EH, Dosen Fisipol UGM Diskors Terkait Dugaan Pelecehan Seksual ke Mahasiswinya
https://kabar22.blogspot.com/2016/06/eh-dosen-fisipol-ugm-diskors-terkait.html
SLEMAN, BLOKBERITA -- Seorang dosen bergelar doktor di Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) berinisial EH disanksi
berupa skorsing terkait dugaan pelecehan seksual terhadap mahassiswi.
"Kasus ini telah ditangani oleh Fisipol UGM sejak tanggal 25 Januari 2016," ujar Dekan Fisipol UGM Dr Erwan Agus Purwanto MSi kepada detikcom, Jumat (3/6/2016).
Sanksi yang diberikan setelah melalui beberapa tahapan yakni Fisipol UGM melakukan rapat gabungan antara Dekanat, Ketua Senat Fakultas, dan Pengurus Departemen.
"(Rapat tersebut) berkaitan dengan pelanggaran kode etik dosen untuk merespon laporan dari penyintas. Dalam rapat tersebut, Fisipol kemudian menjatuhkan sanksi, (pertama) membebaskan EH dari kewajiban mengajar serta membimbing skripsi dan tesis," ujar Erwan.
Sanksi kedua yang diberikan kepada dosen berjenis kelamin pria itu adalah membatalkan usulan EH sebagai kepala pusat kajian. Ketiga, Fisipol juga mewajibkan yang bersangkutan mengikuti program konseling dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center untuk menangani perilaku negatif.
"Khususnya yang terkait pelecehan seksual," imbuhnya.
Sanksi tersebut diberlakukan terus, kata Erwan, sampai EH mampu melakukan perbaikan perilaku berdasarkan hasil konseling dari Rifka Annisa Women's Crisis Center.
"Jika ditemukan fakta-fakta baru yang belum terungkap sebelumnya, maka Fisipol akan memberikan sanksi yang lebih berat kepada yang bersangkutan," urainya.
Sanksi-sanksi tersebut diberikan atas dua pertimbangan. Pertama, kata Erwan, peraturan disiplin kepegawaian PNS dan etika perilaku dosen yang dikeluarkan oleh UGM.
"Kedua, kami masih memiliki harapan yang bersangkutan akan berubah dengan cara memberi kesempatan untuk konseling yang diawasi oleh fakultas," ujar Erwan.
Erwan menabahkan, figur EH dikenal sebagai dosen yang cerdas, pekerja keras dan egaliter, sehingga dekat dengan mahasiswanya.
Untuk mengantisipasi agar kasus tersebut tidak berulang di masa mendatang, Fisipol menggelar kampanye Zero Tolerance terhadap pelecehan seksual dengan melibatkan dosen dan mahasiswa.
"(Kampanye) Bekerjasama dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center sejak Februari 2016," pungkasnya.
Penuturan Korban
Seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tidak menyangka menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya berinisal EH. Selama ini, korban mengenal EH sebagai sosok pengajar yang baik, ramah, dan berkarisma.
"Di mata mahasiswa, dia itu dikenal dosen yang bagus, baik dalam ngasih pengajaran maupun bimbingan," ujar mahasiswi tersebut saat ditemui Kompas.com belum lama ini.
Ia menuturkan, peristiwa itu terjadi terjadi pada April 2015. Awalnya, korban meminta bantuan konsultasi kepada EH soal tugas presentasi kuliah. Saat itu, EH menyanggupi memberikan bantuan konsultasi.
Seusai bimbingan tugas kuliah itu, EH bercerita bahwa ia mendapatkan proyek. EH menawarkan kepada korban untuk membantunya mengerjakan proyek tersebut.
"April 2015 itu, dia (EH) menawari membantu proyeknya. Membantu me-resume penulisan jurnal dia gitu," kata dia.
Dalam proses pengerjaan proyek tersebut, EH beberapa kali mengajak korban untuk bertemu. Setiap kali bertemu, EH cenderung mengajak pada malam hari antara pukul 19.00 WIB hingga 21.30 WIB.
Suatu ketika, EH menghubungi korban untuk mengajak bertemu dan membahas proyek. EH memintanya datang ke sebuah pusat studi di UGM.
"Malam hari, memang dia sering bekerja di situ, seperti ruangan yang ada perpustakaannya," kata dia.
Pada pertemuan itu, EH menunjukkan kepada korban sebuah rak buku yang digunakan untuk mengerjakan proyek. Saat korban berdiri melihat buku, EH mendekati.
Saat itulah, tangan EH memeluk korban dari samping hingga korban merasa risih. Namun, hal itu dilakukan EH sambil terus menerangkan.
"Sambil ngejelasin, bagi dia gerakan tangannya seperti itu hal yang wajar. Kaget, takut, saya berusaha melindungi dan menahan dengan tangan," ucapnya.
Seusai kejadian itu, korban sempat bertemu dengan EH. Namun, saat bertemu itu, EH tidak meminta maaf dan seakan-akan merasa tidak bersalah telah berbuat seperti itu.
Korban pun ragu-ragu untuk mengungkit masalah itu. Ia memilih bercerita kepada sahabatnya mengenai kejadian yang dialaminya.
Mendengar cerita itu, sahabatnya menyarankan agar korban melapor. Namun, saat itu ia berpikir bahwa melapor justru akan membuat masalah itu menjadi rumit dan bisa memengaruhi kuliahnya.
Akhirnya, korban memutuskan untuk menghindar dan menolak ketika diberi proyek maupun ketika diajak bertemu dengan EH.
"Saya merasa bersalah dengan diri saya saat itu, kenapa tidak menolak, kenapa tidak berani ngomong, kenapa tidak berani lapor," katanya.
Pada 2016, korban menghubungi seseorang perwakilan kampus yang menyatakan kesediannya untuk memfasilitasi dan menyelesaikan kasus ini. Dari situlah korban berani membuat laporan.
Atas kejadian itu, Fisipol telah memberikan sanksi dengan membebastugaskan EH dari kegiatan mengajar dan membimbing skripsi maupun tesis. EH juga diwajibkan mengikuti konseling bersama Women's Crisis Center. (bin/dtc/kmps)
"Kasus ini telah ditangani oleh Fisipol UGM sejak tanggal 25 Januari 2016," ujar Dekan Fisipol UGM Dr Erwan Agus Purwanto MSi kepada detikcom, Jumat (3/6/2016).
Sanksi yang diberikan setelah melalui beberapa tahapan yakni Fisipol UGM melakukan rapat gabungan antara Dekanat, Ketua Senat Fakultas, dan Pengurus Departemen.
"(Rapat tersebut) berkaitan dengan pelanggaran kode etik dosen untuk merespon laporan dari penyintas. Dalam rapat tersebut, Fisipol kemudian menjatuhkan sanksi, (pertama) membebaskan EH dari kewajiban mengajar serta membimbing skripsi dan tesis," ujar Erwan.
Sanksi kedua yang diberikan kepada dosen berjenis kelamin pria itu adalah membatalkan usulan EH sebagai kepala pusat kajian. Ketiga, Fisipol juga mewajibkan yang bersangkutan mengikuti program konseling dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center untuk menangani perilaku negatif.
"Khususnya yang terkait pelecehan seksual," imbuhnya.
Sanksi tersebut diberlakukan terus, kata Erwan, sampai EH mampu melakukan perbaikan perilaku berdasarkan hasil konseling dari Rifka Annisa Women's Crisis Center.
"Jika ditemukan fakta-fakta baru yang belum terungkap sebelumnya, maka Fisipol akan memberikan sanksi yang lebih berat kepada yang bersangkutan," urainya.
Sanksi-sanksi tersebut diberikan atas dua pertimbangan. Pertama, kata Erwan, peraturan disiplin kepegawaian PNS dan etika perilaku dosen yang dikeluarkan oleh UGM.
"Kedua, kami masih memiliki harapan yang bersangkutan akan berubah dengan cara memberi kesempatan untuk konseling yang diawasi oleh fakultas," ujar Erwan.
Erwan menabahkan, figur EH dikenal sebagai dosen yang cerdas, pekerja keras dan egaliter, sehingga dekat dengan mahasiswanya.
Untuk mengantisipasi agar kasus tersebut tidak berulang di masa mendatang, Fisipol menggelar kampanye Zero Tolerance terhadap pelecehan seksual dengan melibatkan dosen dan mahasiswa.
"(Kampanye) Bekerjasama dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center sejak Februari 2016," pungkasnya.
Penuturan Korban
Seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tidak menyangka menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya berinisal EH. Selama ini, korban mengenal EH sebagai sosok pengajar yang baik, ramah, dan berkarisma.
"Di mata mahasiswa, dia itu dikenal dosen yang bagus, baik dalam ngasih pengajaran maupun bimbingan," ujar mahasiswi tersebut saat ditemui Kompas.com belum lama ini.
Ia menuturkan, peristiwa itu terjadi terjadi pada April 2015. Awalnya, korban meminta bantuan konsultasi kepada EH soal tugas presentasi kuliah. Saat itu, EH menyanggupi memberikan bantuan konsultasi.
Seusai bimbingan tugas kuliah itu, EH bercerita bahwa ia mendapatkan proyek. EH menawarkan kepada korban untuk membantunya mengerjakan proyek tersebut.
"April 2015 itu, dia (EH) menawari membantu proyeknya. Membantu me-resume penulisan jurnal dia gitu," kata dia.
Dalam proses pengerjaan proyek tersebut, EH beberapa kali mengajak korban untuk bertemu. Setiap kali bertemu, EH cenderung mengajak pada malam hari antara pukul 19.00 WIB hingga 21.30 WIB.
Suatu ketika, EH menghubungi korban untuk mengajak bertemu dan membahas proyek. EH memintanya datang ke sebuah pusat studi di UGM.
"Malam hari, memang dia sering bekerja di situ, seperti ruangan yang ada perpustakaannya," kata dia.
Pada pertemuan itu, EH menunjukkan kepada korban sebuah rak buku yang digunakan untuk mengerjakan proyek. Saat korban berdiri melihat buku, EH mendekati.
Saat itulah, tangan EH memeluk korban dari samping hingga korban merasa risih. Namun, hal itu dilakukan EH sambil terus menerangkan.
"Sambil ngejelasin, bagi dia gerakan tangannya seperti itu hal yang wajar. Kaget, takut, saya berusaha melindungi dan menahan dengan tangan," ucapnya.
Seusai kejadian itu, korban sempat bertemu dengan EH. Namun, saat bertemu itu, EH tidak meminta maaf dan seakan-akan merasa tidak bersalah telah berbuat seperti itu.
Korban pun ragu-ragu untuk mengungkit masalah itu. Ia memilih bercerita kepada sahabatnya mengenai kejadian yang dialaminya.
Mendengar cerita itu, sahabatnya menyarankan agar korban melapor. Namun, saat itu ia berpikir bahwa melapor justru akan membuat masalah itu menjadi rumit dan bisa memengaruhi kuliahnya.
Akhirnya, korban memutuskan untuk menghindar dan menolak ketika diberi proyek maupun ketika diajak bertemu dengan EH.
"Saya merasa bersalah dengan diri saya saat itu, kenapa tidak menolak, kenapa tidak berani ngomong, kenapa tidak berani lapor," katanya.
Pada 2016, korban menghubungi seseorang perwakilan kampus yang menyatakan kesediannya untuk memfasilitasi dan menyelesaikan kasus ini. Dari situlah korban berani membuat laporan.
Atas kejadian itu, Fisipol telah memberikan sanksi dengan membebastugaskan EH dari kegiatan mengajar dan membimbing skripsi maupun tesis. EH juga diwajibkan mengikuti konseling bersama Women's Crisis Center. (bin/dtc/kmps)