Inilah Cara Bank Singapura Tahan Dana WNI agar Tidak Kembali ke Tanah Air


BLOKBERITA, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia sedang gencar menyosialisasikan kebijakan amnesti pajak bagi para warga negara Indonesia (WNI) yang menyimpan dananya di luar negeri.
Namun, bank-bank besar di Singapura menempuh sejumlah cara untuk menahan pulangnya dana WNI ke Indonesia.
Pertama, bank-bank besar di Singapura rela membayar tarif deklarasi sebesar 4 persen WNI yang mengikuti program amnesti pajak. Namun, hal itu akan dilakukan bila WNI tetap memarkir dananya di Negeri Singa tersebut.
"Itu sudah ditawarkan oleh bank-bank besar Singapura," kata Ketua Kadin Indonesia Rosal P Roeslani, Jakarta, Kamis (21/7/2016).
Tarif deklarasi dibayar oleh wajib pajak yang ingin memperbaiki Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) melalui program amnesti pajak.
Selama ini, banyak wajib pajak yang dengan sengaja tidak mencantumkan hartanya dengan benar di SPT.
Hal itu dilakukan untuk menghindari pajak tinggi. Di dalam UU Pengampunan Pajak yang beberapa waktu lalu disahkan DPR, tarif deklarasi sebesar 4 persen dari nilai aset.
Kedua, perbankan Singapura menawarkan imbal hasil atau return deposito yang lebih besar bagi WNI yang tetap memarkir dananya di Singapura.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdaani mengungkapkan hal itu.
Meski begitu, ia menilai upaya perbankan Singapura tersebut sebagai hal yang lumrah.
Sebenarnya, kata dia, upaya menahan dana WNI agar tidak pulang kampung ke Indonesia tidak hanya dilakukan oleh Singapura, tetapi juga sejumlah negara lain.
Namun, Haryadi menilai otoritas keuangan di Singapura lebih agresif menawarkan insentif kepada WNI untuk lebih memilih memarkir dananya di Negeri Singa tersebut.
Upaya perbankan Singapura dinilai sebagian pihak sebagai hal yang wajar. Sebab, dana besar yang ada di bank-bank Singapura bisa menjadi likuiditas yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan likuiditas yang melimpah, pembangunan infrastruktur bisa berjalan dengan pesat.
Kementerian Keuangan mencatat ada sekitar 6.519 WNI yang menyimpan dananya di luar negeri.
Jika kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty diterapkan, ada potensi penerimaan negara sebesar Rp 180 triliun.
Sementara itu, potensi dana repatriasi atau dana yang masuk ke Indonesia diprediksi mencapai Rp 1.000 triliun hingga 1 April 2017.

Ingin Gagalkan Program Tax Amnesty Indonesia

Kampanye negatif Singapura untuk menggagalkan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak yang dipersiapkan pemerintahan Joko Widodo semakin gencar.

Manuver yang dilakukan Singapura dan antek-anteknya, termasuk yang ada di Indonesia, dilatarbelakangi besarnya dana yang selama ini justru 'dinikmati' rakyat Singapura untuk memajukan perekonomian negeri berpenduduk 5 juta itu. Mereka khawatir bank-bank besar Singapura akan runtuh karena kehiangan likuiditas.

Dengan demikian, menurut pengamat ekonomi Aviliani, pemerintah dan DPR baiknya mempercepat pemberlakuan tax amnesty di Indonesia. Jika tidak dilakukan dalam waktu dekat, selain Singapura, negara-negara lain yang selama ini juga menjadi penampungan uang orang Indonesia akan ikut melakukan kampanye negatif.

Aviliani menjelaskan, saat ini banyak uang milik orang Indonesia yang terparkir di Singapura. Dengan tax amnesty uang tersebut akan banyak yang kembali ke Indonesia.

Salah satu kebijakan Singapura untuk menggagalkan tax amnesty Indonesia adalah dengan menawarkan kewarganegaraan kepada anggota keluarga Indonesia yang menyimpan uang di Singapura.

Dengan menjadi warga Singapura, ketika era keterbukaan informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) diberlakukan, pemerintahan Jokowi tidak bisa menjatuhkan sanksi denda pajak hingga 48 persen sekalipun. Akibatnya, Indonesia akan terus menjadi negara miskin dan tidak mampu mengalahkan Singapura seperti yang diinginkan antek-antek di dalam negeri.

"Makanya ini (tax amnesty) harus cepat. Kalau tidak uang itu nantinya tidak akan bisa kembali ke Indonesia dan tetap tersimpan di negara lain," ujar Aviliani dalam keterangan yang diterima redaksi. Pernyataan Aviliani ini juga sempat disampaikannya dalam diskusi Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan 2016 di Balai Kartini, Kamis (10/03/2016).

Menurut Aviliani, terdapat sekitar 50 juta warga Indonesia yang masuk dalam kelompok kaya. Sedangkan 100 juta orang lainnya adalah kalangan menengah. Dengan angka ini, seharusnya 50 juta orang ini bisa menjadi peserta wajib pajak.

Sayangnya kalangan kaya ini nyatanya tidak semua membayar pajak. Melihat hal ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak harus lebih maksimal dalam menarik wajib pajak terhadap kelompok ekonomi ini.  (bazz/kmps/kontan).
View

Related

NASIONAL 5136497520392321078

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item