Inilah Ashin Wirathu, Bhiksu Gila Dalang Pengusiran Etnis Muslim Rohingya !

https://kabar22.blogspot.com/2015/05/inilah-ashin-wirathu-bhiksu-gila-dalang.html
NAYPYIDAW, BLOKBERITA -- Ribuan orang Rohingya terdiskriminasi dan
memilih kabur dari tempat asal mereka di Myanmar. Nasib mereka
mengenaskan karena ditindas dan dikucilkan di negeri bermayoritas Buddha
tersebut.
Etnis Rohingya yang mayoritas Muslim memilih mati di negeri orang ketimbang bertahan di negara junta militer tersebut. Hal itu karena permasalahan yang terjadi dari tahun ke tahun dengan mayoritas masyarakat di Myanmar.
Kepergian mereka juga dipicu oleh seorang biksu Buddha yang menjadi dalang di balik neraka bagi kaum Rohingya. Biksu bernama Ashin Wirathu itu menyebarkan kebencian ke tengah masyarakat Myanmar.
Ashin menanamkan ketakutan kepada masyarakat Buddha di Myanmar bahwa suatu saat kelompok Muslim minoritas akan menguasai negara yang dulu dikenal dengan nama Burma itu. Seperti dilansir BBC, kemunculan Ashin Wirathu tepat 10 tahun lalu. Biksu dari daerah Mandalay kelahiran 1968 itu putus sekolah pada usia 14 tahun. Setelah itu, dia memutuskan untuk menjadi biksu.
Nama Ashin Wirathu pun mencuat setelah dia terlibat dalam kelompok ekstremis anti-Muslim '969' pada 2001. Karena aksinya, pada 2003 dia dihukum 25 tahun penjara. Namun, pada 2010 dia sudah dibebaskan bersama dengan tahanan politik lainnya.
Setelah peraturan pemerintah Myanmar melonggar, Ashin Wirathu semakin aktif bersuara di media sosial. Ashin menyebarkan pesan melalui rekaman ceramah yang diunggah di YouTube dan Facebook. Sampai saat ini, dia berhasil menjaring sekitar 37 ribu pengikut.
Disebut Anjing GilaMunculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah Myanmar, Burma, adalah gambaran sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya mendapatkan hak untuk hidup layak, tetapi malah diperlakukan dengan semena-mena dan tak manusiawi. Kebiadaban biksu Ahsin Wirathu yang mengusir etnis Rohingya dari Myanmar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terlebih, dirinya sering bersuara untuk mengajak pengikutnya agar memerangi kaum minoritas yang beragama Islam. Untuk diketahui jika kelompok etnis Rohingya merupakan kaum keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis 'Chittagonia' yang mayoritas tinggal di Bangladesh bagian tenggara. Adapun bangsa Burma sendiri adalah berasal dari rumpun 'Thai-Kadal', Austroasiatik, atau Sino-Tibetan.
Namun, permasalahan di Burma memiliki kebijakan yang berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari masyarakat Burma, bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi saat ini, dibantai sebagian, agar sebagian yang lainnya dapat mengungsi karena ketakutan.
Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal, pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad-abad sebelum Burma merdeka.
Penderitaan seperti ini kerap berangsur-angsur setiap tahunnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan, dengan adanya masalah Rohingya adalah timbulnya gemuruh dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
" Saat ini kita sudah tidak lagi melihat masalah ini sebagai lingkup nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional yang tersambung satu sama lain. Persoalan manusia sejatinya tidak boleh dibatasi sekat-sekat administrasi teritori," tuturnya melalui pesan singkat, Sabtu (23/5).
Lebih lanjut, Maneger khawatir jika permasalahan itu berdampak secara domino pada negara-negara tetangga khususnya Indonesia yang dahulu sempat dimayoritaskan umat Buddha. Adapun peranan Pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik etnis.
Sebelumnya, Wajah Ashin menghias cover depan majalah Time, dan diberi judul ’The Face of Buddhist Terror’. Majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS) juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Osama Bin Laden versi Burma.
Dalam kutipanya di Time, Rabu (20/5) lalu, Ashin menyatakan jika 'Sekarang bukan saatnya untuk diam' Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.
Sosok Ashin itu tak hanya menarik minat Time saja, the Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya.
" Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila!" papar Ashin.
Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada etnis Muslim Rohingya. Perawakannya yang tenang, pakaiannya yang sederhana, seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya. Ashin pria berkepala plontos pun tak segan-segan dengan keji menghabiskan nyawa manusia yang tak berdosa.
Aung San Suu Kyi Tak Perduli, Cabut Hadiah Nobelnya
Anggota DPR Aceh Iskandar Usman Al-Farlaky meminta lembaga internasional mencabut nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, karena tokoh oposisi itu dinilai tidak peka terhadap penderitaan muslim Rohingya yang diusir dari Myanmar.
" Kita mengkritik sikap Aung San Suu Kyi yang hanya diam melihat kekejaman Junta Militer Myanmar terhadap warga Rohingya," kata Iskandar menanggapi terdamparnya ratusan etnis Rohingya di Aceh, Jumat (23/5).
Iskandar juga mendesak Pemerintah Pusat mempercepat pembahasan dengan Myanmar, Thailand, dan Malaysia terkait nasib pengungsi Rohingya.
" Indonesia harus bisa menekan PBB dan Myanmar agar segera mengambil langkah konkrit mencegah arus pengungsian Rohingya. Kita juga harus mengetahui detail jika ada indikasi lain terkait arus migrasi ini termasuk soal warga Bangladesh yang kebanyak mencari kerja," ujarnya.
Namun sebelum memulangkan mereka juga diperlukan pemulihan kesehatan pengungsi tersebut terlebih dahulu. Karenanya, Iskandar mendesak Pemerintah Pusat untuk segera bertindak.
" Aceh sudah melakukan langkah kemanusian terbaik dengan menampung, membantu serta memfasilitasi pengungsi di penampungan. Ini langkah yang luar biasa sebagai solidaritas kemanusiaan dan wujud kecintaan sesama muslim," kata mantan aktivis mahasiswa ini.
Iskandar berpendapat, tidak ada langkah lain yang harus ditempuh selain menekan Myanmar mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara. Jika tidak, maka arus pengungsian akan terus terjadi dan kehidupan mereka akan terus terancam, sementara negara yang membantu mereka bersifat sementara.
Politisi Partai Aceh ini menambahkan, sejak beberapa tahun terakhir Aceh yang merupakan sebuah provinsi paling ujung di Pulau Sumatera menjadi tempat persinggahan Rohingya setelah terombang ambing di laut lepas.
" Aceh sudah berbuat maksimal untuk menyelematkan para imigran tersebut. Untuk itu dunia internasional harus segera mengambil tindakan serius terutama menekan masing-masing negara asal imigran agar menyelesaikan akar masalah yang menyebabkan warganya terusir dari tanahnya sendiri," katanya.
[ bmw / bbc / afp / rol ]
Etnis Rohingya yang mayoritas Muslim memilih mati di negeri orang ketimbang bertahan di negara junta militer tersebut. Hal itu karena permasalahan yang terjadi dari tahun ke tahun dengan mayoritas masyarakat di Myanmar.
Kepergian mereka juga dipicu oleh seorang biksu Buddha yang menjadi dalang di balik neraka bagi kaum Rohingya. Biksu bernama Ashin Wirathu itu menyebarkan kebencian ke tengah masyarakat Myanmar.
Ashin menanamkan ketakutan kepada masyarakat Buddha di Myanmar bahwa suatu saat kelompok Muslim minoritas akan menguasai negara yang dulu dikenal dengan nama Burma itu. Seperti dilansir BBC, kemunculan Ashin Wirathu tepat 10 tahun lalu. Biksu dari daerah Mandalay kelahiran 1968 itu putus sekolah pada usia 14 tahun. Setelah itu, dia memutuskan untuk menjadi biksu.
Nama Ashin Wirathu pun mencuat setelah dia terlibat dalam kelompok ekstremis anti-Muslim '969' pada 2001. Karena aksinya, pada 2003 dia dihukum 25 tahun penjara. Namun, pada 2010 dia sudah dibebaskan bersama dengan tahanan politik lainnya.
Setelah peraturan pemerintah Myanmar melonggar, Ashin Wirathu semakin aktif bersuara di media sosial. Ashin menyebarkan pesan melalui rekaman ceramah yang diunggah di YouTube dan Facebook. Sampai saat ini, dia berhasil menjaring sekitar 37 ribu pengikut.
Disebut Anjing GilaMunculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah Myanmar, Burma, adalah gambaran sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya mendapatkan hak untuk hidup layak, tetapi malah diperlakukan dengan semena-mena dan tak manusiawi. Kebiadaban biksu Ahsin Wirathu yang mengusir etnis Rohingya dari Myanmar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terlebih, dirinya sering bersuara untuk mengajak pengikutnya agar memerangi kaum minoritas yang beragama Islam. Untuk diketahui jika kelompok etnis Rohingya merupakan kaum keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis 'Chittagonia' yang mayoritas tinggal di Bangladesh bagian tenggara. Adapun bangsa Burma sendiri adalah berasal dari rumpun 'Thai-Kadal', Austroasiatik, atau Sino-Tibetan.
Namun, permasalahan di Burma memiliki kebijakan yang berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari masyarakat Burma, bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi saat ini, dibantai sebagian, agar sebagian yang lainnya dapat mengungsi karena ketakutan.
Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal, pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad-abad sebelum Burma merdeka.
Penderitaan seperti ini kerap berangsur-angsur setiap tahunnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan, dengan adanya masalah Rohingya adalah timbulnya gemuruh dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
" Saat ini kita sudah tidak lagi melihat masalah ini sebagai lingkup nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional yang tersambung satu sama lain. Persoalan manusia sejatinya tidak boleh dibatasi sekat-sekat administrasi teritori," tuturnya melalui pesan singkat, Sabtu (23/5).
Lebih lanjut, Maneger khawatir jika permasalahan itu berdampak secara domino pada negara-negara tetangga khususnya Indonesia yang dahulu sempat dimayoritaskan umat Buddha. Adapun peranan Pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik etnis.
Sebelumnya, Wajah Ashin menghias cover depan majalah Time, dan diberi judul ’The Face of Buddhist Terror’. Majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS) juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Osama Bin Laden versi Burma.
Dalam kutipanya di Time, Rabu (20/5) lalu, Ashin menyatakan jika 'Sekarang bukan saatnya untuk diam' Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.
Sosok Ashin itu tak hanya menarik minat Time saja, the Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya.
" Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila!" papar Ashin.
Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada etnis Muslim Rohingya. Perawakannya yang tenang, pakaiannya yang sederhana, seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya. Ashin pria berkepala plontos pun tak segan-segan dengan keji menghabiskan nyawa manusia yang tak berdosa.
Aung San Suu Kyi Tak Perduli, Cabut Hadiah Nobelnya
Anggota DPR Aceh Iskandar Usman Al-Farlaky meminta lembaga internasional mencabut nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, karena tokoh oposisi itu dinilai tidak peka terhadap penderitaan muslim Rohingya yang diusir dari Myanmar.
" Kita mengkritik sikap Aung San Suu Kyi yang hanya diam melihat kekejaman Junta Militer Myanmar terhadap warga Rohingya," kata Iskandar menanggapi terdamparnya ratusan etnis Rohingya di Aceh, Jumat (23/5).
Iskandar juga mendesak Pemerintah Pusat mempercepat pembahasan dengan Myanmar, Thailand, dan Malaysia terkait nasib pengungsi Rohingya.
" Indonesia harus bisa menekan PBB dan Myanmar agar segera mengambil langkah konkrit mencegah arus pengungsian Rohingya. Kita juga harus mengetahui detail jika ada indikasi lain terkait arus migrasi ini termasuk soal warga Bangladesh yang kebanyak mencari kerja," ujarnya.
Namun sebelum memulangkan mereka juga diperlukan pemulihan kesehatan pengungsi tersebut terlebih dahulu. Karenanya, Iskandar mendesak Pemerintah Pusat untuk segera bertindak.
" Aceh sudah melakukan langkah kemanusian terbaik dengan menampung, membantu serta memfasilitasi pengungsi di penampungan. Ini langkah yang luar biasa sebagai solidaritas kemanusiaan dan wujud kecintaan sesama muslim," kata mantan aktivis mahasiswa ini.
Iskandar berpendapat, tidak ada langkah lain yang harus ditempuh selain menekan Myanmar mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara. Jika tidak, maka arus pengungsian akan terus terjadi dan kehidupan mereka akan terus terancam, sementara negara yang membantu mereka bersifat sementara.
Politisi Partai Aceh ini menambahkan, sejak beberapa tahun terakhir Aceh yang merupakan sebuah provinsi paling ujung di Pulau Sumatera menjadi tempat persinggahan Rohingya setelah terombang ambing di laut lepas.
" Aceh sudah berbuat maksimal untuk menyelematkan para imigran tersebut. Untuk itu dunia internasional harus segera mengambil tindakan serius terutama menekan masing-masing negara asal imigran agar menyelesaikan akar masalah yang menyebabkan warganya terusir dari tanahnya sendiri," katanya.
[ bmw / bbc / afp / rol ]