Lapsus: Pemerintah Sudah Tetapkan Iuran Pensiun BPJS, Tapi Belum Diumumkan ke Publik

JAKARTA, BLOKBERITA -- Dari sebuah sumber ring satu, malam ini (5/6) Presiden Jokowi memanggil sejumlah Menteri dan Direktur BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G. Masassya untuk rapat terbatas (ratas) membahas finalisasi besaran iuran pensiun BPJS. Hingga berita ini diturunkan belum ada ketetapan pasti apakah pemerintah akan menyetujui iuran pensiun 8 % atau tidak. Namun sebagian besar stakeholder, dalam hal ini BPJS-TK, DPR, DJSN, Kemenaker, Serikat Pekerja, bahkan Menko PMK, Puan Maharani juga mendukung ketetapan besaran iuran pensiun 8 %, sementara dari kalangan pengusaha menghendaki 1,5 %, kemenkeu dan OJK 5 %.
Bagaimanapun juga keputusan final iuran pensiun BPJS ada sepenuhnya ditangan Jokowi malam ini. "Bola liar panas" iuran pensiun BPJS sudah ada dalam genggaman tangan presiden. Apakah "bola panas" itu akan menghanguskan tangan presiden ? atau sebaliknya "bola liar panas" itu akan luluh dan dingin dalam genggaman tangan presiden ?
Setelah melalui bahasan serius akhirnya pemerintah mengaku sudah menetapkan besaran iuran dana pensiun dalam rapat kabinet terbatas malam ini. Hanya saja, pemerintah belum mau menyebutkan berapa besaran iuran yang telah diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
Menteri Koordinator bidang perekonomian Sofyan Djalil usai ratas mengatakan, meski sudah diputuskan besaran iuran belum bisa diumumkan. Ia beralasan, keputusan resmi mengenai hal tersebut menunggu Peraturan Pemerintah (PP) keluar.
" Memang pemerintah telah menetapkan angka untuk iuran dana pensiun, tapi itu perlu dimatangkan dalam satu-dua hari ini," kata Sofyan, Jumat (5/6) di Istana Bogor.
Sebelumnya ada dua opsi besaran iuran dana pensiun yang diajukan. Pertama usulan Kementerian Tenaga Kerja (Menaker) dan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BJPS) Ketenagakerjaan sebesar 8%, dan usulan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar 5%.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan ELvyn G. Masassya menambahkan, yang menjadi poin penting hasil ratas malam ini adalah, pelaksanaan iuran dana pensiun akan mulai berlaku per 1 Juli 2015.
Kilas Balik Pro-Kontra Iuran Pensiun BPJS
Kebuntuan alias deadlock mewarnai pembahasan rapat final iuran program pensiun wajib Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Baik pengusaha maupun pemerintah masih bersikukuh dengan usulan besaran iuran masing-masing.
Rapat koordinasi di kantor Kementerian Perekonomian, Senin (18/5/2015) kemarin sepakat keputusan besaran iuran akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) paling lambat akhir Mei. Hal ini mengingat program pensiun BPJS Ketenagakerjaan mulai berlaku pada 1 Juli 2015.
Ada tiga usulan yang akan dibawa ke Jokowi. Pertama, besaran iuran 8 persen dari gaji pokok pekerja yang merupakan usulan dari BPJS Ketenagakerjaan, Kemko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Usulan kedua yakni iuran 3 persen dari Kementerian Keuangan. Ketiga usulan pemberi kerja yakni iuran 1,5 persen, naik bertahap. "Semua usulan memiliki plus minus, biar nanti Presiden memutuskan mana yang baik saat ini untuk semua pihak,” tandas Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya, kemarin, Senin (19/5/2015).
Menurut Elvyn, iuran 8 persen dengan porsi 5 persen ditanggung pemberi kerja dan 3 persen oleh pekerjanya adalah angka yang tepat. Sebab, besaran iuran itu sudah dihitung berdasarkan manfaat wajar bagi para pensiunan. Yakni 35 persen dari rata-rata upah pekerja yang didapatkan saat pekerja pensiun.
Aktuaris PT Dayamandiri Dharmakonsilindo, Steven Tanner menghitung, iuran 8 persen terlalu besar. Ini mengingat, manfaat pensiun baru dibayarkan setelah 15 tahun keikutsertaan pekerja atau mulai tahun 2030.
Dengan menggunakan dasar manfaat pasti, sesuai Undang-Undang No. 24/2011 tentang BPJS, berapapun iuran yang dibayarkan pekerja dan pengusaha tak berpengaruh atas manfaat yang diterima. Ini beda bila program pensiun menggunakan konsep iuran pasti. Manfaat yang diterima tergantung iuran yang dibayar pekerja.
Hitungan ini sesuai dengan kalkulasi pengusaha. Apindo pernah berucap, dengan iuran 1,5 persen manfaat yang diterima pekerja bisa 40 persen dari penghasilan tertimbang. Ini sesuai standar International Labour Organization atau ILO.
Bola panas atas besaran iuran dana pensiun kini ada di tangan Presiden Jokowi. Di tengah sorotan atas perlambatan ekonomi, jelas ini bukan perkara mudah. Tapi agar berjalan sesuai amanat UU, keputusan politik nampaknya harus dilakukan.
Pengusaha Terbebani
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menyampaikan bahwa para pengusaha semakin terbebani dengan adanya penerapan jaminan pensiun BPJS. Menurut dia, pengusaha gamang melakukan perhitungan bisnis karena adanya kewajiban tersebut.
" Jadi jaminan pensiun ini disampaikan pemerintah akan mengenakan 5 persen untuk pemberi kerja dan 3 persen untuk pekerjanya. Kalau lihat seperti ini maka dunia usaha akan terus terbebani kerana (harus membayar) 14 persen langsung (total) karena jaminan sosial itu (jaminan kesehatan, pensiun dll)," ujar Hariyadi di Jakarta, Rabu (29/4/2015).
Menurut dia, total 14 persen dana sosial yang mesti ditanggung perusahaan itu sangat memberatkan dan menimbulkan efek yang serius. Pasalnya, kebijakan itu diterapkan berdekatan dengan waktu penyesuaian upah minimum.
" Ini akan menimbulkan efek yang cukup serius karena setelah itu (1 Juli 2015) akan masuk puasa dan Lebaran, lalu ada penyesuaian upah minimum itu bulan Oktober 2015. Ini masalah," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8 persen. Iuran ini akan ditanggung pengusaha sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen. Pelaksanaan iuran itu akan berlaku serentak mulai 1 Juli 2015.
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan, keputusan tersebut diambil dalam Rapat Koordinasi di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Rabu, (8/4/2015) lalu. Keputusan ini selanjutnya akan dituangkan dalam draf rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia (HAM) untuk dijadikan aturan resmi.
Masa iuran untuk mendapatkan manfaat atas program ini minimal 15 tahun. Dana pensiun akan diberikan saat usia pekerja 56 tahun. Selain itu, aturan ini hanya berlaku bagi peserta jaminan pensiun yang bekerja di perusahaan swasta, bukan di lembaga negara.
Hanif juga mengklaim, Program Jaminan Pensiun sudah melibatkan pemerintah, pengusaha serta serikat pekerja. "Kami berharap,aturan ini segera selesai agar dapat memberikankepastian hukum," tegas Hanif.
Usulan Selaras Dengan Dana Pensiun Swasta
Penerapan Jaminan Pensiun yang akan dilakukan mulai 1 Juli 2015 secara nasional sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih menjadi perdebatan.
Di satu sisi, jaminan pensiun bersifat wajib dan harus diberikan pekerja kepada seluruh karyawan. Hal ini untuk memberikan jaminan masa tua bagi setiap orang yang bekerja di sektor formal.
Namun, di sisi lain, saat ini sudah berjalan program dana pensiun yang dikelola secara independen oleh perusahaan maupun lembaga keuangan namun bersifat sukarela. Jika tidak diatur dengan baik, hal tersebut bisa berdampak terhadap iklim investasi dan bisnis secara umum.
" Kita berharap program dana jaminan hari tua ini bisa selaras dengan dana pensiun swasta. Caranya, iuran disesuaikan agar ada ruang bagi perusahaan untuk membayar iuran sesuai aturan yang ditetapkan," kata Direktur Pengawasan Dana Pensiun dan BPJS Ketenagakerjaan, Otoritas Jasa Keuangan Heru Juwanto di Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Ia mengatakan, OJK menampung sejumlah pertanyaan dari banyak perusahaan mengenai rencana penetapan angka 8 persen gaji setiap karyawan yang harus dibayarkan perusahaan untuk iuran jaminan pensiun, dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Jika dana yang dikeluarkan perusahaan yang telah memiliki program dana pensiun ternyata lebih besar, program terancam bubar karena perusahaan kemungkinan besar memilih jaminan pensiun yang iurannya lebih kecil.
"Karena jaminan pensiun program baru, maka sebaiknya dimulai dengan iuran yang kecil. Kalau dimulai denga iuran kecil, kemungkinan friksi akan lebih mudah ditekan," ujar Heru. Menurutnya, sebaiknya diatur agar memungkinkan iuran naik secara bertahap dan tidak langsung 8 persen.
Selain itu, nilai iuran yang besar sementara manfaat yang diperoleh pekerja baru dirasakan mulai 2030, akan menjadi sorotan. Untuk apa pemerintah menumpuk uang selama 15 tahun. Harus dipertimbangkan risiko kemungkinan investor berpikir ulang jika dibebani kewajiban besar sejak awal.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur jaminan pensiun tersebut. Menurut Heru, saat ini yang sudah diputuskan bersaam dalam RPP adalah manfaat jaminan pensiun sebasar 1 persen x masa iuran x upah. Namun, manfaat tetap ini baru dapat diterima jika masa iuran minimal 15 tahun sehingga baru dirasakan tahun 2030.
Sementara untuk besar iuran menurut Heru saat ini belum diputuskan walaupun sebelumnya Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyatakan hasil rapat telah menentukan 8 persen.
Selain itu, telah ditetapkan pula bahwa masa pensiun adalah 56 tahun. Peraturan ini akan segera ditandatangani Presiden dan berlaku 1 Juli 2015.
Jaminan pensiun adalah bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan SJSN diatur dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Pengelolaannya dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS.
SJSN terdiri atas Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan serta Jaminan Sosial, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Mengapa 8 Persen ?
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menilai, dana yang diperlukan untuk program pensiun jaminan pasti tersebut harus punya nominal besar. Sebab, ketika ada penyaluran dana pensiun bagi pekerja, uang sudah tersedia dan pemerintah tidak ikut menanggung.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Divisi SDM BPJS Ketenagakerjaan Cak Dul alias Abdul Latif Algaff untuk menjawab adanya pendapat bahwa pengumpulan dana yang terlalu besar dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu.
" Lhoo, memang harus besar jumlahnya. Kalau tidak besar, kami bayarnya pakai apa? Masa, badan penyelenggara kekurangan duit karena pembukaan rendah (iuran). Kami harus ada fiscal sustainability. Kalau ada penyelewengan, (pelaku) akan ditahan," kata Cak Dul di Jakarta, Rabu (13/5/2015) malam.
Menurut Cak Dul, instansi pemerintah yang mengelola dana pensiun memang harus memiliki dana yang sangat besar. Misalnya, instansi di Jepang yang memiliki Rp 15.000 triliun, dan di Malaysia yang kini mempunyai dana Rp 2.000 triliun.
" Kenapa Malaysia sudah memiliki Rp 2.000 triliun? Mereka sudah lama, dan yang ditawarkan (iuran dana pensiun) angka yang moderat sehingga tidak terlalu kecil," ujarnya.
Sementara itu, menurut usulan BPJS Ketenagakerjaan, iuran pensiun jaminan pasti sebesar 8 persen. Rinciannya, perusahaan menanggung 5 persen, dan karyawan membayar 3 persen. Ini adalah angka yang sudah diperhitungkan secara matang.
" Itu sudah angka yang moderat, yang akan memberikan (dana pensiun) 30 sampai 40 persen dari pendapatannya. Namun, kami hanya sebagai operator. Berapa pun angkanya nanti, kami akan tetap berjalan," jelas Cak dul.
Sementara itu Wakil Sekretaris Umum Apindo Iftida Yasar keberatan dengan besaran iuran 8 %. Dia mengatakan, iuran 8 persen itu sangat berlebihan. Ia mengatakan jangan memilih angka dengan membandingkannya pada negara yang sudah lama menjalankan program tersebut. Angka yang ideal pada saat ini adalah 1,5 persen, dan setiap tiga tahun merangkak naik 0,3 persen.
" Buat apa 8 persen kalau 1,5 persen itu cukup? Selama 15 tahun (sampai 2030), uang itu kan enggak keluar. Kalau digambarkan, (perolehan) 8 persen dalam 3 tahun sudah terkumpul Rp 500 triliun, dan pada 2030 akan terkumpul Rp 6.000 triliun. Ini dikumpulkan oleh satu tangan (BPJS Ketenagakerjaan)," tutur Iftida di tempat yang sama.
Sebelumnya, Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengkhawatirkan, jika iuran yang besar dan nantinya terkumpul menjadi sangat besar ini berada di satu instansi, maka hal tersebut dapat memberi ruang bagi para oknum untuk korupsi.
" Uang yang begitu besar dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan ini mengundang syahwat korupsi, kan," kata Hariyadi.
Dampak Iuran Pensiun BPJS
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, kewajiban program jaminan pensiun yang dihembuskan BPJS Ketenagakerjaan dapat berdampak kepada industri dana pensiun yang selama ini telah ada.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Firdaus Djaelani, mengatakan dampak yang akan terasa adalah menurunnya minat masyarakat masuk ke industri dana pensiun. Soalnya, program yang dihembuskan BPJS Ketenagakerjaan mewajibkan seluruh pelaku usaha mendaftarkan karyawan ke program jaminan pensiun.
" Kemungkinan industri dana pensiun (swasta) agak seret ini. Karena orang hanya akan ikut yang wajib saja dari program BPJS Ketenagakerjaan, bisa jadi masalah ini," katanya di Jakarta, Kamis (5/2).
Walau begitu, OJK menyambut baik program tersebut. Menurut Firdaus, OJK tengah menunggu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholder yang masih membahas besaran nilai iuran jaminan pensiun dalam program tersebut. OJK berharap pembahasan yang nantinya akan dibalut dalam Peraturan Pemerintah (PP) itu dapat segera selesai.
Menurutnya, berapa pun nilai iuran jaminan pensiun yang akan diputus, OJK akan tetap mendukung terlaksananya program tersebut. Terkait kewajiban program itu dapat berdampak ke industri dana pensiun, OJK berencana akan mengkaji lagi untuk mencari win-win solution seperti yang akan diterapkan antara BPJS Kesehatan dengan perusahaan asuransi swasta melalui program Coordination Of Benefit (COB).
Terpisah, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi mengatakan, rancangan PP mengenai jaminan pensiun masih dalam pembahasan di Kemenkumham. Menurutnya, masih terdapat perbedaan antar stakeholder yang membahas dan menyusun rancangan PP ini.
" Kalau RPP JP (Jaminan Pensiun) pelaksanaan UU SJSN belum selesai karena masih terdapat perbedaan pendapat, mengenai cara penghitungan (persentase) iuran," katanya, Jumat (6/2).
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR Amelia Anggraini mengusulkan agar iurannya bisa bersifat “luwes” dengan mempertimbangkan kondisi perusahaan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi alotnya pembahasan RPP terkait program JP tersebut.
Ia berharap, kondisi perusahaan besar dan perusahaan kecil bisa menjadi dasar dalam menerapkan iuran. "Kondisi perusahaan harus jadi pertimbangan, perusahaan skala sedang harus beda dengan perusahaan skala kecil. Pemerintah jangan pukul rata ke seluruh pemberi kerja," katanya beberapa waktu lalu.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, berharap pada kuartal I tahun 2015, RPP mengenai program JP sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun masih ada waktu hingga bulan Juni tahun 2015.
" Paling lambat itu bulan Juni. Tapi kami berharap kuartal I ini bisa tuntas dan sudah bisa dinaikkan ke presiden," katanya.
Menurutnya, RPP mengenai program JP masih dalam tahap harmonisasi yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga di Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu substansi yang masih dibahas adalah mengenai angka iuran. Untuk sementara, usulan iuran dalam RPP masih sebesar 8 persen, dengan pembagian lima persen dibayarkan pemberi kerja, dan tiga persen dibayar pekerja.
[ mrhill / diolah dari berbagai sumber ]