalnya, sosok Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Menurut Institute Publik Indonesia (IPI), Karyono Wibowo, TB Hasanuddin adalah figur yang tepat. Selain menguasai masalah pertahanan keamanan, Hasanuddin juga sudah lama menggeluti bidang pertahanan di Komisi I DPR.
Tak hanya itu. Hasanuddin juga pernah menjadi Sekretaris Militer di era Presiden Megawati. Karena itu, menurut Karyono, dia sangat memahami masalah sosial politik dengan baik. Namun, karena Hasanuddin belum pernah menduduki jabatan tertinggi dalam struktur militer, hal ini tentu saja akan membuat publik ragu pada kemampuannya, terutama yang sifatnya koordinatif.
Selain figur Hasanuddin, ada sosok yang lebih pantas yakni Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Di tengah panas dinginnya hubungan antara Jokowi dengan Jusuf Kalla, terselip nama Luhut. Banyak yang mengunggulkan ia sebagai kandidat menggantikan Menteri Tedjo.
Selain orang kepercayaan Presiden Jokowi, Luhut punya pengalaman cukup komplet di militer. Dengan pengalamannya ini, ia pasti tahu betul bagaimana peran yang harus dilakukan oleh seorang Menko Polhukam.
Hanya saja, sosok Luhut memiliki resistensi cukup tinggi, baik di kubu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena itu, mengangkat Luhut untuk menggantikan Tedjo punya risiko politik yang cukup besar bagi Jokowi.
Kabar terakhir yang berhembus kuat masuk ke meja redaksi adalah ada dua nama calon kuat pengganti Tedjo. Mereka adalah Jenderal (Pur) Wiranto dan Jenderal Muldoko. Wiranto adalah sosok yang sarat pengalaman dan pernah memegang berbagai jabatan di bidang politik dan keamanan. Pada era Soeharto, ia pernah menjadi dan Menhankam/Pangab. Di era Gus Dur, ia juga mengisi jabatan yang sama.
Nama Wiranto memang muncul belakangan. Kabarnya, namanya sengaja disorongkan Partai Hanura untuk mengisi posisi Menko Polhukam.
Wiranto memang lebih diunggulkan untuk menjadi Menko Polhukam, apalagi jika melihat posisi dirinya sebagai pendukung utama Jokowi dari masa kampanye hingga kini. Kedekatan Wiranto dengan Megawati dan Surya Paloh juga menjadi acuan kenapa ia sangat kuat untuk menggantikan menteri Tedjo.
Meskipun demikian, resistensi Wiranto juga cukup tinggi. Ia kurang populer di kalangan penggiat HAM. Banyak pengamat memperkirakan, jika Wiranto jadi Menko Polhukam hal ini akan menambah beban bagi Jokowi, terutama dalam kaitannya dengan isu HAM internasional yang bisa berdampak pada tersendatnya laju investasi ke Indonesia. Padahal, salah satu tujuan reshuffle adalah untuk meningkatkan kepercayaan dunia internasional, agar investasi secepatnya masuk sehingga bisa menumbuhkan perekonomian Indonesia yang sedang lesu ini.
Di luar tiga kandidat di atas, ada satu calon lagi yang cukup mumpuni untuk menduduki jabatan Menko Polhukam, yakni Jenderal Muldoko. Ia mantan Panglima TNI yang baru saja digantikan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Karier militernya cemerlang. Dari prajurit hingga berpangkat jenderal, ia selalu menempati posisi strategis di dalam struktur militernya.
Selain mahir ilmu kemiliteran, Moeldoko juga telah meraih gelar Doktor (S-3) jurusan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia. Kemampuan diplomasi dengan publik atau pun dengan lembaga legislatif, tidak kalah dengan para seniornya yang pernah menjabat Menko Polhukam, seperti Widodo AS dan Djoko Suyanto.
Kedekatannya dengan Presiden Jokowi selama ini, juga bisa menambah nilai plus dari sosok Moeldoko. Secara politik, Moeldoko adalah sosok yang masih diterima oleh semua pihak. Saat menjadi Panglima TNI, ia membawa TNI bersikap netral dalam Pemilu 2014. Ia selalu bisa menempatkan diri pada posisi sesungguhnya, yang membuat para tokoh politik seperti Megawati, Jusuf Kalla dan Prabowo tak pernah mengkritiknya. Dengan kepemimpinan Moeldoko, mereka yang kadang sensitif terhadap manuver petinggi militer, untuk kali itu merasa tenteram dan tidak merasa terusik.
Sebagai calon kuat Menko Polhukam, tentu saja Moeldoko tidak lepas dari sorotan negatif dari publik. Saat memimpin pasukan Siliwangi, Moeldoko sempat dikaitkan dengan apa yang disebut-sebut sebagai “Operasi Sajadah”, operasi yang disinyalir “pengislaman” pengikut Ahmadyah. Tapi soal ini sudah dibantah keras. “Pangdam Siliwangi sudah lapor kepada Panglima TNI, tidak ada operasi itu,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Iskandar kala itu.
Memilih Moeldoko sebagai Menko Polhukam, juga keuntungan buat Jokowi. Seorang pemimpin sipil sesungguhnya membutuhkan pendamping seorang mantan militer (Moeldoko pensiun Agustus 2015) yang cerdas dan punya wawasan kebangsaan kuat. Tanpa itu, kekuatan pemimpin sipil bak seperti macan ompong.
Hingga saat ini, Moeldoko belum terkontaminasi oleh partai, sehingga oleh Jokowi bisa dijadikan partner yang baik dalam hal mengelola urusan politik, keamanan dan hukum. Dan bukan tidak mungkin keduanya akan terus bekerjasama di Pemilu 2019. Moeldoko, jelas punya syarat semuanya, dan hal ini meyakini bahwa ia adalah sosok paling berpeluang menggantikan Menteri Tedjo Adhi Purdijanto.
[ bbcom / inrev ]