ICW: Anggaran Negara 134 Kali Dikorupsi Pada 2015
https://kabar22.blogspot.com/2016/02/icw-anggaran-negara-134-kali-dikorupsi.html
Dari jumlah tersebut, 308 kasus masuk tahap penyidikan pada semester pertama di 2015 dan 242 kasus pada semester kedua.
Adapun dari jumlah kasus tersebut, modus yang paling banyak digunakan adalah penyalahgunaan anggaran dengan jumlah 134 kasus. Sementara kerugian negaranya mencapai Rp 803,3 miliar.
" Modus yang paling sering digunakan pada 2015 adalah penyalahgunaan anggaran sekitar 24 persen atau 134 kasus," ujar Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2016).
Ia mencontohkan, salah satu kasus penyalahgunaan anggaran adalah korupsi dana bansos yang dilakukan Bupati Bengkalis Herliyan saleh. Korupsi tersebut merugikan negara sebesar Rp 29 miliar.
Sementara itu, total nilai kerugian negara akibat kasus korupsi di 2015 mencapai Rp 3,1 triliun.
Selain penyalahgunaan anggaran, modus korupsi yang paling sering digunakan adalah modus penggelapan dengan jumlah 107 kasus. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan yaitu Rp 412,4 miliar.
" Kemudian modus mark-up dengan 104 kasus dan penyalahgunaan wewenang 102 kasus," kata Wana.
Polri mengklaim lebih banyak
Sementara itu, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Erwanto Kurniadi pada kesempatan yang sama menyampaikan sanggahannya terkait paparan data ICW.
Menurut Erwanto, kepolisian tahun lalu menangani lebih banyak perkara daripada angka yang dipaparkan ICW. Namun, menurutnya, itu hanyalah masalah perbedaan persepsi.
Adapun berdasarkan data yang dimiliki Polri, sepanjang 2015 sebanyak 927 perkara sudah masuk ke P21, dengan kerugian negara lebih dari Rp 437 miliar.
"Sebenarnya ini masalah persepsi. Yang dimaksud kasus itu apa, perkara apa. Karena kami menghitungnya perkara," kata Erwanto.
"Kalau ICW menghitung kasus, kami menghitung perkara. Di kami bisa lebih banyak," sambungnya.
Adapun pemantauan yang dilakukan ICW dilakukan dalam periode 1 Juli hingga 31 Desember 2015 dengan sumber website resmi Institusi Penegak Hukum serta pemberitaan di media massa.
Masyarakat Benci Korupsi
Angka Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada 2015 menurun dari tahun sebelumnya. Jika pada 2014 sebesar 3,61, pada 2015 menjadi 3,59. Nilai indeks yang semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa perilaku masyarakat semakin anti-korupsi.
Sebaliknya, nilai IPAK yang semakin mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin menjelaskan, IPAK disusun berdasarkan dua dimensi utama, yaitu indeks persepsi dan indeks pengalaman. Terdapat fenomena menarik di sini.
Jika dilihat dari indeks persepsi, terdapat peningkatan dalam tiga tahun terakhir yakni dengan rincian 3,66 pada tahun 2013, 3,71 pada tahun 2014, dan 3,73 pada tahun 2015.
Sebaliknya, indeks pengalaman justru menurun yakni 3,58 pada 2013, 3,49 pada 2014, dan 3,39 pada 2015. Hal tersebut berarti masyarakat semakin idealis dan membenci korupsi namun tidak sejalan dengan perilakunya di kehidupan sehari-hari.
"Artinya tingkat anti-korupsi masyarakat sudah sebegitu tinggi. Tapi masih kontradiktif dengan praktik di lapangan," kata Suryamin di Kantor BPS, Jakarta, Senin (22/2/2016).
Suryamin menambahkan, kegiatan-kegiatan seperti memberi uang pelicin untuk memperlancar urusan masih banyak terjadi.
Angka indeks persepsi dan indeks pengalaman yang kontradiktif tersebut menjadi sinyal bahwa impelementasi pencegahan korupsi di tataran aplikasi harus ditingkatkan.
" Mungkin masih proses. Perlu pemantauan di lapangan untuk seluruh level. Di pusat dan daerah," ujar Suryamin.
Sementara itu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan menyambut positif angka indeks persepsi yang meningkat. Sebabnya, masyarakat sudah lebih tahu tentang perilaku-perilaku koruptif.
Sedangkan mengenai indeks pengalaman yang menurun, kata Pahala, akan terus diupayakan oleh KPK agar angkanya berbalik naik.
" Jadi, harapan ke depan persepsi meningkat terus. Tapi pengalaman juga harus meningkat," tutur Pahala.
Survei Perilaku Anti Korupsi dilakukan BPS setiap tahunnya sejak 2012. Untuk 2015 survei dilaksanakan pada bulan November dan mencakup 33 provinsi, 170 kabupaten/kota (49 kota dan 122 kabupaten) dengan jumlah sampel 10.000 tumah tangga.
Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan, pemerasan dan nepotisme.
[ bin / kmps ]