Surat Terbuka Buat Presiden Jokowi: Tax Amnesty atau Sex Amnesty ?
https://kabar22.blogspot.com/2016/08/surat-terbuka-buat-presiden-jokowi-tax.html
BLOKBERITA -- Bapak Joko Widodo yang saya hormati. Izinkan saya kembali menulis surat terbuka kepada Bapak, kali ini saya mau mengadu soal pengampunan pajak (tax amnesty). Harap maklum, sebab sampai sekarang masih banyak rakyat yang bingung dan akhirnya berkesimpulan: "Lho, pemerintah kok malah memeras rakyat." Saya tahu, Bapak berjuang mati-matian agar RUU Pengampunan Pajak disetujui DPR menjadi UU dan sekarang sudah berlaku, tentunya bertujuan untuk mengapitalisasi "potensi luar biasa" yang beberapa waktu lalu masih tersembunyi, bahkan sengaja disembunyikan oleh sejumlah kalangan, terutama para pengusaha kita. Maafkan kami Pak Jokowi jika selama ini kami salah menafsirkan UU tersebut. Kami menganggap UU Pengampunan Pajak hanya dikhususkan bagi upaya memulangkan dana-dana milik orang Indonesia (pengusaha) yang bertahun-tahun parkir (diendapkan) di luar negeri. Saya tidak tahu persis, informasi yang selama ini disebarluaskan lewat media massa dan media sosial (medsos) menyangkut dana milik orang Indonesia di Singapura benar atau tidak? Disebut-sebut, "harta" berupa uang milik "kita" yang ada di negeri itu mencapai Rp 11.000 triliun! Jika benar, bayangkan jumlahnya dua kali APBN kita. Sungguh spektakuler. Jumlah itu belum termasuk "uang warga negara Indonesia" yang tersimpan di negara-negara lain, seperti Amerika, Swiss, dan negara Eropa lainnya. Kami membayangkan betapa dahsyatnya Indonesia jika Bapak sukses mengembalikan belasan dan (mungkin) puluhan ribu triliun rupiah dana milik orang-orang kaya yang selama ini digandakan di luar negeri. Bisa dipakai untuk membangun rumah sakit dan sekolah, bisa untuk mempercepat pembangunan jalan tol, bendungan, irigasi dan sebagainya. Oleh sebab itulah saya bisa maklumi jika masyarakat Indonesia mengait-ngaitkan kasus sakitnya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong saat ia sedang berpidato beberapa hari lalu karena ia panik Bapak memberlakukan tax amnesty yang berkonsekuensi uang milik orang Indonesia yang tersimpan di negerinya berbondong-bondong kembali ke Indonesia dan Singapura terancam bangkrut. Kalau tidak bangkrut, ya megap-megap. Bapak Jokowi yang saya kagumi, karena Bapak begitu berani mengambil keputusan. Dugaan kami rupanya salah. Pemerintahan yang Bapak pimpin ternyata tidak hanya fokus kepada 20 persen dana milik orang kaya Indonesia yang berada di luar negeri dan dalam negeri, tetapi juga 80 persen rakyat Indonesia yang tak sesen pun punya simpanan di luar negeri. Ya, negara kok malah “ngrusuhi” kami. Benar, Pak, sebagai warga negara yang baik, selayaknya kami membayar pajak. Kami tidak ingin ngemplang pajak. Itu sudah kami lakukan. Kami bayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Kami juga rutin membayar pajak kendaraan bermotor. Kami yang bekerja sebagai karyawan juga sudah membayar pajak penghasilan. Mendapat honor yang tak seberapa pun kami dipajaki. Bahkan saat kami makan di restoran juga bayar pajak. Belum lagi ketika kami membeli barang yang dianggap mewah. Tabungan kami di bank juga terus berkurang karena dipotong pajak. Maafkan kami Pak, ketika tim Bapak melakukan sosialisasi tax amnesty ke berbagai daerah dan banyak televisi memberitakan soal pengampunan pajak, sebagian besar di antara kami berpendapat: "Ah, itu bukan urusanku." Oleh sebab itulah saya – dan mudah-mudahan Bapak juga – maklum jika di lapangan kemudian muncul banyak kasus. Saya tidak tahu persis informasi yang disebarluaskan rakyat Bapak melalui media sosial belakangan ini tentang nasib seorang pensiunan yang akan patuh pada kebijakan tax amnesty benar atau tidak? Saya sih berharap tidak benar. Tapi, jika benar, kasihan betul pensiunan itu. Melalui surat terbuka ini izinkan saya informasikan “fakta” di atas kepada Bapak. Begini, Pak. Belum lama ini ada seorang pensiunan yang akan mengurus tax amnesty di Kantor Pajak Pratama Bekasi. Orang tersebut setibanya di kantor pajak lantas menemui petugas "help desk" Tax Amnesty. Ia ke kantor pajak lantaran merasa punya rumah dan tanah sawah di Pati, tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian SPT PPh tahunannya. Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas “help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun, pensiunan tentara. Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak. Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya agar terawat. Semua sertifikat atas namanya. Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan, ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan. Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan di hari tua. "Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain. Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7 miliar! Wow! Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih. Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak. Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta! Wow! Sang bapak lagi-lagi kaget. Badannya lunglai. Ia menangis. Mungkin dia berpikir dari mana mendapatkan uang sebesar itu? Niatnya mau minta ampun, kok malah bonyok. Bapak Jokowi yang saya hormati. Ini komentar yang mungkin tidak enak Bapak dengar: "Mengapa pemerintah kok memeras pensiunan seperti saya ini begitu rupa. Apa makna perjuangan dan tugas-tugas negara yang sudah saya lakukan selama ini?" Dalam pilpres tahun 2014 lalu, saya memilih Bapak. Konsekuensinya saya harus mendukung setiap kebijakan Bapak. Tapi, khusus untuk program pengampunan pajak, khususnya yang menyangkut rakyat kecil seperti kami, mohonlah diberi kebijakan khusus. Kami jangan dikejar-kejar. Ada baiknya Bapak mempertimbangkan berbagai masukan yang diungkapkan banyak orang pandai, seperti praktisi PR Christovita Wiloto. Dalam opininya yang dilontarkan di Facebook, ia mengatakan, untuk menarik dana-dana Indonesia di luar negeri masuk ke Indonesia, sebaiknya Bapak menggunakan strategi Pareto, yaitu 20:80. Bapak disarankan fokus dan prioritaskan seluruh energi pada 20 persen WNI atau perusahaan Indonesia yang menguasai 80 persen total dana Indonesia di luar negeri, dan bukan sebaliknya. Jika ini yang dilakukan, hasilnya pasti dahsyat! Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya Bapak coba konsep Pareto dalam melaksanakan tax amnesty. Bapak Jokowi yang budiman, kasihanilah para pensiunan. Maaf, jangan-jangan orang tua kita saat ini membutuhkan sex amnesty, bukan tax amnesty. Selamat bertugas. Salam untuk Ibu Iriana dan putra-putri. (kompasiana/gan pradana)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
merasa punya rumah dan
tanah sawah di Pati, tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian
SPT PPh tahunannya.
Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas
“help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran
nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun,
pensiunan tentara.
Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa
saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah
lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak.
Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli
tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya
agar terawat. Semua sertifikat atas namanya.
Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan,
ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan.
Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia
percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan
hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan di hari tua.
"Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena
selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga
negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain.
Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada
tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang
dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang
dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7
miliar! Wow!
Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih.
Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak.
Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak
berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty
yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang
belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu
muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta!
Wow! Sang bapak lagi-lagi kaget. Badannya lunglai. Ia menangis. Mungkin
dia berpikir dari mana mendapatkan uang sebesar itu? Niatnya mau minta
ampun, kok malah bonyok.
Bapak Jokowi yang saya hormati. Ini komentar yang mungkin tidak enak
Bapak dengar: "Mengapa pemerintah kok memeras pensiunan seperti saya
ini begitu rupa. Apa makna perjuangan dan tugas-tugas negara yang sudah
saya lakukan selama ini?"
Dalam pilpres tahun 2014 lalu, saya memilih Bapak. Konsekuensinya saya
harus mendukung setiap kebijakan Bapak. Tapi, khusus untuk program
pengampunan pajak, khususnya yang menyangkut rakyat kecil seperti kami,
mohonlah diberi kebijakan khusus. Kami jangan dikejar-kejar.
Ada baiknya Bapak mempertimbangkan berbagai masukan yang diungkapkan
banyak orang pandai, seperti praktisi PR Christovita Wiloto. Dalam
opininya yang dilontarkan di Facebook, ia mengatakan, untuk menarik
dana-dana Indonesia di luar negeri masuk ke Indonesia, sebaiknya Bapak
menggunakan strategi Pareto, yaitu 20:80.
Bapak disarankan fokus dan prioritaskan seluruh energi pada 20 persen
WNI atau perusahaan Indonesia yang menguasai 80 persen total dana
Indonesia di luar negeri, dan bukan sebaliknya. Jika ini yang dilakukan,
hasilnya pasti dahsyat!
Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya Bapak coba konsep Pareto dalam
melaksanakan tax amnesty.
Bapak Jokowi yang budiman, kasihanilah para pensiunan. Maaf,
jangan-jangan orang tua kita saat ini membutuhkan sex amnesty, bukan tax
amnesty.
Selamat bertugas. Salam untuk Ibu Iriana dan putra put
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
merasa punya rumah dan
tanah sawah di Pati, tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian
SPT PPh tahunannya.
Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas
“help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran
nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun,
pensiunan tentara.
Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa
saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah
lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak.
Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli
tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya
agar terawat. Semua sertifikat atas namanya.
Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan,
ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan.
Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia
percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan
hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan di hari tua.
"Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena
selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga
negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain.
Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada
tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang
dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang
dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7
miliar! Wow!
Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih.
Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak.
Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak
berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty
yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang
belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu
muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta!
Wow! Sang bapak lagi-lagi kaget. Badannya lunglai. Ia menangis. Mungkin
dia berpikir dari mana mendapatkan uang sebesar itu? Niatnya mau minta
ampun, kok malah bonyok.
Bapak Jokowi yang saya hormati. Ini komentar yang mungkin tidak enak
Bapak dengar: "Mengapa pemerintah kok memeras pensiunan seperti saya
ini begitu rupa. Apa makna perjuangan dan tugas-tugas negara yang sudah
saya lakukan selama ini?"
Dalam pilpres tahun 2014 lalu, saya memilih Bapak. Konsekuensinya saya
harus mendukung setiap kebijakan Bapak. Tapi, khusus untuk program
pengampunan pajak, khususnya yang menyangkut rakyat kecil seperti kami,
mohonlah diberi kebijakan khusus. Kami jangan dikejar-kejar.
Ada baiknya Bapak mempertimbangkan berbagai masukan yang diungkapkan
banyak orang pandai, seperti praktisi PR Christovita Wiloto. Dalam
opininya yang dilontarkan di Facebook, ia mengatakan, untuk menarik
dana-dana Indonesia di luar negeri masuk ke Indonesia, sebaiknya Bapak
menggunakan strategi Pareto, yaitu 20:80.
Bapak disarankan fokus dan prioritaskan seluruh energi pada 20 persen
WNI atau perusahaan Indonesia yang menguasai 80 persen total dana
Indonesia di luar negeri, dan bukan sebaliknya. Jika ini yang dilakukan,
hasilnya pasti dahsyat!
Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya Bapak coba konsep Pareto dalam
melaksanakan tax amnesty.
Bapak Jokowi yang budiman, kasihanilah para pensiunan. Maaf,
jangan-jangan orang tua kita saat ini membutuhkan sex amnesty, bukan tax
amnesty.
Selamat bertugas. Salam untuk Ibu Iriana dan putra put
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
BAPAK Joko Widodo yang
saya hormati. Izinkan saya kembali menulis surat terbuka kepada Bapak,
kali ini saya mau mengadu soal pengampunan pajak (tax amnesty). Harap
maklum, sebab sampai sekarang masih banyak rakyat yang bingung dan
akhirnya berkesimpulan: "Lho, pemerintah kok malah memeras rakyat."
Saya tahu, Bapak berjuang mati-matian agar RUU Pengampunan Pajak
disetujui DPR menjadi UU dan sekarang sudah berlaku, tentunya bertujuan
untuk mengapitalisasi "potensi luar biasa" yang beberapa waktu lalu
masih tersembunyi, bahkan sengaja disembunyikan oleh sejumlah kalangan,
terutama para pengusaha kita.
Maafkan kami Pak Jokowi jika selama ini kami salah menafsirkan UU
tersebut. Kami menganggap UU Pengampunan Pajak hanya dikhususkan bagi
upaya memulangkan dana-dana milik orang Indonesia (pengusaha) yang
bertahun-tahun parkir (diendapkan) di luar negeri.
Saya tidak tahu persis, informasi yang selama ini disebarluaskan lewat
media massa dan media sosial (medsos) menyangkut dana milik orang
Indonesia di Singapura benar atau tidak? Disebut-sebut, "harta" berupa
uang milik "kita" yang ada di negeri itu mencapai Rp 11.000 triliun!
Jika benar, bayangkan jumlahnya dua kali APBN kita. Sungguh spektakuler.
Jumlah itu belum termasuk "uang warga negara Indonesia" yang tersimpan
di negara-negara lain, seperti Amerika, Swiss, dan negara Eropa lainnya.
Kami membayangkan betapa dahsyatnya Indonesia jika Bapak sukses
mengembalikan belasan dan (mungkin) puluhan ribu triliun rupiah dana
milik orang-orang kaya yang selama ini digandakan di luar negeri. Bisa
dipakai untuk membangun rumah sakit dan sekolah, bisa untuk mempercepat
pembangunan jalan tol, bendungan, irigasi dan sebagainya.
Oleh sebab itulah saya bisa maklumi jika masyarakat Indonesia
mengait-ngaitkan kasus sakitnya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien
Loong saat ia sedang berpidato beberapa hari lalu karena ia panik Bapak
memberlakukan tax amnesty yang berkonsekuensi uang milik orang Indonesia
yang tersimpan di negerinya berbondong-bondong kembali ke Indonesia dan
Singapura terancam bangkrut. Kalau tidak bangkrut, ya megap-megap.
Bapak Jokowi yang saya kagumi, karena Bapak begitu berani mengambil
keputusan.
Dugaan kami rupanya salah. Pemerintahan yang Bapak pimpin ternyata tidak
hanya fokus kepada 20 persen dana milik orang kaya Indonesia yang
berada di luar negeri dan dalam negeri, tetapi juga 80 persen rakyat
Indonesia yang tak sesen pun punya simpanan di luar negeri. Ya, negara
kok malah “ngrusuhi” kami.
Benar, Pak, sebagai warga negara yang baik, selayaknya kami membayar
pajak. Kami tidak ingin ngemplang pajak. Itu sudah kami lakukan. Kami
bayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Kami juga rutin membayar pajak
kendaraan bermotor. Kami yang bekerja sebagai karyawan juga sudah
membayar pajak penghasilan. Mendapat honor yang tak seberapa pun kami
dipajaki. Bahkan saat kami makan di restoran juga bayar pajak. Belum
lagi ketika kami membeli barang yang dianggap mewah. Tabungan kami di
bank juga terus berkurang karena dipotong pajak.
Maafkan kami Pak, ketika tim Bapak melakukan sosialisasi tax amnesty ke
berbagai daerah dan banyak televisi memberitakan soal pengampunan pajak,
sebagian besar di antara kami berpendapat: "Ah, itu bukan urusanku."
Oleh sebab itulah saya – dan mudah-mudahan Bapak juga – maklum jika di
lapangan kemudian muncul banyak kasus. Saya tidak tahu persis informasi
yang disebarluaskan rakyat Bapak melalui media sosial belakangan ini
tentang nasib seorang pensiunan yang akan patuh pada kebijakan tax
amnesty benar atau tidak? Saya sih berharap tidak benar. Tapi, jika
benar, kasihan betul pensiunan itu.
Melalui surat terbuka ini izinkan saya informasikan “fakta” di atas
kepada Bapak. Begini, Pak. Belum lama ini ada seorang pensiunan yang
akan mengurus tax amnesty di Kantor Pajak Pratama Bekasi. Orang tersebut
setibanya di kantor pajak lantas menemui petugas "help desk" Tax
Amnesty.
Ia ke kantor pajak lantaran merasa punya rumah dan tanah sawah di Pati,
tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian SPT PPh tahunannya.
Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas
“help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran
nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun,
pensiunan tentara.
Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa
saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah
lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak.
Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli
tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya
agar terawat. Semua sertifikat atas namanya.
Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan,
ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan.
Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia
percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan
hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan di hari tua.
"Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena
selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga
negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain.
Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada
tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang
dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang
dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7
miliar! Wow!
Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih.
Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak.
Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak
berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty
yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang
belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu
muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta!
Wow! Sang bapak lagi-lagi kaget. Badannya lunglai. Ia menangis. Mungkin
dia berpikir dari mana mendapatkan uang sebesar itu? Niatnya mau minta
ampun, kok malah bonyok.
Bapak Jokowi yang saya hormati. Ini komentar yang mungkin tidak enak
Bapak dengar: "Mengapa pemerintah kok memeras pensiunan seperti saya
ini begitu rupa. Apa makna perjuangan dan tugas-tugas negara yang sudah
saya lakukan selama ini?"
Dalam pilpres tahun 2014 lalu, saya memilih Bapak. Konsekuensinya saya
harus mendukung setiap kebijakan Bapak. Tapi, khusus untuk program
pengampunan pajak, khususnya yang menyangkut rakyat kecil seperti kami,
mohonlah diberi kebijakan khusus. Kami jangan dikejar-kejar.
Ada baiknya Bapak mempertimbangkan berbagai masukan yang diungkapkan
banyak orang pandai, seperti praktisi PR Christovita Wiloto. Dalam
opininya yang dilontarkan di Facebook, ia mengatakan, untuk menarik
dana-dana Indonesia di luar negeri masuk ke Indonesia, sebaiknya Bapak
menggunakan strategi Pareto, yaitu 20:80.
Bapak disarankan fokus dan prioritaskan seluruh energi pada 20 persen
WNI atau perusahaan Indonesia yang menguasai 80 persen total dana
Indonesia di luar negeri, dan bukan sebaliknya. Jika ini yang dilakukan,
hasilnya pasti dahsyat!
Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya Bapak coba konsep Pareto dalam
melaksanakan tax amnesty.
Bapak Jokowi yang budiman, kasihanilah para pensiunan. Maaf,
jangan-jangan orang tua kita saat ini membutuhkan sex amnesty, bukan tax
amnesty.
Selamat bertugas. Salam untuk Ibu Iriana dan putra putri.[]
Gan Pradana
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gantyo/surat-terbuka-buat-jokowi-tax-amnesty-atau-sex-amnesty_57c02f1d20afbd6c4b6b002f