Artidjo Pensiun, Napi Koruptor Ramai-ramai Ajukan PK

BLOKBERITA -- Hakim Agung Artidjo Alkostar akan pensiun secara resmi dari dunia penindakan hukum pada 1 Juni 2018 mendatang. Ia pensiun mengingat usianya yang telah mencapai 70 tahun.
Setelah Artidjo mengumumkan pensiun, para koruptor mulai mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hingga kini tercatat ada dua terpidana korupsi yang mengajukan PK, yakni mantan ketua DPP Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. 

Anas Urbaningrum tidak terima dihukum selama 14 tahun penjara karena korupsi Hambalang dan pencucian uang. Hukuman itu dijatuhkan setelah kasasi Anas ditolak. Majelis hakim yang memutus kasasi Anas ketika itu diketuai oleh Artidjo.
"Saya merasa berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti yang terungkap di persidangan, putusan yang dijatuhkan kepada saya itu jauh dari keadilan. Nah karena itu, sekarang lah kesempatan untuk mengajukan PK itu," kata Anas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/5).
Anas juga menyediakan novum atau bukti baru dalam pengajuan PK itu. Novum yang diajukan Anas adalah keterangan dari tiga orang yang dianggap bisa mengklarifikasi kasus hukum ditudingkan kepadanya. Ketiga saksi tersebut adalah Yulianis, Marisi Matondang, dan Teuku Bagus Mohammad Noor. 

"Ada bukti tertulis yang menyatakan mendukung PK pemohon yaitu berasal dari Yulianis, Marisi Matondang, serta Teuku Bagus," ujar kuasa hukum Anas pada saat bersamaan.
Yulianis dan Marisi adalah mantan anak buah eks Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin. Marisi saat ini berstatus terpidana kasus korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana. Ia divonis tiga tahun penjara atas perbuatannya. Sementara Teuku Bagus adalah mantan petinggi PT Adhi Karya. Ia adalah terpidana kasus korupsi Hambalang.
Menurut pengacara, keterangan ketiga orang tadi sudah dituangkan secara tertulis. Namun kemudian majelis hakim yang dipimpin hakim Sumpeno meminta ketiga orang tersebut dapat dihadirkan pula dalam agenda persidangan selanjutnya. Atas permintaan hakim, pihak pengacara Anas siap memenuhinya. 


Dalam sidang PK tersebut, Anas yang menjadi terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat itu juga meminta agar pencabutan hak politiknya dibatalkan.
"Pencabutan hak untuk dipilih jabatan publik dianulir, karena untuk dapat jabatan tergantung publik atau rakyat sendiri sesuai dengan prinsip demokrasi. Untuk memilih jabatan publik harus dikembalikan ke publik apakah layak atau tidak layak dipilih publik, seharusnya majelis hakim tidak mencabut hak dipilih/memilih dalam jabatan publik," imbuh salah satu kuasa hukum Anas.
Namun, Juru Bicara KPK Febri Diansyah meyakini PK Anas akan ditolak oleh pengadilan. Menurutnya tak ada bukti baru yang diajukan Anas.
"Kalau kami yakin proses pembuktian sudah dilakukan secara berlapis kemarin, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai dengan Mahkamah Agung dan putusannya juga sudah diputuskan, dan berkekuatan hukum," ucap Febri.
Anas beralasan, PK tersebut ia ajukan karena keputusan yang dikeluarkan Artidjo dalam kasusnya itu tidak kredibel. "Kalau Pak Artidjo mengerti persis, saya yakin Pak Artidjo akan menyesal dengan putusannya itu. Tetapi apapun, saya hormati putusan," kata dia.
Anas juga membantah rumor yang mengatakan ia mengajukan PK terkait dengan pensiunnya Artidjo dari dunia penegakkan hukum. "Oh tidak, tidak ada hubungannya," tutur Anas.
Ia menyebut karena Artidjo sudah menangani perkaranya pada saat kasasi, maka majelis hakim PK tidak akan ditangani kembali oleh Artidjo.
Sehingga ia menegaskan pengajuan PK tersebut ada hubungannya dengan pensiunnya Artidjo. "Karena Pak Artidjo sudah pegang kasasi, jadi tidak boleh lagi (jadi hakim PK). Majelis hakim kasasi menjadi majelis hakim PK, tidak boleh lagi," tuturnya.
Sementara itu, Artidjo menolak memberikan komentarnya terkait pengajuan PK Anas. "Saya kira yang itu tidak perlu saya jawab, karena etika daripada hakim itu sangat ketat. Tidak boleh mengomentari perkara yang akan berproses atau telah saya tangani. Tidak boleh. Itu kode etiknya jelas," ujar Artidjo, saat jumpa pers dengan wartawan di Media Center MA, Jakarta, Jumat (25/5).
Selain anas, Siti Fadilah Supari juga turut mengajukan PK. Siti mengajukan PK terhadap vonis hukuman empat tahun penjara yang diterimanya dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan pada 2005 dan 2007. 


Selain hukuman penjara, Siti juga dijatuhi kewajiban membayar denda senilai Rp 200 juta subsidair 2 bulan kurungan. Siti pun diwajibkan membayar sisa uang pengganti sebesar Rp 550 juta, yang jika tidak dibayarkan akan diganti kurungan selama 6 bulan. Siti diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp 6,1 miliar.
Siti diketahui mengajukan permohonan tersebut pada 15 Mei lalu. Hal tersebut dikonfirmasi oleh juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jamaludin Samosir. "Iya benar. Sidangnya akan digelar perdana pada tanggal 31 Mei mendatang. Hakim ketuanya Pak Sumpeno," ucap Jamaludin.
Sehubungan pengajuan PK dari kedua terpidana tersebut, Mahkamah Agung pun angkat bicara. Menurut Juru Bicara MA Suhadi pengajuan PK terpidana bukan buntut dari mundurnya Artidjo sebagai hakim Agung.
"Ya enggak masalah nanti diproses sesuai aturan yang berlaku. Yang jelas itu enggak pengaruh ada atau tidaknya Pak Artidjo," jelas Suhadi.
Khusus untuk perkara Anas, Suhadi menjelaskan Artidjo sudah tidak memiliki kapasitas untuk mengadilinya kembali. Hal itu mengingat Artidjo telah memutus perkara Anas dalam tingkat kasasi sebelumnya.
"Lagipula walaupun Pak Artidjo ada PK-nya Pak Anas itu enggak bisa dipegang Pak Artidjo lagi. Karena kalau sudah megang kasasi, sudah enggak boleh lagi. Seorang hakim tidak boleh mengadili perkara dua kali," jelasnya.
Kendati demikian, Suhadi menyebut PK merupakan langkah hukum yang sah-sah saja dilakukan oleh setiap terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak ada aturan yang melarang bagi seorang terpidana untuk tidak mengajukan PK.
"Kalau mau mengajukan PK kan enggak masalah ya. Kalau PK kan haknya setiap orang yang sudah berkekuatan hukum tetap keputusannya, diberikan kesempatan oleh ketentuan undang-undang untuk mengajukan PK, itu hak tidak dibatasi waktu, kapan diajukan silahkan saja," ucap Suhadi. 

[ bin /kumparan / jurnalpolitik ]
View

Related

OPINI 1925047916636938908

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item