Dampak Resesi Ekonomi Cina ke Dunia

BLOKBERITA -- Kini banyak apartemen kosong melompong, dan kapasitas pabrik serta infrastruktur menganggur di Cina. Para investor pun kalang kabut karena kekayaannya menguap.

Semua itu adalah akibat dari harapan berlebihan terhadap Cina. Sebuah harapan yang diwujudkan dengan investasi secara besar-besaran oleh para investor dari seluruh dunia. Di masa jayanya, Cina adalah anak emas para bankir, yang tak segan mengucurkan miliaran dolar ke negeri panda tersebut.

Pesta pora para investor dan puji sanjung kepada penguasa Cina pun tak berhenti selama puluhan tahun. Maklum, terutama setelah liberalisasi pada 1992, perekonomian Cina tumbuh sangat pesat. Dalam periode 1992-2006, ekspornya bahkan melesat 95%. Pada 2010, dengan nilai US$ 1,5 triliun, Cina bahkan menggusur Jerman sebagai eksportir terbesar di dunia.

Semua itu menunjukkan bahwa industrialisasi berjalan sangat kencang di Cina. Demikian kencangnya sehingga, pada 2007, sanggup menggusur Jerman sebagai ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Pada 2010, Cina naik lagi dengan menggusur Jepang. Banyak ekonomi kemudian meramalkan, antara tahun 2020 dan 2030, Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Namun, di balik itu semua, sesungguhnya gejala merosotnya ekonomi Cina mulai terasa pada 2008. Yakni ketika resesi ekonomi melanda Amerika dan Eropa, yang akhirnya menjadi krisis global. Krisis tersebut menyebabkan ekspor Cina, yang merupakan sumber utama kekuatan ekonominya,  merosot karena Amerika dan Eropa adalah pasar utama Cina.

Pada November 2008, pertumbuhan ekspor Cina tercatat minus 2,2% dari 20% pada bulan sebelumnya. Secara keseluruhan, ekpor Cina rontok 17% pada 2009.  Setelah itu pertumbuhan ekspor ekonomi cina kembali positif, tapi hanya tipis saja karena pemulihan ekonomi di negara maju berjalan lambat.

Untuk mengimbangi kemerosotan ekspor, pemerintah Cina menggejot konsumsi dalam negeri. Rakyat Cina juga disenangkan dengan penggelembungan investasi di sektor properti. Pabrik-pabrik baja dan semen pun menjamur karena dipicu oleh jorjoran kredit dari bank-bank BUMN untuk perumahan.

Pemerintah Cina juga terus mendorong pembangunan industri manufaktur  di berbagai sektor.  Tak pelak, industri baja yang sangat dibutuhkan oleh sektor properti, ikut tumbuh subur. Lihat saja, bila pada 1980 produksi baja Cina hanya 8% dari total produksi dunia, kini mencapai sekitar 61%. Sementara itu, selama periode 2002-2011, harga baja melesat sampai 12 kali lipat. Hanya saja, harga baja Cina kini sudah anjlok 50%.

Demikian besarnya gairah Cina di sektor properti sehingga, antara tahun 2011 sampai 2013, negeri ini menghabiskan 6,6 gigaton semen. Jumlah ini lebih banyak dari seluruh konsumsi semen Amerika Serikat di sepanjang abad 20!

Seiring dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi dan harga-harga saham, kini para investor menyadari bahwa telah terjadi investasi berlebihan. Akibatnya, makin banyak orang tak sanggup mencicil rumah, dan banyak pabrik – utamanya yang terkait dengan properti - mengalami kelebihan kapasitas produksi.

Hal ini mengingatkan pada resesi ekonomi Amerika Serikat pada 2008. Resesi ini dipicu oleh jorjoran kredit untuk perumahan, yang menyebabkan kredit macet melesat sangat cepat. Akibatnya, perekonomian nasional Amerika Serikat mengalami resesi.

Di masa kejayaannya, pada 2005, sektor perumahan di Amerika Serikat menyumbang 5% PDB nasional. Bila kini perekonomian Cina lebih menderita, ini karena sektor properti menyumbang 20% dari PDB nasional.

Maka tak mengherankan bila kini Cina sedang berhadapan dengan kredit macet dan kelebihan kapasitas industri terbesar dalam sejarahnya. Sampai akhir Juni, utang swasta di Cina mencapai 207% dari PDB nasional. Nilai kredit bermasalahnya diperkirakan bernilai sampai US$ 3,5 triliun, sementara nilai total asset perbankan Cina adalah sekitar US$ 1,5 triliun. Sedangkan nilai investasi yang tak produktif,  menurut para peneliti di Badan Perencanaan Nasional Cina, mencapai US$ 6,8 triliun.   

Betapa dahsyatnya pengaruh buruk sektor properti terhadap perekonomian nasional sebenarnya juga pernah dirasakan Jepang pada 1991. Di tahun ini perekonomian dihantam resesi yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Biang keladinya sama dengan Amerika Serikat dan Cina, yaitu jorjoran kredit properti.

Dalam situasi seperti sekarang, untuk mendongkrak ekspornya, tak mustahil bila Cina nekat mendevaluasi nilai mata uangnya secara radikal. Bila ini terjadi, perang mata uang bakal makin seru dan perekonomian dunia kian tak menentu.

Akankah Indonesia menjadi korban ?      

[ Inrev / bbcom ]




esianReview.com -- Kini banyak apartemen kosong melompong, dan kapasitas pabrik serta infrastruktur menganggur di Cina. Para investor pun kalang kabut karena kekayaannya menguap.
Semua itu adalah akibat dari harapan berlebihan terhadap Cina. Sebuah harapan yang diwujudkan dengan investasi secara besar-besaran oleh para investor dari seluruh dunia. Di masa jayanya, Cina adalah anak emas para bankir, yang tak segan mengucurkan miliaran dolar ke negeri panda tersebut.
Pesta pora para investor dan puji sanjung kepada penguasa Cina pun tak berhenti selama puluhan tahun. Maklum, terutama setelah liberalisasi pada 1992, perekonomian Cina tumbuh sangat pesat. Dalam periode 1992-2006, ekspornya bahkan melesat 95%. Pada 2010, dengan nilai US$ 1,5 triliun, Cina bahkan menggusur Jerman sebagai eksportir terbesar di dunia.
Semua itu menunjukkan bahwa industrialisasi berjalan sangat kencang di Cina. Demikian kencangnya sehingga, pada 2007, sanggup menggusur Jerman sebagai ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Pada 2010, Cina naik lagi dengan menggusur Jepang. Banyak ekonomi kemudian meramalkan, antara tahun 2020 dan 2030, Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Namun, di balik itu semua, sesungguhnya gejala merosotnya ekonomi Cina mulai terasa pada 2008. Yakni ketika resesi ekonomi melanda Amerika dan Eropa, yang akhirnya menjadi krisis global. Krisis tersebut menyebabkan ekspor Cina, yang merupakan sumber utama kekuatan ekonominya,  merosot karena Amerika dan Eropa adalah pasar utama Cina.
Pada November 2008, pertumbuhan ekspor Cina tercatat minus 2,2% dari 20% pada bulan sebelumnya. Secara keseluruhan, ekpor Cina rontok 17% pada 2009.  Setelah itu pertumbuhan ekspor ekonomi cina kembali positif, tapi hanya tipis saja karena pemulihan ekonomi di negara maju berjalan lambat.
Untuk mengimbangi kemerosotan ekspor, pemerintah Cina menggejot konsumsi dalam negeri. Rakyat Cina juga disenangkan dengan penggelembungan investasi di sektor properti. Pabrik-pabrik baja dan semen pun menjamur karena dipicu oleh jorjoran kredit dari bank-bank BUMN untuk perumahan.
Pemerintah Cina juga terus mendorong pembangunan industri manufaktur  di berbagai sektor.  Tak pelak, industri baja yang sangat dibutuhkan oleh sektor properti, ikut tumbuh subur. Lihat saja, bila pada 1980 produksi baja Cina hanya 8% dari total produksi dunia, kini mencapai sekitar 61%. Sementara itu, selama periode 2002-2011, harga baja melesat sampai 12 kali lipat. Hanya saja, harga baja Cina kini sudah anjlok 50%.
Demikian besarnya gairah Cina di sektor properti sehingga, antara tahun 2011 sampai 2013, negeri ini menghabiskan 6,6 gigaton semen. Jumlah ini lebih banyak dari seluruh konsumsi semen Amerika Serikat di sepanjang abad 20!
Seiring dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi dan harga-harga saham, kini para investor menyadari bahwa telah terjadi investasi berlebihan. Akibatnya, makin banyak orang tak sanggup mencicil rumah, dan banyak pabrik – utamanya yang terkait dengan properti - mengalami kelebihan kapasitas produksi.
Hal ini mengingatkan pada resesi ekonomi Amerika Serikat pada 2008. Resesi ini dipicu oleh jorjoran kredit untuk perumahan, yang menyebabkan kredit macet melesat sangat cepat. Akibatnya, perekonomian nasional Amerika Serikat mengalami resesi.
Di masa kejayaannya, pada 2005, sektor perumahan di Amerika Serikat menyumbang 5% PDB nasional. Bila kini perekonomian Cina lebih menderita, ini karena sektor properti menyumbang 20% dari PDB nasional.
Maka tak mengherankan bila kini Cina sedang berhadapan dengan kredit macet dan kelebihan kapasitas industri terbesar dalam sejarahnya. Sampai akhir Juni, utang swasta di Cina mencapai 207% dari PDB nasional. Nilai kredit bermasalahnya diperkirakan bernilai sampai US$ 3,5 triliun, sementara nilai total asset perbankan Cina adalah sekitar US$ 1,5 triliun. Sedangkan nilai investasi yang tak produktif,  menurut para peneliti di Badan Perencanaan Nasional Cina, mencapai US$ 6,8 triliun.   
Betapa dahsyatnya pengaruh buruk sektor properti terhadap perekonomian nasional sebenarnya juga pernah dirasakan Jepang pada 1991. Di tahun ini perekonomian dihantam resesi yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Biang keladinya sama dengan Amerika Serikat dan Cina, yaitu jorjoran kredit properti.
Dalam situasi seperti sekarang, untuk mendongkrak ekspornya, tak mustahil bila Cina nekat mendevaluasi nilai mata uangnya secara radikal. Bila ini terjadi, perang mata uang bakal makin seru dan perekonomian dunia kian tak menentu.
Semoga Indonesia tak menjadi korban.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/dunia-makin-gelap#sthash.K2cSBYJw.dpuf
View

Related

EKBIS 7495650520922783245

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item