Blok Mahakam: Antara Cina dan Sonangol
https://kabar22.blogspot.com/2015/07/blok-mahakam-antara-cina-dan-sonangol.html
BLOKBERITA -- Bila ternyata Pertamina tak memiliki teknologi, modal dan SDM memadai untuk menjadi operator Blok Mahakam, seperempat target produksi Migas Indonesia bakal menguap.
Bisa jadi, hal seperti itulah yang menyebabkan Jokowi lebih suka bungkam soal pengambil-alihan Blok minyak terbesar kedua di Indonesia itu. Tapi, siap atau tidak, Menteri ESDM telah berkirim surat kepada Pertamina untuk menjadi operator Blok Mahakam mulai tahun 2018.
Kini operator Blok Mahakam di Kaltim adalah oleh Total Indonesie dari Perancis dan Inpex dari Jepang. Produksinya adalah 30.000 barel minyak per hari (bph), dan 1,5 miliar kaki kubik (BCF) gas per hari. Ini berarti produksi Blok tersebut setara dengan seperempat target produksi Migas tahun ini.
Kontrak Total dan Inpex akan berakhir 2018, dan Pertamina sendiri telah berulang kali menyatakan sanggup menjadi operator Blok yang sangat strategis itu. BUMN ini mengaku sanggup mengatasi semua masalah teknologi, keuangan, dan SDM untuk menggantikan peran kedua perusahaan asing tersebut. Berbagai persiapan pun telah dilakukan, termasuk memperbarui perangkat keras dan lunak agar sesuai dengan karakter Pertamina.
Masalah yang sampai sekarang masih sering diperbincangkan kalangan Migas adalah, siapa yang akan bertanggung jawab bila ternyata produksi Blok tersebut nanti jatuh?
Yang pasti, dari segi finansial, sampai sekarang belum jelas bagaimana Pertamina akan memperoleh dana US$ 2,5 miliar per tahun untuk investasi di Blok Mahakam. Maklum, tak satupun bank nasional mengaku memiliki keberanian dan kemampuan untuk terjun di industri migas yang berisiko sangat tinggi dan bersifat jangka panjang.
Total dan Inpex sendiri masih bungkam terhadap tawaran 30% saham dari pemerintah. Kabarnya, mereka juga tak rela menyerahkan karyawan yang sudah mumpuni di bidang teknologi dan penguasaan lapangan kepada Pertamina. Alasan mereka, tentu saja karena Pertamina adalah saingan. Selain itu, mereka juga punya banyak ladang migas di semua belahan dunia, sehingga menampung para awak Blok Mahakam hanya soal kecil.
Untuk berburu utang ke pasar komersial tentu sangat berat bagi Pertamina. Para kreditor akan menetapkan berbagai persyaratan berat, termasuk suku bunga tinggi, karena Pertamina tak memiliki rekam jejak untuk mengelola ladang migas seukuran Blok Mahakam.
Bisa jadi, Pertamina pada akhirnya akan mengundang investor untuk bersama mengelola Blok Mahakam. Hanya saja, mengingat investasi dan risiko yang dikandung sangat besar, sang investor tentu keberatan kalau tak menjadi pemegang saham pengendali. Apalagi kaliber Pertamina di tingkat dunia masih boleh dikatakan setingkat ‘anak bawang’.
Kini Pertamina mungkin bisa mengharapkan kebaikan hati BUMN-BUMN Migas dari Cina, yang memang sedang giat berburu ladang baru di seluruh dunia. Mereka adalah CNOOC dan Sinopec, yang telah tumbuh menjadi perusahaan berkelas dunia. BUMN-BUMN ini mungkin mau mengalah karena Cina sedang mengincar semua mega proyek infrastruktur di Indonesia.
Pemerintah sendiri kini tampaknya makin suka berhubungan dengan BUMN-BUMN dari negara sedang berkembang. Lihat saja, meski dari segi kemampuan teknologi dan kualitas produknya masih diragukan, Pertamina telah memasukkan BUMN milik Angola, Sonangol EP, sebagai calon rekanan untuk membangun 4 kilang minyak baru.
Persyaratan yang diajukan kepada Sonagol adalah perusahaan tersebut harus sanggup memasok kebutuhan Pertamina selama 50 tahun. Bagi Sonangol, selama produksinya tetap mantap, persyaratan tersebut cukup enteng. Ini karena produksi minyak Sonangol adalah 2 juta barel per hari, dan hanya 200 ribu barel yang dipakai untuk konsumsi dalam negeri.
Soal teknologi, bagi Angola yang masih tergolong terbelakang, tentu akan mengajak perusahaan kaliber dunia seperti Exxon, Martahon Oil, atau Royal Dutch/Shell. Tak kalah menarik adalah kenyataan bahwa, “kita sebenarnya sudah sering mengkonsumsi minyak Sonangol,” kata direktur pengolahan Pertamina, Rakhmad Hardadi.
Kenyataan tersebut tentu saja membenarkan kecurigaan selama ini bahwa, sejak pembubaran Petral, Pertamina lebih suka melakukan tender tertutup. Maka bagaimana Sonangol bisa menjadi pemasok minyak ke Indonesia, mungkin terkait dengan jalur politik yang cukup hebat.
Nah, jangan-jangan pengambilalihan Blok Mahakam sesungguhnya sama saja. Banyak tangan misterius yang bergentayangan kesana kemari untuk mencari keuntungan pribadi.
[ bin / indrev ]
Bisa jadi, hal seperti itulah yang menyebabkan Jokowi lebih suka bungkam soal pengambil-alihan Blok minyak terbesar kedua di Indonesia itu. Tapi, siap atau tidak, Menteri ESDM telah berkirim surat kepada Pertamina untuk menjadi operator Blok Mahakam mulai tahun 2018.
Kini operator Blok Mahakam di Kaltim adalah oleh Total Indonesie dari Perancis dan Inpex dari Jepang. Produksinya adalah 30.000 barel minyak per hari (bph), dan 1,5 miliar kaki kubik (BCF) gas per hari. Ini berarti produksi Blok tersebut setara dengan seperempat target produksi Migas tahun ini.
Kontrak Total dan Inpex akan berakhir 2018, dan Pertamina sendiri telah berulang kali menyatakan sanggup menjadi operator Blok yang sangat strategis itu. BUMN ini mengaku sanggup mengatasi semua masalah teknologi, keuangan, dan SDM untuk menggantikan peran kedua perusahaan asing tersebut. Berbagai persiapan pun telah dilakukan, termasuk memperbarui perangkat keras dan lunak agar sesuai dengan karakter Pertamina.
Masalah yang sampai sekarang masih sering diperbincangkan kalangan Migas adalah, siapa yang akan bertanggung jawab bila ternyata produksi Blok tersebut nanti jatuh?
Yang pasti, dari segi finansial, sampai sekarang belum jelas bagaimana Pertamina akan memperoleh dana US$ 2,5 miliar per tahun untuk investasi di Blok Mahakam. Maklum, tak satupun bank nasional mengaku memiliki keberanian dan kemampuan untuk terjun di industri migas yang berisiko sangat tinggi dan bersifat jangka panjang.
Total dan Inpex sendiri masih bungkam terhadap tawaran 30% saham dari pemerintah. Kabarnya, mereka juga tak rela menyerahkan karyawan yang sudah mumpuni di bidang teknologi dan penguasaan lapangan kepada Pertamina. Alasan mereka, tentu saja karena Pertamina adalah saingan. Selain itu, mereka juga punya banyak ladang migas di semua belahan dunia, sehingga menampung para awak Blok Mahakam hanya soal kecil.
Untuk berburu utang ke pasar komersial tentu sangat berat bagi Pertamina. Para kreditor akan menetapkan berbagai persyaratan berat, termasuk suku bunga tinggi, karena Pertamina tak memiliki rekam jejak untuk mengelola ladang migas seukuran Blok Mahakam.
Bisa jadi, Pertamina pada akhirnya akan mengundang investor untuk bersama mengelola Blok Mahakam. Hanya saja, mengingat investasi dan risiko yang dikandung sangat besar, sang investor tentu keberatan kalau tak menjadi pemegang saham pengendali. Apalagi kaliber Pertamina di tingkat dunia masih boleh dikatakan setingkat ‘anak bawang’.
Kini Pertamina mungkin bisa mengharapkan kebaikan hati BUMN-BUMN Migas dari Cina, yang memang sedang giat berburu ladang baru di seluruh dunia. Mereka adalah CNOOC dan Sinopec, yang telah tumbuh menjadi perusahaan berkelas dunia. BUMN-BUMN ini mungkin mau mengalah karena Cina sedang mengincar semua mega proyek infrastruktur di Indonesia.
Pemerintah sendiri kini tampaknya makin suka berhubungan dengan BUMN-BUMN dari negara sedang berkembang. Lihat saja, meski dari segi kemampuan teknologi dan kualitas produknya masih diragukan, Pertamina telah memasukkan BUMN milik Angola, Sonangol EP, sebagai calon rekanan untuk membangun 4 kilang minyak baru.
Persyaratan yang diajukan kepada Sonagol adalah perusahaan tersebut harus sanggup memasok kebutuhan Pertamina selama 50 tahun. Bagi Sonangol, selama produksinya tetap mantap, persyaratan tersebut cukup enteng. Ini karena produksi minyak Sonangol adalah 2 juta barel per hari, dan hanya 200 ribu barel yang dipakai untuk konsumsi dalam negeri.
Soal teknologi, bagi Angola yang masih tergolong terbelakang, tentu akan mengajak perusahaan kaliber dunia seperti Exxon, Martahon Oil, atau Royal Dutch/Shell. Tak kalah menarik adalah kenyataan bahwa, “kita sebenarnya sudah sering mengkonsumsi minyak Sonangol,” kata direktur pengolahan Pertamina, Rakhmad Hardadi.
Kenyataan tersebut tentu saja membenarkan kecurigaan selama ini bahwa, sejak pembubaran Petral, Pertamina lebih suka melakukan tender tertutup. Maka bagaimana Sonangol bisa menjadi pemasok minyak ke Indonesia, mungkin terkait dengan jalur politik yang cukup hebat.
Nah, jangan-jangan pengambilalihan Blok Mahakam sesungguhnya sama saja. Banyak tangan misterius yang bergentayangan kesana kemari untuk mencari keuntungan pribadi.
[ bin / indrev ]