Iuran BPJS Kesehatan Dinaikan Hingga Rp 20.500. Meningkatkah Kinerjanya?
https://kabar22.blogspot.com/2016/03/iuran-bpjs-kesehatan-dinaikan-hingga-rp.html
BLOKBERITA -- Pemerintah akhirnya menaikkan besaran iuran Jaminan Kesehatan
(Jamkes). Selain peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), kenaikan iuran
Jamkes juga berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
Kenaikan iuran tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang diundangkan pada tanggal 1 Maret 2016.
Dalam beleit itu, besaran kenaikan iuran Jamkes bagi peserta PBI dinaikkan dari sebelumnya Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan. Ketentuan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2016.
Sementara itu, perubahan kenaikan iuran Jamkes bagi peserta PBPU untuk ruang perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 30.000 per orang per bulan. Untuk ruang perawatan kelas II kenaikannya dari Rp 42.500 per orang per bulan menjadi Rp 51.000 per orang per bulan.
Ruang perawatan kelas I juga naik dari Rp 59.500 per orang per bulan menjadi Rp 80.000 per orang per bulan. Ketentuan besaran iuran Jamkes untuk peserta PBPU ini mulai berlaku pada April 2016 mendatang.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, sangat menyayangkan langkah pemerintah atas kebijakan yang menaikkan juga besaran iuran bagi PBPU. "Padahal PBPU itu banyak juga bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak pasti. Berbeda dengan pekerja penerima upah," kata Timboel, Jumat (11/3).
Dengan penerapan kebijakan ini, target untuk mengurangi mismatch dan peningkatan jumlah kepesertaan Jamkes akan sulit tercapai. Tidak menutup kemungkinan, peserta PBPU yang telah aktif ikut dalam Jamkes akan berkurang. Padahal, ditargetkan semua masyarakat terlayani Jamkes pada tahun 2019.
Padahal, seharusnya sebelum meningkatkan besaran iuran bagi peserta PBPU, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terlebih dahulu mendorong kepesertaan dari pekerja informal atau penerima upah yang saat ini masih belum banyak ikut di program Jamkes.
Jumlah klaim dari program ini juga menunjukkan peningkatan, bila pada tahun 2014 nilai klaim yang terealisasikan sebesar Rp 42 triliun. Tahun 2015 jumlah klaim program ini meningkat menjadi Rp 58,07 triliun. Tahun ini BPJS Kesehatan memproyeksikan besaran mismatch mencapai Rp 9,79 triliun.
Timboel menambahkan bilang bila aturan ini sangat berpotensi dilakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA) lantaran tidak seluruh pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya diikutsertakan dalam pembahasannya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf juga kecewa. "Sebetulnya kami sudah panggil Menteri Kesehatan dan direksi BPJS. Panja juga sudah dibuat, tetapi Presiden mengeluarkan Perpres ini artinya Presiden belum dengarkan pandangan DPR," kata Dede.
Menurut Dede, persoalan Jamkes ini harus diselesaikan secara menyeluruh. Sehingga bila ada mismatch seperti saat ini solusinya tidak menggunakan cara instan dengan menaikkan besaran iuran. Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan seharusnya duduk bersama dan melakukan evaluasi atas program yang telah berjalan.
Meski tidak merinci, permasalahan mengenai Indonesian Case Base Groups (INA CBGs) harus dapat diselesaikan. Pasalnya, selama ini dengan biaya pelayanan rumah sakit yang tinggi namun dari sisi fasilitas pelayanan masih kurang.
Dede juga menyarankan, agar tidak banyak masyarakat dengan status PBPU yang berhenti dari program Jamkes ini alangkah baiknya tidak memberlakukan sistem kepesertaan kolektif seluruh anggota keluarga. "Sehingga bila tidak mampu banyar seluruh anggota keluarga, dapat dibayarkan untuk sebagian," kata Dede. (plo/kontan)
Kenaikan iuran tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang diundangkan pada tanggal 1 Maret 2016.
Dalam beleit itu, besaran kenaikan iuran Jamkes bagi peserta PBI dinaikkan dari sebelumnya Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan. Ketentuan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2016.
Sementara itu, perubahan kenaikan iuran Jamkes bagi peserta PBPU untuk ruang perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 30.000 per orang per bulan. Untuk ruang perawatan kelas II kenaikannya dari Rp 42.500 per orang per bulan menjadi Rp 51.000 per orang per bulan.
Ruang perawatan kelas I juga naik dari Rp 59.500 per orang per bulan menjadi Rp 80.000 per orang per bulan. Ketentuan besaran iuran Jamkes untuk peserta PBPU ini mulai berlaku pada April 2016 mendatang.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, sangat menyayangkan langkah pemerintah atas kebijakan yang menaikkan juga besaran iuran bagi PBPU. "Padahal PBPU itu banyak juga bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak pasti. Berbeda dengan pekerja penerima upah," kata Timboel, Jumat (11/3).
Dengan penerapan kebijakan ini, target untuk mengurangi mismatch dan peningkatan jumlah kepesertaan Jamkes akan sulit tercapai. Tidak menutup kemungkinan, peserta PBPU yang telah aktif ikut dalam Jamkes akan berkurang. Padahal, ditargetkan semua masyarakat terlayani Jamkes pada tahun 2019.
Padahal, seharusnya sebelum meningkatkan besaran iuran bagi peserta PBPU, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terlebih dahulu mendorong kepesertaan dari pekerja informal atau penerima upah yang saat ini masih belum banyak ikut di program Jamkes.
Jumlah klaim dari program ini juga menunjukkan peningkatan, bila pada tahun 2014 nilai klaim yang terealisasikan sebesar Rp 42 triliun. Tahun 2015 jumlah klaim program ini meningkat menjadi Rp 58,07 triliun. Tahun ini BPJS Kesehatan memproyeksikan besaran mismatch mencapai Rp 9,79 triliun.
Timboel menambahkan bilang bila aturan ini sangat berpotensi dilakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA) lantaran tidak seluruh pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya diikutsertakan dalam pembahasannya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf juga kecewa. "Sebetulnya kami sudah panggil Menteri Kesehatan dan direksi BPJS. Panja juga sudah dibuat, tetapi Presiden mengeluarkan Perpres ini artinya Presiden belum dengarkan pandangan DPR," kata Dede.
Menurut Dede, persoalan Jamkes ini harus diselesaikan secara menyeluruh. Sehingga bila ada mismatch seperti saat ini solusinya tidak menggunakan cara instan dengan menaikkan besaran iuran. Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan seharusnya duduk bersama dan melakukan evaluasi atas program yang telah berjalan.
Meski tidak merinci, permasalahan mengenai Indonesian Case Base Groups (INA CBGs) harus dapat diselesaikan. Pasalnya, selama ini dengan biaya pelayanan rumah sakit yang tinggi namun dari sisi fasilitas pelayanan masih kurang.
Dede juga menyarankan, agar tidak banyak masyarakat dengan status PBPU yang berhenti dari program Jamkes ini alangkah baiknya tidak memberlakukan sistem kepesertaan kolektif seluruh anggota keluarga. "Sehingga bila tidak mampu banyar seluruh anggota keluarga, dapat dibayarkan untuk sebagian," kata Dede. (plo/kontan)