Mewaspadai "Bahaya Kuning": Tak Ada Proyek Tanpa China
https://kabar22.blogspot.com/2015/07/mewaspadai-bahaya-kuning-tak-ada-proyek.html
BLOKBERITA -- Mirip dengan iklan Teh Botol: “Apapun proyeknya, China pemodalnya.” Inilah yang terjadi di era pembangunan saat ini.
China paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu, sampai sekarang pemerintah masih bungkam.
Lihat saja, Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga tergolong tertinggi di dunia.
Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650 triliun oleh dua bank BUMN dari China - Development Bank of China dan International and Commercial Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit, dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.
Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi. Persyaratan standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.
Bila gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu. Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari China, persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak China juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum , para kontraktor China dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk menggarap proyek dimana saja berada.
Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi China. Ini karena perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi China, karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.
Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan China.
Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena ternyata bus-bus buatan China yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.
Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di atas, dan tetap mengandalkan China seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena China sanggup menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari Negeri Panda ini dalam menebar angpao.
Indonesia Diketiak China
Ekspansi ekonomi Cina di Indonesia kian tak terbendung. Investasinya merebak di seluruh negeri. Poros Jakarta-Peking hidup lagi?
Dulu, pada 1964, mendiang presiden Soekarno membangun Poros Jakarta -Peking untuk mengganyang Inggris dan sekutunya di Malaysia. Kemerdekaan Malaysia dan keberadaan kekuatan militer Inggris disana, di mata Soekarno, adalah ancaman bagi kedaulatan negara. Oleh karena itu dia ingin menjadikan Cina sebagai sekutunya menghadapi Inggris dan seluruh kekuatan Commonwealth yang berada di belakang ‘negara boneka’ bernama Malaysia.
Di bawah Presiden Jokowi, Poros tersebut seolah hidup kembali. Ini ditandai dengan kemesraan Jokowi dengan presiden Cina selama Konfrensi Asia-Afrika tahun ini. Sejak dilantik menjadi presiden 6 bulan lalu, Jokowi bahkan sudah dua kali bertandang ke Cina.
Jokowi juga menawarkan proyek-proyek raksasa infrastruktur kepada Cina. Sebaliknya, Cina menawarkan kredit bernilai puluhan miliar dollar kepada Indonesia. Maka jangan heran kalau produk-produk Cina bakal makin membanjir ke segala pelosok Nusantara.
Pada kuartal pertama tahun ini, menurut catatan BKPM, Cina bahkan untuk pertama kali masuk dalam daftar 10 investor terbesar di Indonesia. Mengingat gairah yang besar di kalangan pengusaha Cina dan keramahan pemerintah kepada Beijing, tak mustahil bila nilai investasi dari negara komunis tersebut melesat lebih jauh di masa mendatang. Apalagi Cina juga sangat piawai dalam pendekatan kepada pemerintah sehingga sukses menggaet berbagai proyek infrastruktur raksasa.
Sama dengan Soekarno, alasan Jokowi mendekat ke Cina adalah karena sulit mencari bantuan dari negara lain. Di masa Soekarno, pendekatan ke Cina dilakukan karena tak ada negara besar yang mau membantu Indonesia. Maklum, yang diajak berkonfrontasi oleh Soekarno adalah Inggris dan seluruh jajaran Commonwealth, yang dia tuding sebagai neo-kolonialis paling berbahaya. Sokarno tak perduli bahwa di belakang Inggris ada Amerika Serikat.
Di zaman Jokowi, banyak negara enggan memberi bantuan karena keinginan sang presiden dianggap tidak realistis. Meski kantung pemerintah cekak, dia bernafsu membangun ribuan kilometer jalan tol, lusinan bendungan, mencetak sejuta hektar sawah, dan sebagainya.
Presiden juga dianggap gagal, bahkan memperburuk upaya pemberantasan korupsi. Kini dia juga sedang disoroti karena melakukan pembiaran terhadap penolakan Kabreskrim Komjen Budi Waseso untuk menyerahkan daftar kekayaan kepada KPK. Maka, untuk memberi utang kepada pemerintah, para kreditor mengajukan syarat lebih berat.
Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh Cina. Salah satunya tampak dalam kasus pembangunan jalur kereta super cepat Jakarta Bandung yang bernilai sekitar US 6 miliar. Pemerintah Jepang yang telah menghamburkan jutaan dollar AS untuk melakukan studi kelayakan selama lima tahun, dibuat shock oleh pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memakai produk Cina. Alasanya, Cina memberi persyaratan lebih ringan dalam pembiayaan proyek raksasa tersebut.
Entah kenapa, Rini tak mengaitkan persyaratan tersebut dengan kualitas. Kini pemerintah sudah berulang kali dibuat puyeng oleh rendahnya kualitas sejumlah pembangkit listrik buatan Cina yang sering membuat mati lampu. Sementara itu program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt, yang didominasi Cina, juga tak kunjung rampung.
Tak kalah merunyamkan adalah kasus Merpati Nusantara Airlines yang tak jelas masih mati suri atau sungguhan. Malapetaka Merpati berawal dari pemaksaan untuk membeli 60 unit pesawat berkapasitas 60 penumpang jenis MA 60 buatan Xi’an Aircraft Industries. Proyek ini ditangani oleh Jusuf Kalla ketika masih menjadi Wapres di bawah SBY.
Manajamen BUMN ini awalnya berkeras menolak pemaksaan pembelian pesawat bernilai total US$ 950 juta ini karena bisa membangkrutkan Merpati. Alasan penolakan ini, selain pesawat berkualitas rendah, Merpati tak akan sanggup menanggung beban utang pembeliannya.
Lalu Cina menjadikan program pembelian pesawat tersebut sebagai sandera bagi pengucuran kredit untuk program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Hasilnya, pembelian tersebut terealisasi. Lalu, sejak Januari 2014 Merpati lumpuh total lantaran terbelit utang Rp 7,3 triliun.
Bila nanti Cina masih mendominasi proyek-proyek raksasa Jokowi, tak berlebihan bila ada yang percaya bahwa Merpati-Merpati baru bakal bermunculan. Apalagi pemerintah tampaknya masih senang berada di ketiak Cina asalkan proyek-proyeknya jalan.
[ bin / inrev ]
China paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu, sampai sekarang pemerintah masih bungkam.
Lihat saja, Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga tergolong tertinggi di dunia.
Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650 triliun oleh dua bank BUMN dari China - Development Bank of China dan International and Commercial Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit, dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.
Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi. Persyaratan standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.
Bila gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu. Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari China, persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak China juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum , para kontraktor China dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk menggarap proyek dimana saja berada.
Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi China. Ini karena perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi China, karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.
Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan China.
Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena ternyata bus-bus buatan China yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.
Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di atas, dan tetap mengandalkan China seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena China sanggup menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari Negeri Panda ini dalam menebar angpao.
Indonesia Diketiak China
Ekspansi ekonomi Cina di Indonesia kian tak terbendung. Investasinya merebak di seluruh negeri. Poros Jakarta-Peking hidup lagi?
Dulu, pada 1964, mendiang presiden Soekarno membangun Poros Jakarta -Peking untuk mengganyang Inggris dan sekutunya di Malaysia. Kemerdekaan Malaysia dan keberadaan kekuatan militer Inggris disana, di mata Soekarno, adalah ancaman bagi kedaulatan negara. Oleh karena itu dia ingin menjadikan Cina sebagai sekutunya menghadapi Inggris dan seluruh kekuatan Commonwealth yang berada di belakang ‘negara boneka’ bernama Malaysia.
Di bawah Presiden Jokowi, Poros tersebut seolah hidup kembali. Ini ditandai dengan kemesraan Jokowi dengan presiden Cina selama Konfrensi Asia-Afrika tahun ini. Sejak dilantik menjadi presiden 6 bulan lalu, Jokowi bahkan sudah dua kali bertandang ke Cina.
Jokowi juga menawarkan proyek-proyek raksasa infrastruktur kepada Cina. Sebaliknya, Cina menawarkan kredit bernilai puluhan miliar dollar kepada Indonesia. Maka jangan heran kalau produk-produk Cina bakal makin membanjir ke segala pelosok Nusantara.
Pada kuartal pertama tahun ini, menurut catatan BKPM, Cina bahkan untuk pertama kali masuk dalam daftar 10 investor terbesar di Indonesia. Mengingat gairah yang besar di kalangan pengusaha Cina dan keramahan pemerintah kepada Beijing, tak mustahil bila nilai investasi dari negara komunis tersebut melesat lebih jauh di masa mendatang. Apalagi Cina juga sangat piawai dalam pendekatan kepada pemerintah sehingga sukses menggaet berbagai proyek infrastruktur raksasa.
Sama dengan Soekarno, alasan Jokowi mendekat ke Cina adalah karena sulit mencari bantuan dari negara lain. Di masa Soekarno, pendekatan ke Cina dilakukan karena tak ada negara besar yang mau membantu Indonesia. Maklum, yang diajak berkonfrontasi oleh Soekarno adalah Inggris dan seluruh jajaran Commonwealth, yang dia tuding sebagai neo-kolonialis paling berbahaya. Sokarno tak perduli bahwa di belakang Inggris ada Amerika Serikat.
Di zaman Jokowi, banyak negara enggan memberi bantuan karena keinginan sang presiden dianggap tidak realistis. Meski kantung pemerintah cekak, dia bernafsu membangun ribuan kilometer jalan tol, lusinan bendungan, mencetak sejuta hektar sawah, dan sebagainya.
Presiden juga dianggap gagal, bahkan memperburuk upaya pemberantasan korupsi. Kini dia juga sedang disoroti karena melakukan pembiaran terhadap penolakan Kabreskrim Komjen Budi Waseso untuk menyerahkan daftar kekayaan kepada KPK. Maka, untuk memberi utang kepada pemerintah, para kreditor mengajukan syarat lebih berat.
Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh Cina. Salah satunya tampak dalam kasus pembangunan jalur kereta super cepat Jakarta Bandung yang bernilai sekitar US 6 miliar. Pemerintah Jepang yang telah menghamburkan jutaan dollar AS untuk melakukan studi kelayakan selama lima tahun, dibuat shock oleh pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memakai produk Cina. Alasanya, Cina memberi persyaratan lebih ringan dalam pembiayaan proyek raksasa tersebut.
Entah kenapa, Rini tak mengaitkan persyaratan tersebut dengan kualitas. Kini pemerintah sudah berulang kali dibuat puyeng oleh rendahnya kualitas sejumlah pembangkit listrik buatan Cina yang sering membuat mati lampu. Sementara itu program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt, yang didominasi Cina, juga tak kunjung rampung.
Tak kalah merunyamkan adalah kasus Merpati Nusantara Airlines yang tak jelas masih mati suri atau sungguhan. Malapetaka Merpati berawal dari pemaksaan untuk membeli 60 unit pesawat berkapasitas 60 penumpang jenis MA 60 buatan Xi’an Aircraft Industries. Proyek ini ditangani oleh Jusuf Kalla ketika masih menjadi Wapres di bawah SBY.
Manajamen BUMN ini awalnya berkeras menolak pemaksaan pembelian pesawat bernilai total US$ 950 juta ini karena bisa membangkrutkan Merpati. Alasan penolakan ini, selain pesawat berkualitas rendah, Merpati tak akan sanggup menanggung beban utang pembeliannya.
Lalu Cina menjadikan program pembelian pesawat tersebut sebagai sandera bagi pengucuran kredit untuk program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Hasilnya, pembelian tersebut terealisasi. Lalu, sejak Januari 2014 Merpati lumpuh total lantaran terbelit utang Rp 7,3 triliun.
Bila nanti Cina masih mendominasi proyek-proyek raksasa Jokowi, tak berlebihan bila ada yang percaya bahwa Merpati-Merpati baru bakal bermunculan. Apalagi pemerintah tampaknya masih senang berada di ketiak Cina asalkan proyek-proyeknya jalan.
[ bin / inrev ]
donesianReview.com
-- Mirip dengan iklan Teh Botol: “Apapun proyeknya, Cina pemodalnya.”
Inilah yang terjadi di era pembangunan saat ini.
Cina paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu, sampai sekarang pemerintah masih bungkam.
Lihat saja, Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga tergolong tertinggi di dunia.
Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650 triliun oleh dua bank BUMN dari Cina - Development Bank of China dan International and Commercial Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit, dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.
Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi. Persyaratan standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.
Bila gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu. Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari Cina, persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak Cina juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum , para kontraktor Cina dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk menggarap proyek dimana saja berada.
Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi Cina. Ini karena perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi Cina, karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.
Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap Cina. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan Cina.
Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena ternyata bus-bus buatan Cina yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.
Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di atas, dan tetap mengandalkan Cina seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena Cina sanggup menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari Negeri Panda ini dalam menebar angpao.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/tiada-proyek-tanpa-cina#sthash.ERKBrVYm.dpuf
Cina paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu, sampai sekarang pemerintah masih bungkam.
Lihat saja, Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga tergolong tertinggi di dunia.
Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650 triliun oleh dua bank BUMN dari Cina - Development Bank of China dan International and Commercial Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit, dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.
Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi. Persyaratan standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.
Bila gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu. Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari Cina, persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak Cina juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum , para kontraktor Cina dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk menggarap proyek dimana saja berada.
Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi Cina. Ini karena perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi Cina, karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.
Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap Cina. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan Cina.
Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena ternyata bus-bus buatan Cina yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.
Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di atas, dan tetap mengandalkan Cina seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena Cina sanggup menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari Negeri Panda ini dalam menebar angpao.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/tiada-proyek-tanpa-cina#sthash.ERKBrVYm.dpuf