BPJS Kesehatan Masih Banyak Kelemahan dan Kekurangan

https://kabar22.blogspot.com/2015/05/bpjs-kesehatan-masih-banyak-kelemahan.html
Ketua Fraksi PPP MPR RI Irgan Chairul Mahfiz (kanan) bersama Ketua BPJS
Ketenagakerjaan, Abdul Latif Algaff, berbicara dalam Dialog Pilar Negara
"Implementasi BPJS" di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR, Jakarta
(Senin, 25/5).
JAKARTA, BLOKBERITA -- Program jaminan sosial kesehatan yang dilaksanakan BPJS belum berjalan optimal dan sesuai yang diharapkan. Faktanya jaminan sosial kesehatan yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, setelah satu tahun lebih beroperasi, belum berjalan sesuai harapan, masih banyak mengecewakan klien.
Dari sisi anggaran misalnya, berdasarkan ketentuan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, anggaran untuk BPJS sebesar 5% dari APBN. Namun, kenyataannya anggaran yang dimasukkan pemerintah ke APBN kurang dari 2% (tepatnya 1,9%) atau sekitar Rp 40 trliun dari seharusnya Rp 100 triliun lebih.
" Anggarannya masih jauh dari amanat konstitusi," ujar Ketua Fraksi PPP MPR RI Irgan Chairul Mahfiz dalam Dialog Pilar Negara di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR, Jakarta (Senin, 25/5). Itu dari segi anggaran.
Dari segi pelayanan, menurut Irgan, juga masih banyak kekurangan dan kelemahan. Seperti keterbatasan ruang rumah sakit, dokter dan perawat kurang, obatan-obatan masih terbatas, dan sebagainya. Semua ini, kata Irgan, harus menjadi perhatian pemerintah.
Bukan hanya itu, penerapan sistem rujukan juga berjalan kurang efektif. Kadang antara Puskesmas pemberi rujukan dengan rumah sakit tujuan jaraknya terlalu jauh. Juga menjadi persoalan, kadang rujukan diberikan ke rumah sakit yang sudah populer, misalnya RS Cipto Mangunkusumo, sehingga pasien menumpuk di sana, sementara ada rumah sakit yang juga peserta BPJS masih sepi pasien. Maka, menurut Irgan, perlu ada informasi mengenai rumah sakit yang masih sepi pasien.
Irgan juga melihatkan rumah sakit yang menjadi peserta BPJS ini umumnya rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menengah ke bawah. Sementara rumah sakit swasta yang besar belum mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Maka, Irgan mengusulkan, harus ada formulasi yang mewajibkan rumah sakit swasta besar untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Kalau seluruh rumah sakit, baik pemerintah dan swasta, bekerjasama dengan BPJS, maka persoalan ruang perawatan bisa teratasi.
Ke depan, Irgan berharap, pelayan kesehatan untuk peserta jaminan sosial kesehatan semakin membaik. Tidak boleh ada lagi pelayanan yang terlambat, obatan-obatan lebih murah, konsultasi dokter tak lagi seadanya, dan semua harus berjalan sesuai standar.
Jadi, " Pelayanan terhadap peserta BPJS dan bukan peserta BPJS harus sama, tidak boleh berbeda," harap Irgan. Dan anggaran yang disediakan untuk BPJS tentunya harus sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2011, yaitu 5% dari APBN.
Sementara Abdul Latif Algaff, Ketua BPJS Ketenagakerjaan, yang berbicara selaku pengamat jaminan sosial kesehatan menyatakan, keberhasilan jaminan sosial kesehatan sangat tergantung komitmen pemerintah. Disamping itu faktor anggaran juga sangat menentukan.
" Hal-hal yang harus diperhatikan oleh BPJS kesehatan adalah ketersediaan anggaran yang berkelanjutan dalam jangka panjang serta kapasitas kelembagaan yang memadai. Jaminan sosial kesehatan ini sebenarnya untuk mengatasi kegagalan pasar, maka pemerintah harus memenuhi anggaran BPJS sesuai amanat undang-undang," papar Latif.
Lebih lanjut Latif menjelaskan bahwa indikator keberhasilan BPJS kesehatan tidak hanya dilihat dari akses pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia tapi juga biaya kesehatan dan harga obat yang murah tapi majas.
" Adalah sangat aneh, jika pemerintah begitu mudah merealisasi kebutuhan modal BUMN besar, padahal BUMN besar bisa membiayai dirinya sendiri. Sedangkan yang perlu dibantu adalah jaminan sosial kesehatan," imbuhnya.
[ hbd / rmol ]
JAKARTA, BLOKBERITA -- Program jaminan sosial kesehatan yang dilaksanakan BPJS belum berjalan optimal dan sesuai yang diharapkan. Faktanya jaminan sosial kesehatan yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, setelah satu tahun lebih beroperasi, belum berjalan sesuai harapan, masih banyak mengecewakan klien.
Dari sisi anggaran misalnya, berdasarkan ketentuan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, anggaran untuk BPJS sebesar 5% dari APBN. Namun, kenyataannya anggaran yang dimasukkan pemerintah ke APBN kurang dari 2% (tepatnya 1,9%) atau sekitar Rp 40 trliun dari seharusnya Rp 100 triliun lebih.
" Anggarannya masih jauh dari amanat konstitusi," ujar Ketua Fraksi PPP MPR RI Irgan Chairul Mahfiz dalam Dialog Pilar Negara di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR, Jakarta (Senin, 25/5). Itu dari segi anggaran.
Dari segi pelayanan, menurut Irgan, juga masih banyak kekurangan dan kelemahan. Seperti keterbatasan ruang rumah sakit, dokter dan perawat kurang, obatan-obatan masih terbatas, dan sebagainya. Semua ini, kata Irgan, harus menjadi perhatian pemerintah.
Bukan hanya itu, penerapan sistem rujukan juga berjalan kurang efektif. Kadang antara Puskesmas pemberi rujukan dengan rumah sakit tujuan jaraknya terlalu jauh. Juga menjadi persoalan, kadang rujukan diberikan ke rumah sakit yang sudah populer, misalnya RS Cipto Mangunkusumo, sehingga pasien menumpuk di sana, sementara ada rumah sakit yang juga peserta BPJS masih sepi pasien. Maka, menurut Irgan, perlu ada informasi mengenai rumah sakit yang masih sepi pasien.
Irgan juga melihatkan rumah sakit yang menjadi peserta BPJS ini umumnya rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menengah ke bawah. Sementara rumah sakit swasta yang besar belum mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Maka, Irgan mengusulkan, harus ada formulasi yang mewajibkan rumah sakit swasta besar untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Kalau seluruh rumah sakit, baik pemerintah dan swasta, bekerjasama dengan BPJS, maka persoalan ruang perawatan bisa teratasi.
Ke depan, Irgan berharap, pelayan kesehatan untuk peserta jaminan sosial kesehatan semakin membaik. Tidak boleh ada lagi pelayanan yang terlambat, obatan-obatan lebih murah, konsultasi dokter tak lagi seadanya, dan semua harus berjalan sesuai standar.
Jadi, " Pelayanan terhadap peserta BPJS dan bukan peserta BPJS harus sama, tidak boleh berbeda," harap Irgan. Dan anggaran yang disediakan untuk BPJS tentunya harus sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2011, yaitu 5% dari APBN.
Sementara Abdul Latif Algaff, Ketua BPJS Ketenagakerjaan, yang berbicara selaku pengamat jaminan sosial kesehatan menyatakan, keberhasilan jaminan sosial kesehatan sangat tergantung komitmen pemerintah. Disamping itu faktor anggaran juga sangat menentukan.
" Hal-hal yang harus diperhatikan oleh BPJS kesehatan adalah ketersediaan anggaran yang berkelanjutan dalam jangka panjang serta kapasitas kelembagaan yang memadai. Jaminan sosial kesehatan ini sebenarnya untuk mengatasi kegagalan pasar, maka pemerintah harus memenuhi anggaran BPJS sesuai amanat undang-undang," papar Latif.
Lebih lanjut Latif menjelaskan bahwa indikator keberhasilan BPJS kesehatan tidak hanya dilihat dari akses pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia tapi juga biaya kesehatan dan harga obat yang murah tapi majas.
" Adalah sangat aneh, jika pemerintah begitu mudah merealisasi kebutuhan modal BUMN besar, padahal BUMN besar bisa membiayai dirinya sendiri. Sedangkan yang perlu dibantu adalah jaminan sosial kesehatan," imbuhnya.
[ hbd / rmol ]