Industri Dana Pensiun Mati Suri dengan Munculnya BPJS-TK

BLOKBERITA -- Kehadiran BPJS-TK (Ketenagakerjaan) menjadi ancaman serius bagi industri dana pensiun. Bagi sebagian orang, status pensiun menjadi momok yang menakutkan. Rutinitas bekerja sudah lepas dan pendapatan mulai berkurang. Tapi itu cerita dulu. Kini, dengan hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dana pensiun yang dulu hanya bisa dinikmati oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan perusahaan besar sudah bisa dirasakan pula oleh seluruh pekerja di Tanah Air.

Bagi pekerja, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan tentu sangat menguntungkan. Cuma, bagi para bos, kehadiran lembaga baru ini justru menjadi beban tambahan. Sebab, dari 8% iuran BPJS Ketenagakerjaan yang harus dibayar karyawan, 5% di antaranya dibebankan kepada perusahaan. Padahal, saat ini perusahaan juga harus menanggung iuran program jaminan hari tua, kematian, dan jaminan kecelakaan kerja sebesar 14,24% - 16,74% dari gaji karyawan.

Itu belum termasuk kewajiban menanggung iuran BPJS Kesehatan, pajak penghasilan (PPh) karyawan, dan lain sebagainya. Jadi, bisa dibayangkan, betapa beratnya beban perusahaan jika harus menanggung sebagian iuran BPJS Ketenagakerjaan. Makanya,  dengan alasan belum siap, sejumlah pengusaha meminta agar program BPJS Ketenagakerjaan ditunda.

Ada pula yang mengusulkan supaya iuran diturunkan menjadi di bawah 2%. Yang cukup mengejutkan, Kementerian Keuangan pun mengusulkan agar iuran BPJS Ketenagakerjaan tak lebih dari 3%.

Tak hanya bagi pemberi kerja, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan juga menjadi ancaman serius bagi industri Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Ada kekhawatiran, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan akan menggerus pasar DPLK.

Kekhawatiran DPLK semakin bertambah jika iuran BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan 8%. Soalnya, tak cuma program Jaminan Hari Tua (JHT) yang bakal terancam, melainkan juga program pensiun untuk kompensasi pesangon (PPUKP). Padahal, kabarnya progam baru ini digadang-gadang bakal menjadi motor penggerak industri DPLK.

Sebagai gambaran, sampai akhir tahun lalu, total dana kelolaan PPUKP di DPLK mencapai Rp 3 triliun, atau setara 8,5% dari total aset DPLK yang mencapai Rp 35 triliun. Sampai saat ini baru 10 DPLK yang menawarkan PPUKP. Salah satu dana pensiun yang kecipratan untung dari PPUKP adalah DPLK Mandiri. Berkat program baru ini, pada kuartal I - 2015, dana kelolaan DPLK Mandiri mencapai Rp 3,63 triliun.

Namun lumbung baru bagi DPLK itu kini terancam oleh kehadiran BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, beban perusahaan akan semakin berat jika dipaksa membayar iuran pensiun sebesar 8%.

Jika banyak pihak menginginkan agar iuran BPJS Ketenagakerjaan diturunkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tetap ngotot di angka 8%. Angka ini pula yang dipegang BPJS Ketenagakerjaan.

[ bbcom / Inrev ]
anReview.com -- Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan menjadi ancaman serius bagi industri dana pensiun.
Bagi sebagian orang, status pensiun menjadi momok yang menakutkan. Rutinitas bekerja sudah lepas dan pendapatan mulai berkurang. Tapi itu cerita dulu. Kini, dengan hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dana pensiun yang dulu hanya bisa dinikmati oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan perusahaan besar sudah bisa dirasakan pula oleh seluruh pekerja di Tanah Air.
Bagi pekerja, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan tentu sangat menguntungkan. Cuma, bagi para bos, kehadiran lembaga baru ini justru menjadi beban tambahan. Sebab, dari 8% iuran BPJS Ketenagakerjaan yang harus dibayar karyawan, 5% di antaranya dibebankan kepada perusahaan. Padahal, saat ini perusahaan juga harus menanggung iuran program jaminan hari tua, kematian, dan jaminan kecelakaan kerja sebesar 14,24% - 16,74% dari gaji karyawan.
Itu belum termasuk kewajiban menanggung iuran BPJS Kesehatan, pajak penghasilan (PPh) karyawan, dan lain sebagainya. Jadi, bisa dibayangkan, betapa beratnya beban perusahaan jika harus menanggung sebagian iuran BPJS Ketenagakerjaan. Makanya,  dengan alasan belum siap, sejumlah pengusaha meminta agar program BPJS Ketenagakerjaan ditunda.
Ada pula yang mengusulkan supaya iuran diturunkan menjadi di bawah 2%. Yang cukup mengejutkan, Kementerian Keuangan pun mengusulkan agar iuran BPJS Ketenagakerjaan tak lebih dari 3%.
Tak hanya bagi pemberi kerja, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan juga menjadi ancaman serius bagi industri Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Ada kekhawatiran, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan akan menggerus pasar DPLK.
Kekhawatiran DPLK semakin bertambah jika iuran BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan 8%. Soalnya, tak cuma program Jaminan Hari Tua (JHT) yang bakal terancam, melainkan juga program pensiun untuk kompensasi pesangon (PPUKP). Padahal, kabarnya progam baru ini digadang-gadang bakal menjadi motor penggerak industri DPLK.
Sebagai gambaran, sampai akhir tahun lalu, total dana kelolaan PPUKP di DPLK mencapai Rp 3 triliun, atau setara 8,5% dari total aset DPLK yang mencapai Rp 35 triliun. Sampai saat ini baru 10 DPLK yang menawarkan PPUKP. Salah satu dana pensiun yang kecipratan untung dari PPUKP adalah DPLK Mandiri. Berkat program baru ini, pada kuartal I - 2015, dana kelolaan DPLK Mandiri mencapai Rp 3,63 triliun.
Namun lumbung baru bagi DPLK itu kini terancam oleh kehadiran BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, beban perusahaan akan semakin berat jika dipaksa membayar iuran pensiun sebesar 8%.
Jika banyak pihak menginginkan agar iuran BPJS Ketenagakerjaan diturunkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tetap ngotot di angka 8%. Angka ini pula yang dipegang BPJS Ketenagakerjaan.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/ancaman-bpjs#sthash.lo04lrGl.dpuf
View

Related

NASIONAL 140971695891885847

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item