Pro-Kontra Status Hukum Ahok Kembali Jabat Kursi Gubernur DKI
https://kabar22.blogspot.com/2017/02/pro-kontra-status-hukum-ahok-kembali.html
BLOKBERITA, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memastikan bahwa Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok akan kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada akhir
pekan ini. Sebab, masa kampanye Pilkada DKI Jakarta akan berakhir pada
Sabtu (11/2/2017). Dengan demikian, masa cuti Basuki habis pada esok hari.
" Besok tanggal 11 Februari, masa kampanyenya habis. Plt (pelaksana tugas) harus sudah menyerahkan kembali ke Pak Ahok melaksanakan tugas sebagai gubernur sampai masa berakhir jabatannya nanti," ujar Tjahjo di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri (Kdh KLN) DKI Jakarta Muhammad Mawardi menjelaskan pada hari itu, Ahok dengan Djarot sudah menyelesaikan cutinya untuk mengikuti kampanye pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Oleh karena itu, prosesi serah terima jabatan dari Pelaksana Tugas Sumarsono kepada Ahok-Djarot akan dilakukan pada Sabtu sore.
" Betul (sertijab Sumarsono dengan Ahok-Djarot) rencana pukul 15.30 WIB. Rencananya di Balai Agung," kata Mawardi, kepada Kompas.com, Rabu (8/2/2017).
Sumarsono akan menyerahkan buku selama masa kepemimpinannya di Jakarta kepada Ahok. Selain itu, akan ada, pejabat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI Jakarta yang menghadiri acara tersebut.
Menunggu Tuntutan
Tentang status Ahok yang merupakan terdakwa perkara dugaan penodaan agama dan masih menjalani masa sidang, Tjahjo menegaskan, dirinya tetap tidak dapat memberhentikan sementara Ahok. Hal tersebut lantaran Ahok hanya diancam hukuman di bawah lima tahun.
" Jadi, saya harus adil sebagaimana teman-teman pejabat yang lain yang kasusnya di bawah lima tahun. Sepanjang dia tidak ditahan, ya dia tetap menjabat," ujar Tjahjo.
Oleh karena itu, Mendagri akan menunggu proses di peradilan sampai pada tahap penuntutan.
" Sekarang dia saya berhentikan, enggak tahunya jaksa menuntut empat tahun, saya digugat. Makanya, saya harus adil, dong," imbuhnya.
Ketua DPR Tentang Status Hukum Ahok
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto tidak berkomentar banyak mengenai status terdakwa dan jabatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Novanto memercayakan persoalan tersebut kepada pemerintah.
Masa kampanye Pilkada DKI 2017 telah berakhir pada Sabtu (11/2/2017) kemarin. Ahok akan kembali aktif menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Namun, sebagian pihak menilah sah atau tidaknya Ahok menjabat sebagai gubernur lagi diragukan. Hal itu karena Ahok saat ini berstatus terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
" Masalah itu kan kami serahkan sepenuhnya pada pemerintah untuk memilih mana yang terbaik. Saya percaya, saya apresiasi apa yang diputuskan pemerintah," ujar Novanto saat ditemui di Planet Hollywood Jakarta, Minggu (12/2/2017).
Menurut Novanto, apa pun yang diputuskan pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kementerian Dalam Negeri, pasti telah melalui pertimbangan dan evaluasi secara matang. Ia pun akan mendukung semua keputusan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus dihentikan sementara. Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun.
Saat ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Ahok akan kembali dinonaktifkan jika tuntutan hukumannya lebih dari lima tahun. Namun, jika kurang dari lima tahun, Ahok akan tetap menjabat sebagai Gubernur DKI.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, Ahok akan diberhentikan sementara dengan menggunakan keputusan presiden jika dituntut di atas lima tahun.
Setelah Kemendagri memperoleh surat resmi terkait tuntutan jaksa terhadap Ahok, biro hukum Kemendagri akan langsung memproses dokumen ke presiden.
Setelah keputusan presiden keluar, Ahok resmi diberhentikan sementara.
Prof Denny Indrayana Tentang Status Hukum Ahok
Permisi, soal pemberhentian sementara Ahok, dalam pandangan saya, berkait erat dengan soal hukum tata negara, HAN dan, jangan lupa, pidana.
Pasal 83 ayat (1) UU Pemda sudah dibahas berulang-ulang. Di dalamnya paling tidak timbul dua masalah, satu, kapan pemberhentian sementara Ahok dilakukan. Kemendagri menunggu tuntutan. Saya tidak sependapat. Seharusnya cukup pada saat status Ahok menjadi terdakwa. Tentang masalah waktu ini, Pasal 83 ayat (2) sebenarnya sudah jelas dengan mengatur pemberhentian sementara dilakukan dengan berdasarkan "register perkara di pengadilan".
Masalah yang kedua, apa tindakan pidana dan perbuatan lain yang dapat menyebabkan seorang kepala daerah diberhentikan sementara. Menurut pasal 183 ayat (1) jelas ada 6 (enam) yaitu:
1) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,
2) tindak pidana korupsi,
3) tindak pidana terorisme,
4) makar,
5) tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau
6) perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita tidak memperdebatkan tindak pidana yang ke-2 (korupsi) hingga 5 (keamanan negara).
Perbedaan di sini ada pada apakah dakwaan Ahok masuk kriteria yang ke-1 dan/atau ke-6, yaitu tindak pidana penjara paling singkat 5 tahun dan/atau perbuatan lain yang memecah belah NKRI.
Untuk yang masalah lima tahun, karena ini sangat pidana, saya tanyakan ke Guru Besar Pidana, Prof. Eddy, dan dia berpandangan, dakwaan Ahok masuk klasifikasi ini. Kami berpandangan sama, kecuali misalnya Ahok dakwaan semuanya maksimal di bawah lima tahun, atau misalnya UU Pemda mengatur pemberhentian hanya untuk pidana 6 tahun ke atas, maka barulah Ahok tidak terkena ketentuan Paling Sedikit 5 tahun itu. Faktanya, dakwaan Ahok ada yang paling lama 5 tahun, sehingga masuk irisan di angka 5 tahun yang diatur UU Pemda.
Satu hal lagi, yang menarik dalam UU Pemda untuk kategori ke-6 tidak disebutkan sebagai "tindak pidana" tetapi "perbuatan lain" yang menurut saya membuka ruang interpretasi yang lebih lebar dari sekedar tindak pidana.
Pertanyaannya apakah dugaan penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok adalah termasuk perbuatan yang dapat memecah belah NKRI? Saya merasa aneh, kalau dikatakan tidak. Afnan Malay dan beberapa kawan tentu akan berpandangan, yang memecah belah bukan Ahok, tetapi yang memanipulasi pidato Al Maidahnya. Fakta hukumnya Ahok terdakwa. Jangan salah, saya pribadi tidak merasa Ahok menodai agama sebagaimana didakwakan. Tetapi, terlepas dari pendapat saya atas kasus itu, sisi tata negaranya tetap harus dijalankan.
Contoh Ucenk/Zainal, bahwa meskipun kental kriminalisasi, para pimpinan KPK yang menjadi tersangka, tetap diberhentikan sementara adalah, contoh yang cerdas.
Kesimpulannya, saya berpendapat, Ahok silakan diaktifkan lagi dari cutinya sebagai Gubernur, tetapi harus segera diberhentikan sementara karena sudah menjadi terdakwa--tanpa harus menunggu sidang tuntutan, dan karena memenuhi kriteria pemberhentian sementara Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, khususnya kategori didakwa tindak pidana yang ancamannya bisa dihukum 5 tahun (baik paling sedikit ataupun paling lama), dan perbuatan lain yang memecah belah NKRI.
Ada yang bilang gubernur Jakarta di Plt-kan lagi. Keliru! (Masih boleh kan pake kata ini ??). Tidak perlu ada Plt, kan masih ada Wagub Djarot, yang bisa menjalankan tugas gubernur yang diberhentikan sementara.
Terakhir, saya ingin kembali tutup, soal ini sangat kental juga sisi pidananya. dari yang berdebat ini, Ucenk punya S1 skripsi pidana, saya dan Bang Refly S1 HTN dan terus menggeluti bidang itu sampai sekarang. Karena itu saya merasa penting bertanya ke Guru Besar Pidana Prof Eddy, yang pendapatnya jelas mengatakan Ahok harus diberhentikan sementara. Pendapat Prof Eddy itu saya share ke grup ini seizin ybs.
Demikian, semoga menjadi lebih clear pendapat dan argumen saya.
Pendapat Dosen ITB, Dr. Agus Syihabudin, MA
Telah kita saksikan melalui berbagai media masa bahwa Menteri Dalam Negeri telah mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI pada 11 Pebruari 2017 sekitar pukul 16.00.
Pengaktifan kembali Ahok ini telah melanggar dua ketentuan hukum, yakni:.
Pertama, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dari cuti kampanye sementara masa kampanye belum berakhir. KPU menetapkan masa kampanye Pilgub DKI sampai dengan 11 Pebruari 2017 (pukul 24.00 malam). Maka pengaktifan kembali Ahok itu terjadi di masa kampanye masih berlangsung karena masih tersisa sekitar 8 jam.
Yang kedua, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dengan melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2004. Undang-undang 23 tahun 2004 pasal 83 ayat 1 telah mengatur secara jelas bahwa Kepala Daerah wajib diberhentikan sementara karena 2 faktor, yaitu menjadi terdakwa dan diancam 5 tahun. Fakta menunjukkan bahwa Ahok telah menjadi terdakwa sejak Desember 2016 yang didakwa melanggar KUHP pasal 156 a sebagai dakwaan primer yang mengancam 5 tahun penjara. Maka, pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur telah melanggar Undang-undang.
Dengan demikian, Presiden telah melanggar sumpah jabatan yang harus menjalankan Undang-undang selurus-lurusnya. Presiden telah melanggar Konstitusi dan harus diberhentikan dari jabatannya karena negara akan hancur jika dipimpin dengan melanggar Undang-undang.
DPR wajib memakzulkan Presiden karena telah dengan sengaja dan sadar melanggar Konstitusi.
Sebagai garda terdepan konstitusi, TNI wajib medorong DPR untuk mengambil langkah-langkah pemakzulan Presiden.
[ mrbin / kmpscom / dan berbagai sumber ]
" Besok tanggal 11 Februari, masa kampanyenya habis. Plt (pelaksana tugas) harus sudah menyerahkan kembali ke Pak Ahok melaksanakan tugas sebagai gubernur sampai masa berakhir jabatannya nanti," ujar Tjahjo di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri (Kdh KLN) DKI Jakarta Muhammad Mawardi menjelaskan pada hari itu, Ahok dengan Djarot sudah menyelesaikan cutinya untuk mengikuti kampanye pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Oleh karena itu, prosesi serah terima jabatan dari Pelaksana Tugas Sumarsono kepada Ahok-Djarot akan dilakukan pada Sabtu sore.
" Betul (sertijab Sumarsono dengan Ahok-Djarot) rencana pukul 15.30 WIB. Rencananya di Balai Agung," kata Mawardi, kepada Kompas.com, Rabu (8/2/2017).
Sumarsono akan menyerahkan buku selama masa kepemimpinannya di Jakarta kepada Ahok. Selain itu, akan ada, pejabat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI Jakarta yang menghadiri acara tersebut.
Menunggu Tuntutan
Tentang status Ahok yang merupakan terdakwa perkara dugaan penodaan agama dan masih menjalani masa sidang, Tjahjo menegaskan, dirinya tetap tidak dapat memberhentikan sementara Ahok. Hal tersebut lantaran Ahok hanya diancam hukuman di bawah lima tahun.
" Jadi, saya harus adil sebagaimana teman-teman pejabat yang lain yang kasusnya di bawah lima tahun. Sepanjang dia tidak ditahan, ya dia tetap menjabat," ujar Tjahjo.
Oleh karena itu, Mendagri akan menunggu proses di peradilan sampai pada tahap penuntutan.
" Sekarang dia saya berhentikan, enggak tahunya jaksa menuntut empat tahun, saya digugat. Makanya, saya harus adil, dong," imbuhnya.
Ketua DPR Tentang Status Hukum Ahok
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto tidak berkomentar banyak mengenai status terdakwa dan jabatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Novanto memercayakan persoalan tersebut kepada pemerintah.
Masa kampanye Pilkada DKI 2017 telah berakhir pada Sabtu (11/2/2017) kemarin. Ahok akan kembali aktif menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Namun, sebagian pihak menilah sah atau tidaknya Ahok menjabat sebagai gubernur lagi diragukan. Hal itu karena Ahok saat ini berstatus terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
" Masalah itu kan kami serahkan sepenuhnya pada pemerintah untuk memilih mana yang terbaik. Saya percaya, saya apresiasi apa yang diputuskan pemerintah," ujar Novanto saat ditemui di Planet Hollywood Jakarta, Minggu (12/2/2017).
Menurut Novanto, apa pun yang diputuskan pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kementerian Dalam Negeri, pasti telah melalui pertimbangan dan evaluasi secara matang. Ia pun akan mendukung semua keputusan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus dihentikan sementara. Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun.
Saat ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Ahok akan kembali dinonaktifkan jika tuntutan hukumannya lebih dari lima tahun. Namun, jika kurang dari lima tahun, Ahok akan tetap menjabat sebagai Gubernur DKI.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, Ahok akan diberhentikan sementara dengan menggunakan keputusan presiden jika dituntut di atas lima tahun.
Setelah Kemendagri memperoleh surat resmi terkait tuntutan jaksa terhadap Ahok, biro hukum Kemendagri akan langsung memproses dokumen ke presiden.
Setelah keputusan presiden keluar, Ahok resmi diberhentikan sementara.
Prof Denny Indrayana Tentang Status Hukum Ahok
Permisi, soal pemberhentian sementara Ahok, dalam pandangan saya, berkait erat dengan soal hukum tata negara, HAN dan, jangan lupa, pidana.
Pasal 83 ayat (1) UU Pemda sudah dibahas berulang-ulang. Di dalamnya paling tidak timbul dua masalah, satu, kapan pemberhentian sementara Ahok dilakukan. Kemendagri menunggu tuntutan. Saya tidak sependapat. Seharusnya cukup pada saat status Ahok menjadi terdakwa. Tentang masalah waktu ini, Pasal 83 ayat (2) sebenarnya sudah jelas dengan mengatur pemberhentian sementara dilakukan dengan berdasarkan "register perkara di pengadilan".
Masalah yang kedua, apa tindakan pidana dan perbuatan lain yang dapat menyebabkan seorang kepala daerah diberhentikan sementara. Menurut pasal 183 ayat (1) jelas ada 6 (enam) yaitu:
1) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,
2) tindak pidana korupsi,
3) tindak pidana terorisme,
4) makar,
5) tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau
6) perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita tidak memperdebatkan tindak pidana yang ke-2 (korupsi) hingga 5 (keamanan negara).
Perbedaan di sini ada pada apakah dakwaan Ahok masuk kriteria yang ke-1 dan/atau ke-6, yaitu tindak pidana penjara paling singkat 5 tahun dan/atau perbuatan lain yang memecah belah NKRI.
Untuk yang masalah lima tahun, karena ini sangat pidana, saya tanyakan ke Guru Besar Pidana, Prof. Eddy, dan dia berpandangan, dakwaan Ahok masuk klasifikasi ini. Kami berpandangan sama, kecuali misalnya Ahok dakwaan semuanya maksimal di bawah lima tahun, atau misalnya UU Pemda mengatur pemberhentian hanya untuk pidana 6 tahun ke atas, maka barulah Ahok tidak terkena ketentuan Paling Sedikit 5 tahun itu. Faktanya, dakwaan Ahok ada yang paling lama 5 tahun, sehingga masuk irisan di angka 5 tahun yang diatur UU Pemda.
Satu hal lagi, yang menarik dalam UU Pemda untuk kategori ke-6 tidak disebutkan sebagai "tindak pidana" tetapi "perbuatan lain" yang menurut saya membuka ruang interpretasi yang lebih lebar dari sekedar tindak pidana.
Pertanyaannya apakah dugaan penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok adalah termasuk perbuatan yang dapat memecah belah NKRI? Saya merasa aneh, kalau dikatakan tidak. Afnan Malay dan beberapa kawan tentu akan berpandangan, yang memecah belah bukan Ahok, tetapi yang memanipulasi pidato Al Maidahnya. Fakta hukumnya Ahok terdakwa. Jangan salah, saya pribadi tidak merasa Ahok menodai agama sebagaimana didakwakan. Tetapi, terlepas dari pendapat saya atas kasus itu, sisi tata negaranya tetap harus dijalankan.
Contoh Ucenk/Zainal, bahwa meskipun kental kriminalisasi, para pimpinan KPK yang menjadi tersangka, tetap diberhentikan sementara adalah, contoh yang cerdas.
Kesimpulannya, saya berpendapat, Ahok silakan diaktifkan lagi dari cutinya sebagai Gubernur, tetapi harus segera diberhentikan sementara karena sudah menjadi terdakwa--tanpa harus menunggu sidang tuntutan, dan karena memenuhi kriteria pemberhentian sementara Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, khususnya kategori didakwa tindak pidana yang ancamannya bisa dihukum 5 tahun (baik paling sedikit ataupun paling lama), dan perbuatan lain yang memecah belah NKRI.
Ada yang bilang gubernur Jakarta di Plt-kan lagi. Keliru! (Masih boleh kan pake kata ini ??). Tidak perlu ada Plt, kan masih ada Wagub Djarot, yang bisa menjalankan tugas gubernur yang diberhentikan sementara.
Terakhir, saya ingin kembali tutup, soal ini sangat kental juga sisi pidananya. dari yang berdebat ini, Ucenk punya S1 skripsi pidana, saya dan Bang Refly S1 HTN dan terus menggeluti bidang itu sampai sekarang. Karena itu saya merasa penting bertanya ke Guru Besar Pidana Prof Eddy, yang pendapatnya jelas mengatakan Ahok harus diberhentikan sementara. Pendapat Prof Eddy itu saya share ke grup ini seizin ybs.
Demikian, semoga menjadi lebih clear pendapat dan argumen saya.
Pendapat Dosen ITB, Dr. Agus Syihabudin, MA
Telah kita saksikan melalui berbagai media masa bahwa Menteri Dalam Negeri telah mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI pada 11 Pebruari 2017 sekitar pukul 16.00.
Pengaktifan kembali Ahok ini telah melanggar dua ketentuan hukum, yakni:.
Pertama, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dari cuti kampanye sementara masa kampanye belum berakhir. KPU menetapkan masa kampanye Pilgub DKI sampai dengan 11 Pebruari 2017 (pukul 24.00 malam). Maka pengaktifan kembali Ahok itu terjadi di masa kampanye masih berlangsung karena masih tersisa sekitar 8 jam.
Yang kedua, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dengan melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2004. Undang-undang 23 tahun 2004 pasal 83 ayat 1 telah mengatur secara jelas bahwa Kepala Daerah wajib diberhentikan sementara karena 2 faktor, yaitu menjadi terdakwa dan diancam 5 tahun. Fakta menunjukkan bahwa Ahok telah menjadi terdakwa sejak Desember 2016 yang didakwa melanggar KUHP pasal 156 a sebagai dakwaan primer yang mengancam 5 tahun penjara. Maka, pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur telah melanggar Undang-undang.
Dengan demikian, Presiden telah melanggar sumpah jabatan yang harus menjalankan Undang-undang selurus-lurusnya. Presiden telah melanggar Konstitusi dan harus diberhentikan dari jabatannya karena negara akan hancur jika dipimpin dengan melanggar Undang-undang.
DPR wajib memakzulkan Presiden karena telah dengan sengaja dan sadar melanggar Konstitusi.
Sebagai garda terdepan konstitusi, TNI wajib medorong DPR untuk mengambil langkah-langkah pemakzulan Presiden.
[ mrbin / kmpscom / dan berbagai sumber ]