Proyek Reklamasi, Wujud Kemalasan dan Kesalahan Pemerintah

https://kabar22.blogspot.com/2016/04/proyek-reklamasi-wujud-kemalasan-dan.html
JAKARTA, BLOKBERITA -- Terbitnya perizinan pelaksanaan
reklamasi untuk proyek-proyek skala besar di Pantai Utara Jakarta, Teluk
Benoa Bali, maupun Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan, dinilai
sebagai representasi kemalasan pemerintah memperbaiki kota yang ada. Reklamasi juga dipandang sebagai kesalahan berpikir tentang perlunya ekspansi horisontal tata ruang wilayah.
Demikian pengamat perkotaan sekaligus pendiri Ruang Jakarta, Marco Kusumawijaya kepada pers, Senin (4/4/2016).
Menurut Marco, bukan reklamasi yang ditempuh untuk memperbaiki dan memperluas ruang hidup bagi Jakarta, Bali, dan Makassar, yang diperlukan sebaliknya yakni meningkatkan terus kepadatan dan kualitas kawasan kota yang ada dengan infrastruktur yang lebih mencukupi dan baik.
" Kita harus berpikir jangka panjang demi ekologis, dan untuk itu justru harus intensifkan lahan (kawasan) kota yang ada, bukan ekspansi horisontal," tuturnya.
Ekspansi horisontal hanya akan menambah biaya ekologis pada proses produksinya maupun proses pemakaian ruangnya.
Pada prinsipnya, kata Marco, kita memerlukan ruang, bukan tanah. Kita memerlukan ruang yang dilayani infrastruktur yang baik. Kita juga memerlukan kota yang efisien, produktif dan berkualitas untuk melayani kelas menengah baru kita yang tumbuh pesat.
" Jangan lantas semua itu diartikulasikan sebagai ekspansi horisontal. Berpikirlah bahwa itu hanya bisa dilakukan dengan intensifikasi ruang," kata Marco.
Reklamasi itu sepenuhnya tergantung perizinan, tidak mengandung kerepotan berurusan dengan kemajemukan kepemilikan lahan, mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Reklamasi juga cenderung menjual lahan dengan marjin keuntungan yang besar sekali, sehingga akan mendongkrak spekulasi harga lahan di dalam kota menjadi makin tidak terjangkau oleh kelas menengah yang sedang tumbuh.
Reklamasi Hanya Merusak
Adapun potensi kerusakan reklamasi adalah potensi kerusakan alam dan kemaritiman, termasuk nelayan, juga sangat besar.
Reklamasi untuk keperluan infrastruktur seperti pelabuhan laut dan bandar udara pun perlu dirasionalisasi agar sekecil mungkin, bukan sebesar mungkin.
"Yang harus besar itu kapasitas, bukan luas. Banyak pelabuhan dan bandara di dunia yang kompak tapi kapasitasnya tinggi, bukan karena luas, tapi karena tata ruang, manajemen dan teknologi yang baik," papar Marco.
Karena potensinya merusak, maka menurut Marco reklamasi tidak ada manfaatnya. Meskipun berbagai kalangan, termasuk pengembang berargurmen bahwa proses produksi reklamasi, termasuk produksi bangunan di atasnya, akan menambah pertumbuhan ekonomi.
Tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak menjawab kebutuhan mendasar kota yang notabene banyak dan belum terpenuhi. Kalau sudah demikian, buat apa mereklamasi pantai?
Lebih baik, saran Marco, ciptakan pertumbuhan melalui proyek-proyek yang memenuhi kebutuhan mendasar kota. Proyek tersebut adalah hunian dalam kota untuk kelas menengah dan bawah, air bersih dalam pipa untuk setidaknya 80 penduduk penduduk.
"Ada banyak pilihan lain yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Bali, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan," lanjut Marco.
Reklamasi Bukan Tentang Kelangkaan Lahan
Jika ada pihak yang mencontohkan reklamasi itu jawaban terhadap kelangkaan lahan, maka itu merupakan pendapat yang keliru.
Menurut Marco, reklamasi yang dilakukan Singapura, Korea Selatan, dan Belanda konteks kebutuhannya berbeda. Mereka tidak punya pilihan lain. Karena wilayah negara mereka kecil dengan konteks kebutuhan yang berbeda dengan Jakarta, Bali, dan Makassar.
Reklamasi pantai utara Jakarta dinilai pegiat lingkungan hidup akan
merusak ekosistem dan menurunkan kualitas lingkungan hidup di
sekitarnya. Selain itu, berpotensi menimbulkan banjir dan rob.
Jadi, sejatinya lahan tidak langka. Yang langka adalah ruang yang berpelayanan infrastruktur yang baik.
Seharusnya, Pemerintah Daerah kreatif menciptakan ruang yang memenuhi kebutuhan nyata bukan fantasi, bukan lahan baru.
Tiap-tiap wilayah kota yang sudah ada dapat direvitalisasi dengan kepadatan orang dan infrastruktur yang lebih baik serta mencukupi, meskipun dilakukan pada waktu yang berbeda-beda.
"Tata ruang seharusnya mengatur ini. Khusus Jakarta, tingkat pertumbuhan penduduknya mulai menurun, jadi proyeksi tentang kelangkaan tanah itu berlebihan," tambah Marco.
Regulasi Reklamasi
Silang pendapat mengenai payung hukum atau regulasi reklamasi baik dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Peemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), ataupun Keputusan Gubernur (Kepgub) harusnya diproduksi secara terbuka sejak dari perumusan masalah.
Keppres maupun Perda tentang reklamasi adalah contoh jawaban untuk perumusan masalah yang salah.
Proses produksi kebijakan seharusnya merupakan proses pencerdasan bangsa, terutama untuk negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia.
(kiri ke kanan) Sekretaris DPD PDI-P Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua
Balegda Merry Hotma, Ketua Fraksi PDI-P Jhony Simanjuntak, dan
Sekretaris Fraksi PDI-P Gembong Warsono.
Kita
membangun badan (fisik kota) sekaligus dengan jiwanya, warga yang
berpengetahuan tentang kotanya, tahu masalahnya, sadar
pilihan-pilihannya.
Lalu pilihan-pilihan solusi juga harus dibuat jelas serta transparan,
dan masyarakat dapat mempertimbangkan dengan bebas berdasarkan masukan
informasi yang diberikan terus menerus.
" Harus disediakan waktu dan tatacara yang baik untuk menjamin ini berlangsung," sebut Marco.
Reklamasi ini contoh proses yang buruk dan jawasabn salah untuk masalah yang salah dirumuskan, dan tiba-tiba masyarakat sudah langsung disodori begitu saja reklamasi.
"Faktanya, bahkan yang di Jakarta ini (mungkin juga di kota lain) melanggar prosedur. Belum ada payung hukum sudah diterbitkan izin. Prosedur itu seharusnya dipatuhi sebagai bagian dari proses membangun “jiwa” tadi di atas," tuntas Marco. (ben/kmps)
Demikian pengamat perkotaan sekaligus pendiri Ruang Jakarta, Marco Kusumawijaya kepada pers, Senin (4/4/2016).
Menurut Marco, bukan reklamasi yang ditempuh untuk memperbaiki dan memperluas ruang hidup bagi Jakarta, Bali, dan Makassar, yang diperlukan sebaliknya yakni meningkatkan terus kepadatan dan kualitas kawasan kota yang ada dengan infrastruktur yang lebih mencukupi dan baik.
" Kita harus berpikir jangka panjang demi ekologis, dan untuk itu justru harus intensifkan lahan (kawasan) kota yang ada, bukan ekspansi horisontal," tuturnya.
Ekspansi horisontal hanya akan menambah biaya ekologis pada proses produksinya maupun proses pemakaian ruangnya.
Pada prinsipnya, kata Marco, kita memerlukan ruang, bukan tanah. Kita memerlukan ruang yang dilayani infrastruktur yang baik. Kita juga memerlukan kota yang efisien, produktif dan berkualitas untuk melayani kelas menengah baru kita yang tumbuh pesat.
" Jangan lantas semua itu diartikulasikan sebagai ekspansi horisontal. Berpikirlah bahwa itu hanya bisa dilakukan dengan intensifikasi ruang," kata Marco.
Reklamasi itu sepenuhnya tergantung perizinan, tidak mengandung kerepotan berurusan dengan kemajemukan kepemilikan lahan, mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Reklamasi juga cenderung menjual lahan dengan marjin keuntungan yang besar sekali, sehingga akan mendongkrak spekulasi harga lahan di dalam kota menjadi makin tidak terjangkau oleh kelas menengah yang sedang tumbuh.
Reklamasi Hanya Merusak
Adapun potensi kerusakan reklamasi adalah potensi kerusakan alam dan kemaritiman, termasuk nelayan, juga sangat besar.
Reklamasi untuk keperluan infrastruktur seperti pelabuhan laut dan bandar udara pun perlu dirasionalisasi agar sekecil mungkin, bukan sebesar mungkin.
"Yang harus besar itu kapasitas, bukan luas. Banyak pelabuhan dan bandara di dunia yang kompak tapi kapasitasnya tinggi, bukan karena luas, tapi karena tata ruang, manajemen dan teknologi yang baik," papar Marco.
Karena potensinya merusak, maka menurut Marco reklamasi tidak ada manfaatnya. Meskipun berbagai kalangan, termasuk pengembang berargurmen bahwa proses produksi reklamasi, termasuk produksi bangunan di atasnya, akan menambah pertumbuhan ekonomi.
Tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak menjawab kebutuhan mendasar kota yang notabene banyak dan belum terpenuhi. Kalau sudah demikian, buat apa mereklamasi pantai?
Lebih baik, saran Marco, ciptakan pertumbuhan melalui proyek-proyek yang memenuhi kebutuhan mendasar kota. Proyek tersebut adalah hunian dalam kota untuk kelas menengah dan bawah, air bersih dalam pipa untuk setidaknya 80 penduduk penduduk.
"Ada banyak pilihan lain yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Bali, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan," lanjut Marco.
Reklamasi Bukan Tentang Kelangkaan Lahan
Jika ada pihak yang mencontohkan reklamasi itu jawaban terhadap kelangkaan lahan, maka itu merupakan pendapat yang keliru.
Menurut Marco, reklamasi yang dilakukan Singapura, Korea Selatan, dan Belanda konteks kebutuhannya berbeda. Mereka tidak punya pilihan lain. Karena wilayah negara mereka kecil dengan konteks kebutuhan yang berbeda dengan Jakarta, Bali, dan Makassar.
Tiap-tiap wilayah kota yang sudah ada dapat direvitalisasi dengan kepadatan orang dan infrastruktur yang lebih baik serta mencukupi, meskipun dilakukan pada waktu yang berbeda-beda.
"Tata ruang seharusnya mengatur ini. Khusus Jakarta, tingkat pertumbuhan penduduknya mulai menurun, jadi proyeksi tentang kelangkaan tanah itu berlebihan," tambah Marco.
Regulasi Reklamasi
Silang pendapat mengenai payung hukum atau regulasi reklamasi baik dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Peemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), ataupun Keputusan Gubernur (Kepgub) harusnya diproduksi secara terbuka sejak dari perumusan masalah.
Keppres maupun Perda tentang reklamasi adalah contoh jawaban untuk perumusan masalah yang salah.
Proses produksi kebijakan seharusnya merupakan proses pencerdasan bangsa, terutama untuk negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia.
" Harus disediakan waktu dan tatacara yang baik untuk menjamin ini berlangsung," sebut Marco.
Reklamasi ini contoh proses yang buruk dan jawasabn salah untuk masalah yang salah dirumuskan, dan tiba-tiba masyarakat sudah langsung disodori begitu saja reklamasi.
"Faktanya, bahkan yang di Jakarta ini (mungkin juga di kota lain) melanggar prosedur. Belum ada payung hukum sudah diterbitkan izin. Prosedur itu seharusnya dipatuhi sebagai bagian dari proses membangun “jiwa” tadi di atas," tuntas Marco. (ben/kmps)