Presiden Didesak Sahkan Aturan Iuran Pensiun Sebesar 8 Persen

https://kabar22.blogspot.com/2015/06/presiden-didesak-sahkan-aturan-iuran.html
JAKARTA, BLOKBERITA -- Anggota Komisi IX DPR RI Amelia
Anggraini, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mensahkan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Pensiun. Pasalnya, pada 1
Juli 2015, RPP tersebut harus sudah diberlakukan.
" Pak Jokowi harus segera sahkan RPP Jaminan Pensiun per 1 Juli 2015," ujar Amelia kepada wartawan di Jakarta, Minggu (14/6/2015).
Lambannya proses pengesahan RPP itu, menurut Amelia, karena tarik menarik soal iuran Jaminan Pensiun (JP) yang belum ada titik temu antara Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Kemenaker dan DJSN mengusulkan 8 persen Kemenkeu mengusulkan 3 persen, namun Apindo meminta 1,5 persen.
Menurutnya, besaran iuran JP 8 persen sudah rasional. Iuran awal 8 persen bisa memenuhi amanat Pasal 39 Undang-undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu pekerja yang pensiun bisa memenuhi kebutuhan hidup layak.
" Kalau iuran 3 persen, apalagi 1,5 persen, sangat jauh untuk memenuhi hidup layak buruh yang pensiun nanti," jelasnya.
Politikus Partai NasDem itu mengatakan, bahwa di Indonesia, iuran JP yang akan dimulai 1 juli 2015 nanti tidak disubsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun hanya pengusaha dan pekerja saja yang memberikan iuran.
Mengenai iuran JP, pihaknya meminta Presiden Jokowi harus tegas menyatakan bahwa 8 persen sebagai iuran awal.
" Iuran awal 1,5 persen yang diusulkan Apindo merupakan masalah bagi buruh ketika pensiun nantinya," ungkapnya.
Amelia mengatakan dengan iuran 1,5 persen, maka buruh yang pensiun beserta keluarganya akan sulit mencapai kehidupan yang layak. Merujuk UU No 40 Tahun 2004 Pasal 39 yang mengamanatkan program pensiun harus bisa memenuhi kebutuhan layak buruh yang pensiun beserta keluarganya.
" ILO (International Labour Organization) saja sudah memberikan standar bahwa pekerja yang pensiun paling rendah menerima 40 persen dari rerata upah terakhir. Kalau 1,5 persen atau 3 persen yang diusulkan Apindo, maka akan sulit mencapai minimal 40 persen," paparnya .
Senada, Praktisi jaminan sosial, Abdul Latif Algaf, dalam wawancara live-nya di Berita Satu Tv petang (18/6) besaran iuran pensiun 8 % sudah memadai.
" Dalam pandangan saya iuran pensiun 8% adalah suatu angka yang moderat, artinya bisa mendukung sustainabilty finance penyelenggara jaminan pensiun. Kalau dibawah 8%, apalagi dibawah 5% rasa-rasanya sulit diterima akal sehat, " jelasnya di Tv Berita Satu petang (18/6)
Terpisah, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi, yang hingga saat ini belum juga membentuk RPP Jaminan Pensiun. Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN telah diamanatkan bahwa pada tanggal 1 Juli 2015 merupakan tenggat awal berlakunya jaminan pensiun bagi pekerja Indonesia.
" Nah itu kan tinggal beberapa hari lagi. Namun, hingga kini pemerintah Jokowi belum juga menyelesaikan RPP Pensiun. Dengan belum adanya regulasi itu, maka jaminan pensiun terancam tidak dapat dilaksanakan pada 1 Juli 2015 nanti," ujar Indra.
Menurutnya apabila jaminan pensiun tidak dapat dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2015 nanti, maka Presiden Jokowi telah dengan sengaja melanggar isi perintah yang terdapat di dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Sementara itu Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengungkapkan bahwa dari pihak Kemenaker, DJSN dan BPJS Watch memberi usulan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8 persen. Namun Kemenkeu tetap kukuh mengusulkan 3 persen.
" Lalu pihak Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan 1,5 persen. Apabila pemerintah menetapkan iuran pensiun sebesar 3 persen ataupun 1,5 persen, maka dipastikan pekerja yang pensiun akan gagal mencapai kebutuhan hidup layak," ujar Timboel menyesalkan.
Lebih lanjut dia menilai, keterlambatan pembuatan RPP Pensiun ini tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelaksana, pengusaha sebagai pemberi kerja dan juga pekerja, yang keduanya diwajibkan untuk membayar iuran itu.
" Secara normatif seharusnya regulasi tentang jaminan pensiun tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu. Sehingga pemberi kerja dan pekerja mengetahui tentang berapa iuran yang harus dibayar kan. Oleh karena itu, atas belum selesai nya PP Jaminan Pensiun ini, maka BPJS Watch mendesak beberapa hal," jelasnya.
Lebih lanjut Timboel menyatakan desakan BPJS Watch yang pertama, terhadap Presiden Jokowi paling lambat minggu depan harus bisa segera menandatangani RPP Jaminan Pensiun dengan iuran awal 8 persen, dengan pembagian 5 persen oleh pemberi kerja dan 3 persen oleh pekerja.
" Pemerintah segera mensosialisasikan PP Jaminan Pensiun itu pada pemberi kerja dan juga pekerja. Tapi apabila pemerintah menetapkan besaran iuran pensiun di bawah 8 persen, maka BPJS Watch pasti akan melakukan judicial review PP tersebut, bila telah diterbitkan, ke MK (Mahkamah Konstitusi)," terangnya.
Desakan lainnya, BPJS Ketenagakerjaan harus menerapkan putusan MK, dimana pekerja bisa atau diperbolehkan mendaftar sendiri menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, walaupun pemberi kerja tak mendaftarkan pekerja tersebut.
" Dan terakhir, pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan haruslah menerapkan PP Nomor 86 Tahun 2013 tentang sanksi kepada pemberi kerja yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan," tandas Timboel.
[ bmw / beritasatu / hkol ]
" Pak Jokowi harus segera sahkan RPP Jaminan Pensiun per 1 Juli 2015," ujar Amelia kepada wartawan di Jakarta, Minggu (14/6/2015).
Lambannya proses pengesahan RPP itu, menurut Amelia, karena tarik menarik soal iuran Jaminan Pensiun (JP) yang belum ada titik temu antara Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Kemenaker dan DJSN mengusulkan 8 persen Kemenkeu mengusulkan 3 persen, namun Apindo meminta 1,5 persen.
Menurutnya, besaran iuran JP 8 persen sudah rasional. Iuran awal 8 persen bisa memenuhi amanat Pasal 39 Undang-undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu pekerja yang pensiun bisa memenuhi kebutuhan hidup layak.
" Kalau iuran 3 persen, apalagi 1,5 persen, sangat jauh untuk memenuhi hidup layak buruh yang pensiun nanti," jelasnya.
Politikus Partai NasDem itu mengatakan, bahwa di Indonesia, iuran JP yang akan dimulai 1 juli 2015 nanti tidak disubsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun hanya pengusaha dan pekerja saja yang memberikan iuran.
Mengenai iuran JP, pihaknya meminta Presiden Jokowi harus tegas menyatakan bahwa 8 persen sebagai iuran awal.
" Iuran awal 1,5 persen yang diusulkan Apindo merupakan masalah bagi buruh ketika pensiun nantinya," ungkapnya.
Amelia mengatakan dengan iuran 1,5 persen, maka buruh yang pensiun beserta keluarganya akan sulit mencapai kehidupan yang layak. Merujuk UU No 40 Tahun 2004 Pasal 39 yang mengamanatkan program pensiun harus bisa memenuhi kebutuhan layak buruh yang pensiun beserta keluarganya.
" ILO (International Labour Organization) saja sudah memberikan standar bahwa pekerja yang pensiun paling rendah menerima 40 persen dari rerata upah terakhir. Kalau 1,5 persen atau 3 persen yang diusulkan Apindo, maka akan sulit mencapai minimal 40 persen," paparnya .
Senada, Praktisi jaminan sosial, Abdul Latif Algaf, dalam wawancara live-nya di Berita Satu Tv petang (18/6) besaran iuran pensiun 8 % sudah memadai.
" Dalam pandangan saya iuran pensiun 8% adalah suatu angka yang moderat, artinya bisa mendukung sustainabilty finance penyelenggara jaminan pensiun. Kalau dibawah 8%, apalagi dibawah 5% rasa-rasanya sulit diterima akal sehat, " jelasnya di Tv Berita Satu petang (18/6)
Terpisah, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi, yang hingga saat ini belum juga membentuk RPP Jaminan Pensiun. Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN telah diamanatkan bahwa pada tanggal 1 Juli 2015 merupakan tenggat awal berlakunya jaminan pensiun bagi pekerja Indonesia.
" Nah itu kan tinggal beberapa hari lagi. Namun, hingga kini pemerintah Jokowi belum juga menyelesaikan RPP Pensiun. Dengan belum adanya regulasi itu, maka jaminan pensiun terancam tidak dapat dilaksanakan pada 1 Juli 2015 nanti," ujar Indra.
Menurutnya apabila jaminan pensiun tidak dapat dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2015 nanti, maka Presiden Jokowi telah dengan sengaja melanggar isi perintah yang terdapat di dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Sementara itu Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengungkapkan bahwa dari pihak Kemenaker, DJSN dan BPJS Watch memberi usulan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8 persen. Namun Kemenkeu tetap kukuh mengusulkan 3 persen.
" Lalu pihak Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan 1,5 persen. Apabila pemerintah menetapkan iuran pensiun sebesar 3 persen ataupun 1,5 persen, maka dipastikan pekerja yang pensiun akan gagal mencapai kebutuhan hidup layak," ujar Timboel menyesalkan.
Lebih lanjut dia menilai, keterlambatan pembuatan RPP Pensiun ini tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelaksana, pengusaha sebagai pemberi kerja dan juga pekerja, yang keduanya diwajibkan untuk membayar iuran itu.
" Secara normatif seharusnya regulasi tentang jaminan pensiun tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu. Sehingga pemberi kerja dan pekerja mengetahui tentang berapa iuran yang harus dibayar kan. Oleh karena itu, atas belum selesai nya PP Jaminan Pensiun ini, maka BPJS Watch mendesak beberapa hal," jelasnya.
Lebih lanjut Timboel menyatakan desakan BPJS Watch yang pertama, terhadap Presiden Jokowi paling lambat minggu depan harus bisa segera menandatangani RPP Jaminan Pensiun dengan iuran awal 8 persen, dengan pembagian 5 persen oleh pemberi kerja dan 3 persen oleh pekerja.
" Pemerintah segera mensosialisasikan PP Jaminan Pensiun itu pada pemberi kerja dan juga pekerja. Tapi apabila pemerintah menetapkan besaran iuran pensiun di bawah 8 persen, maka BPJS Watch pasti akan melakukan judicial review PP tersebut, bila telah diterbitkan, ke MK (Mahkamah Konstitusi)," terangnya.
Desakan lainnya, BPJS Ketenagakerjaan harus menerapkan putusan MK, dimana pekerja bisa atau diperbolehkan mendaftar sendiri menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, walaupun pemberi kerja tak mendaftarkan pekerja tersebut.
" Dan terakhir, pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan haruslah menerapkan PP Nomor 86 Tahun 2013 tentang sanksi kepada pemberi kerja yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan," tandas Timboel.
[ bmw / beritasatu / hkol ]