Menimbang Nasib Senov Dalam Skandal Freeport Gate
https://kabar22.blogspot.com/2015/12/menimbang-nasib-senov-dalam-skandal.html
BLOKBERITA -- Nama menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (SS) tampaknya sedang di puncak sinar ”kecemerlangan”, pasalnya secara meyakinkan dengan terbuka dan ditonton oleh puluhan juta pemirsa TV berhasil meredam segala pertanyaan dari seluruh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, ia tidak saja menyihir publik dengan jawaban-jawabannya tapi juga membuat sibuk istana. Bahkan saat ia menjalani sesi ke-2 sebagai saksi pelapor pada malam hari dalam sidang Mahkamah Kehormatan (MKD), secara khusus Presiden dan Wakil Presiden meluangkan waktunya untuk “nonton bareng” di Istana.
Langkah SS melaporkan kasus perekaman terhadap Setya Novanto (Senov), Muhammad Riza Cholid (MRC) dengan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Ma’roef Syamsudin (MS) menjadi peristiwa fenomenal yang sangat menyita perhatian publik sebulan terakhir ini. Ditengarai, langkah SS bermula atas desakan dari JK untuk memberi efek jera terhadap Setya Novanto yang selama ini selalu ingin intervensi soal urusan pemerintah. Dan apalagi Jusuf Kalla (JK) yang sejak lama sudah mengintai sepak terjang Muhamad Riza Cholid pun makin optimis, dengan digulirkankannya kasus Novanto ini maka bisa juga menjerat orang yang dituding tokoh kartel minyak Indonesia itu.
Bagi publik, langkah SS memang sangat mengejutkan, karena sepanjang republik ini berdiri baru kali ini seorang menteri yang notabene adalah pembantu presiden berani melaporkan secara terbuka Ketua DPR ke MKD, padahal jabatan Ketua DPR setara Presiden. Apa sebenarnya yang membuat SS berani melakukan itu, padahal ada konsekwensi politik cukup besar jika laporannya dianggap oleh MKD sebagai hasil konspirasi politik jahat nantinya.
Tapi, hal itu sudah diperhitungkan oleh SS tentunya, apalagi seperti banyak kabar dari orang terdekat JK bahwa SS dengan melakukan tindakan ini sepenuhnya di-backup oleh JK. Dan tampaknya bukan saja dukungan dari JK, konon malah Presiden pun ikut pula mendukungnya walaupun menurut informasi dari Menkopolhukam langkah SS tidak didahului pelaporan dengan kepada Presiden. Artinya, kasus Novanto akan lebih mencerminkan pertempuran antara legislatif dan eksekutif.
Menariknya lagi, bukan hanya melibatkan istana, tapi kasus ini juga memercik ke ranah hukum yang diprediksi lebih mempercepat hari akhir karir seorang Setya Novanto (SN). Langkah cepat yang diambil Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini adalah langkah yang sudah tentu patut dipertanyakan. Kita tahu, kasus ini sebenarnya masih dalam proses penanganan MKD, dimana sesuai kehendak Sudirman Said bahwa ekspetasi laporannya hanya pada etik. Namun dengan adanya insiatif Kejaksaan Agung, hal ini malah akan semakin berkembang menjadi kegaduhan politik baru yang akan menjadi ajang kesekian antara kekuatan KMP dan KIH.
Sementara kondisi di dalam MKD sendiri seiring setelah dihadirkannya dua saksi yaitu Sudirman Said dan Ma’roef Syamsudin makin tidak menentu, sebagian anggota menginginkan fokus pada etik saja dan sebagian anggota lainnya minta supaya keputusan MKD nanti bukan hanya etik saja, tapi juga menyangkut rekomendasi penegakkan hukum kepada institusi penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.
Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, kasus perekaman Novanto yang diduga mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, memiliki dasar yang cukup kuat untuk dibawa ke ranah-ranah yang lain. Selain Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sejumlah ranah yang bisa menarik pengusutan kasus tersebut di antaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Panitia Khusus (pansus) DPR.
Namun bukan Novanto namanya bila tidak bisa berkelit dari penegakan hukum. Apalagi dari pihak partai Golkar kini telah terbuka kepada publik akan membelanya secara “mati-matian”. Golkar setidaknya telah berhasil menempatkan anggota MKD nya sebagai pembela Novanto. Kahar Muzakir yang notabene adalah kolega Novanto telah meloloskan diri menjadi ketua sidang pada saat Novanto hadir sebagai terlapor. Hal ini tentu menjadi peluang bagi Novanto untuk membersihkan diri dari tuduhan Sudirman Said. Nampaknya memang Golkar berusaha sekuat tenaga untuk melakukan manuver serangan balik. Berbagai upaya selama ini yang dilakukan oleh anggota MKD asal Golkar itu tak lain adalah strategi Golkar guna menyelamatkan kadernya dari singgasana Ketua DPR.
Kasus perekaman tidak akan terjadi, bila penataan kewenangan kelembagaan legislatif dan eksekutif dipahami oleh semua petingginya. Kita tahu, setelah runtuhnya kekuatan orde baru yang sentralistik, kini dengan kehendak reformasi, kekuasaan negara terjadi tumpang tindih, hampir setiap saat kita menemukan bentuk penyelewengan dari para anggota dewan, tak terkecuali seorang ketua DPR yang sekarang tampak cukup kuat peranannya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Dengan alasan “membantu”, perusahaan asing seperti Freeport tentunya tak lepas dari perhatian seorang ketua DPR, apalagi kerjasama antara Freeport dengan pemerintah sangat strategis dan sering menimbulkan banyak aspek sosial masyarakat disekitarnya. Dari aspek sosial inilah yang dianggap oleh SN sebagai tanggung jawabnya untuk menjembatani kebuntuan yang terjadi selama ini antara pihak PT FI dengan Pemerintah. Aspek lain yang mungkin SN sangat paham yaitu aspek hukum dan kenapa SN sampai berani bertemu dan berwacana dengan PT FI karena ia tahu tentang aspek hukum ini.
Langkah SN bertemu dengan pihak PT FI tentu saja sudah pasti telah diperhitungkannya dengan matang. Apalagi sebagai ketua DPR tentu sudah tahu fungsi lembaga negara yang dipimpinnya yaitu punya kuasa penuh membentuk undang undang. Nah, hal ini yang mendasari perspektifnya untuk menunjukkan kepada pihak PT FI bahwa Undang Undang Minerba yang berlaku sekarang berbeda dengan Undang Undang sebelumnya.
Tapi, kenapa Jokowi dan JK merasa keberatan, padahal semestinya tahu inisiatif SN ini hal yang wajar terutama dalam era keterbukaan manajemen ketatanegaraan. Persoalan sebenarnya bukan masalah inisiatif SN, tapi karena SN salah memilih orang untuk mendampingi bertemu Direktur PT FI, Ma’roef Syamsudin. Dialah Muhammad Riza Chalid (MRC), merupakan orang yang tidak disukai oleh JK. Indikasi JK tidak suka terhadap Riza Cholid, secara gamblang dari getolnya Sudirman Said membawa kasus anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Energy Trading Limited (PT Petral) ke ranah hukum, yang mana berkas audit forensik PT Petral telah diserahkan ke KPK, bahkan saat ini berkas tersebut sudah ditelaah oleh KPK. Siapa saja yang diincar oleh pemerintah. Dari berkas audit forensik tersebut, tak lain tokoh utamanya adalah MRC yang menguasai kebijakan PT Petral terhadap impor minyak.
Di sisi lain, wajar SN mengajak MRC untuk ikut dalam sesi meeting dengan petinggi PT FI karena bagi SN, MRC adalah sahabat yang bisa memahami seluk beluk pertambangan sehingga kelak bisa menguntungkan dirinya baik dari segi politik dan bisnisnya. Tapi, langkah SN tentu menimbulkan kegeraman pada Jokowi dan JK. Lebih lebih JK yang sudah lama tidak suka terhadap seorang MRC dimana JK pernah dikhianatinya melalui orang kepercayaan MRC yang pernah ikut dalam rombongan staf khusus staf wakil Presiden ketika JK menjadi wakil presiden di periode 2004-2009. Diduga kuat MRC sebagai mafia minyak di era kekuasaan Presiden SBY periode kedua, setelah JK tidak lagi menjadi Wapresnya.
Kabarnya dari hasil monopoli impor migas, MRC diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar 423 triliun rupiah. Karena itu tidak heran jika banyak pengamat politik mengatakan penyumbang terbesar pasangan capres Prabowo- Hatta pada tahun lalu itu adalah MRC. Dari perhelatan yang berujung kekalahan menurut sumber terpercaya, MRC telah menggelontorkan dana puluhan triliun rupiah, dana tersebut diluar biaya sewa dan operasional markas pemenangan capres nomor satu kala itu.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean, MRC yang juga sang pengusaha besar di sektor migas ini penyokong kampanye pasangan Prabowo-Hatta di pilpres 2014 lalu. Ferdinand menduga keterlibatan MRC dalam negosiasi ilegal bersama Setya Novanto terkait dengan kepentingan bisnis MRC. MRC sedang membangun jembatan menuju ruangan presiden yang selama ini tertutup untuk mafia migas. Kuat dugaan, MRC sedang memanfaatkan Setya Novanto untuk menjadi jembatan bagi dirinya masuk kelingkaran Presiden Jokowi-JK. Apalagi, posisi Setya Novanto yang Ketua DPR memiliki hubungan baik dengan presiden. “Ini fakta kuat bagi kita, bahwa perlawanan dan manuver mafia migas sangat kuat dan hampir masuk kelingkaran Jokowi. Hal ini berbahaya karena praktek kemafiaan hingga saat ini belum berakhir,” urainya.
Oleh karenanya, tidak mungkin seorang Setya Novanto yang telah berpengalaman menjadi pebisnis dan juga beberapa periode sebagai anggota DPR berani mencatut begitu saja nama presiden dan wapres dalam kaitannya dengan perpanjangan PT Freeport kalau tidak ada sebab musababnya. Melakukan apa yang dilakukan Setya Novanto pasti sudah berlangsung lama, bahkan sejak era reformasi bergulir. Sudah puluhan tahun setiap berganti rezim yang diutak atik oleh pemimpin elit negeri ini adalah soal penanaman modal asing dan proses negosiasi selalu dilakukan dengan cara tertutup. Mungkin karena sudah terbiasa, maka pejabat Freeport pun aksi rekam merekam sudah lama dilakukan. Dan secara kebetulan langkah SN ini ada yang tidak dikehendaki dari istana sehingga perekaman tersebut diminta untuk sebagai bukti hukum yang nantinya menjerat Novanto.
Sesungguhnya, apa yang didengar berdasar rekaman SN secara sadar sebetulnya sudah tahu mana yang ia harus lakukan tanpa melanggar hukum, bahkan kepatutannya sebagai ketua DPR. Maka tak salah pihak Golkar terus memperjuangkannya agar kasus perekaman segera dihentikan tanpa terkait dengan etika atau pun hukum pidana. Begitu juga menurut penasehat hukumnya, Firman Wijaya, bahwa Novanto tidak ada yang dilanggar olehnya. Namun, secara etika politik bisa saja kurang patut karena yang seharusnya dilakukan di Gedung Dewan, ia lakukan di tempat yang bukan pada tempatnya, malah melibatkan seorang pengusaha kartel minyak.
Setya Novanto sendiri harus siap menanggung resiko, yang bisa dikatakan resiko paling berat selama ia menjalani karir politiknya. Apalagi, bukti-bukti sudah di tangan penegak hukum. Sepertinya, apa yang ia rasakan saat bertemu dengan petinggi PT FI berbanding terbalik dari apa yang ingin ia gapai. Ia kini tengah menunggu nasib dari ketokan palu MKD yang kemungkinan ia di vonis bersalah karena melanggar etik. Dasarnya jelas, ia bertemu dengan pihak swasta di luar tempat resmi sebagai pejabat negara dan membicarakan bukan hal kewenangannya.
Berikutnya, ia menunggu hasil penyelidikan dari penegak hukum dari Kejaksaan Agung, yang sedari awal kelihatan menggebu-gebu untuk membekap kasus ini sebagai awal pencitraan Kejaksaan Agung, sejak kasus bansos Provinsi Sumatera Utara bergulir. Novanto sengaja akan dijerat dengan pasal pemufakatan jahat yang nasibnya nanti akan hampir sama seperti seniornya, Akbar Tanjung pada era Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dulu. (inrev/bmw)
Langkah SS melaporkan kasus perekaman terhadap Setya Novanto (Senov), Muhammad Riza Cholid (MRC) dengan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Ma’roef Syamsudin (MS) menjadi peristiwa fenomenal yang sangat menyita perhatian publik sebulan terakhir ini. Ditengarai, langkah SS bermula atas desakan dari JK untuk memberi efek jera terhadap Setya Novanto yang selama ini selalu ingin intervensi soal urusan pemerintah. Dan apalagi Jusuf Kalla (JK) yang sejak lama sudah mengintai sepak terjang Muhamad Riza Cholid pun makin optimis, dengan digulirkankannya kasus Novanto ini maka bisa juga menjerat orang yang dituding tokoh kartel minyak Indonesia itu.
Bagi publik, langkah SS memang sangat mengejutkan, karena sepanjang republik ini berdiri baru kali ini seorang menteri yang notabene adalah pembantu presiden berani melaporkan secara terbuka Ketua DPR ke MKD, padahal jabatan Ketua DPR setara Presiden. Apa sebenarnya yang membuat SS berani melakukan itu, padahal ada konsekwensi politik cukup besar jika laporannya dianggap oleh MKD sebagai hasil konspirasi politik jahat nantinya.
Tapi, hal itu sudah diperhitungkan oleh SS tentunya, apalagi seperti banyak kabar dari orang terdekat JK bahwa SS dengan melakukan tindakan ini sepenuhnya di-backup oleh JK. Dan tampaknya bukan saja dukungan dari JK, konon malah Presiden pun ikut pula mendukungnya walaupun menurut informasi dari Menkopolhukam langkah SS tidak didahului pelaporan dengan kepada Presiden. Artinya, kasus Novanto akan lebih mencerminkan pertempuran antara legislatif dan eksekutif.
Menariknya lagi, bukan hanya melibatkan istana, tapi kasus ini juga memercik ke ranah hukum yang diprediksi lebih mempercepat hari akhir karir seorang Setya Novanto (SN). Langkah cepat yang diambil Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini adalah langkah yang sudah tentu patut dipertanyakan. Kita tahu, kasus ini sebenarnya masih dalam proses penanganan MKD, dimana sesuai kehendak Sudirman Said bahwa ekspetasi laporannya hanya pada etik. Namun dengan adanya insiatif Kejaksaan Agung, hal ini malah akan semakin berkembang menjadi kegaduhan politik baru yang akan menjadi ajang kesekian antara kekuatan KMP dan KIH.
Sementara kondisi di dalam MKD sendiri seiring setelah dihadirkannya dua saksi yaitu Sudirman Said dan Ma’roef Syamsudin makin tidak menentu, sebagian anggota menginginkan fokus pada etik saja dan sebagian anggota lainnya minta supaya keputusan MKD nanti bukan hanya etik saja, tapi juga menyangkut rekomendasi penegakkan hukum kepada institusi penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.
Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, kasus perekaman Novanto yang diduga mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, memiliki dasar yang cukup kuat untuk dibawa ke ranah-ranah yang lain. Selain Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sejumlah ranah yang bisa menarik pengusutan kasus tersebut di antaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Panitia Khusus (pansus) DPR.
Namun bukan Novanto namanya bila tidak bisa berkelit dari penegakan hukum. Apalagi dari pihak partai Golkar kini telah terbuka kepada publik akan membelanya secara “mati-matian”. Golkar setidaknya telah berhasil menempatkan anggota MKD nya sebagai pembela Novanto. Kahar Muzakir yang notabene adalah kolega Novanto telah meloloskan diri menjadi ketua sidang pada saat Novanto hadir sebagai terlapor. Hal ini tentu menjadi peluang bagi Novanto untuk membersihkan diri dari tuduhan Sudirman Said. Nampaknya memang Golkar berusaha sekuat tenaga untuk melakukan manuver serangan balik. Berbagai upaya selama ini yang dilakukan oleh anggota MKD asal Golkar itu tak lain adalah strategi Golkar guna menyelamatkan kadernya dari singgasana Ketua DPR.
Kasus perekaman tidak akan terjadi, bila penataan kewenangan kelembagaan legislatif dan eksekutif dipahami oleh semua petingginya. Kita tahu, setelah runtuhnya kekuatan orde baru yang sentralistik, kini dengan kehendak reformasi, kekuasaan negara terjadi tumpang tindih, hampir setiap saat kita menemukan bentuk penyelewengan dari para anggota dewan, tak terkecuali seorang ketua DPR yang sekarang tampak cukup kuat peranannya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Dengan alasan “membantu”, perusahaan asing seperti Freeport tentunya tak lepas dari perhatian seorang ketua DPR, apalagi kerjasama antara Freeport dengan pemerintah sangat strategis dan sering menimbulkan banyak aspek sosial masyarakat disekitarnya. Dari aspek sosial inilah yang dianggap oleh SN sebagai tanggung jawabnya untuk menjembatani kebuntuan yang terjadi selama ini antara pihak PT FI dengan Pemerintah. Aspek lain yang mungkin SN sangat paham yaitu aspek hukum dan kenapa SN sampai berani bertemu dan berwacana dengan PT FI karena ia tahu tentang aspek hukum ini.
Langkah SN bertemu dengan pihak PT FI tentu saja sudah pasti telah diperhitungkannya dengan matang. Apalagi sebagai ketua DPR tentu sudah tahu fungsi lembaga negara yang dipimpinnya yaitu punya kuasa penuh membentuk undang undang. Nah, hal ini yang mendasari perspektifnya untuk menunjukkan kepada pihak PT FI bahwa Undang Undang Minerba yang berlaku sekarang berbeda dengan Undang Undang sebelumnya.
Tapi, kenapa Jokowi dan JK merasa keberatan, padahal semestinya tahu inisiatif SN ini hal yang wajar terutama dalam era keterbukaan manajemen ketatanegaraan. Persoalan sebenarnya bukan masalah inisiatif SN, tapi karena SN salah memilih orang untuk mendampingi bertemu Direktur PT FI, Ma’roef Syamsudin. Dialah Muhammad Riza Chalid (MRC), merupakan orang yang tidak disukai oleh JK. Indikasi JK tidak suka terhadap Riza Cholid, secara gamblang dari getolnya Sudirman Said membawa kasus anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Energy Trading Limited (PT Petral) ke ranah hukum, yang mana berkas audit forensik PT Petral telah diserahkan ke KPK, bahkan saat ini berkas tersebut sudah ditelaah oleh KPK. Siapa saja yang diincar oleh pemerintah. Dari berkas audit forensik tersebut, tak lain tokoh utamanya adalah MRC yang menguasai kebijakan PT Petral terhadap impor minyak.
Di sisi lain, wajar SN mengajak MRC untuk ikut dalam sesi meeting dengan petinggi PT FI karena bagi SN, MRC adalah sahabat yang bisa memahami seluk beluk pertambangan sehingga kelak bisa menguntungkan dirinya baik dari segi politik dan bisnisnya. Tapi, langkah SN tentu menimbulkan kegeraman pada Jokowi dan JK. Lebih lebih JK yang sudah lama tidak suka terhadap seorang MRC dimana JK pernah dikhianatinya melalui orang kepercayaan MRC yang pernah ikut dalam rombongan staf khusus staf wakil Presiden ketika JK menjadi wakil presiden di periode 2004-2009. Diduga kuat MRC sebagai mafia minyak di era kekuasaan Presiden SBY periode kedua, setelah JK tidak lagi menjadi Wapresnya.
Kabarnya dari hasil monopoli impor migas, MRC diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar 423 triliun rupiah. Karena itu tidak heran jika banyak pengamat politik mengatakan penyumbang terbesar pasangan capres Prabowo- Hatta pada tahun lalu itu adalah MRC. Dari perhelatan yang berujung kekalahan menurut sumber terpercaya, MRC telah menggelontorkan dana puluhan triliun rupiah, dana tersebut diluar biaya sewa dan operasional markas pemenangan capres nomor satu kala itu.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean, MRC yang juga sang pengusaha besar di sektor migas ini penyokong kampanye pasangan Prabowo-Hatta di pilpres 2014 lalu. Ferdinand menduga keterlibatan MRC dalam negosiasi ilegal bersama Setya Novanto terkait dengan kepentingan bisnis MRC. MRC sedang membangun jembatan menuju ruangan presiden yang selama ini tertutup untuk mafia migas. Kuat dugaan, MRC sedang memanfaatkan Setya Novanto untuk menjadi jembatan bagi dirinya masuk kelingkaran Presiden Jokowi-JK. Apalagi, posisi Setya Novanto yang Ketua DPR memiliki hubungan baik dengan presiden. “Ini fakta kuat bagi kita, bahwa perlawanan dan manuver mafia migas sangat kuat dan hampir masuk kelingkaran Jokowi. Hal ini berbahaya karena praktek kemafiaan hingga saat ini belum berakhir,” urainya.
Oleh karenanya, tidak mungkin seorang Setya Novanto yang telah berpengalaman menjadi pebisnis dan juga beberapa periode sebagai anggota DPR berani mencatut begitu saja nama presiden dan wapres dalam kaitannya dengan perpanjangan PT Freeport kalau tidak ada sebab musababnya. Melakukan apa yang dilakukan Setya Novanto pasti sudah berlangsung lama, bahkan sejak era reformasi bergulir. Sudah puluhan tahun setiap berganti rezim yang diutak atik oleh pemimpin elit negeri ini adalah soal penanaman modal asing dan proses negosiasi selalu dilakukan dengan cara tertutup. Mungkin karena sudah terbiasa, maka pejabat Freeport pun aksi rekam merekam sudah lama dilakukan. Dan secara kebetulan langkah SN ini ada yang tidak dikehendaki dari istana sehingga perekaman tersebut diminta untuk sebagai bukti hukum yang nantinya menjerat Novanto.
Sesungguhnya, apa yang didengar berdasar rekaman SN secara sadar sebetulnya sudah tahu mana yang ia harus lakukan tanpa melanggar hukum, bahkan kepatutannya sebagai ketua DPR. Maka tak salah pihak Golkar terus memperjuangkannya agar kasus perekaman segera dihentikan tanpa terkait dengan etika atau pun hukum pidana. Begitu juga menurut penasehat hukumnya, Firman Wijaya, bahwa Novanto tidak ada yang dilanggar olehnya. Namun, secara etika politik bisa saja kurang patut karena yang seharusnya dilakukan di Gedung Dewan, ia lakukan di tempat yang bukan pada tempatnya, malah melibatkan seorang pengusaha kartel minyak.
Setya Novanto sendiri harus siap menanggung resiko, yang bisa dikatakan resiko paling berat selama ia menjalani karir politiknya. Apalagi, bukti-bukti sudah di tangan penegak hukum. Sepertinya, apa yang ia rasakan saat bertemu dengan petinggi PT FI berbanding terbalik dari apa yang ingin ia gapai. Ia kini tengah menunggu nasib dari ketokan palu MKD yang kemungkinan ia di vonis bersalah karena melanggar etik. Dasarnya jelas, ia bertemu dengan pihak swasta di luar tempat resmi sebagai pejabat negara dan membicarakan bukan hal kewenangannya.
Berikutnya, ia menunggu hasil penyelidikan dari penegak hukum dari Kejaksaan Agung, yang sedari awal kelihatan menggebu-gebu untuk membekap kasus ini sebagai awal pencitraan Kejaksaan Agung, sejak kasus bansos Provinsi Sumatera Utara bergulir. Novanto sengaja akan dijerat dengan pasal pemufakatan jahat yang nasibnya nanti akan hampir sama seperti seniornya, Akbar Tanjung pada era Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dulu. (inrev/bmw)