Mengapa Sultan HB-X Tak Bisa Batalkan Sabda Raja?
https://kabar22.blogspot.com/2015/05/mengapa-sultan-hb-x-tak-bisa-batalkan.html
YOGYAKARTA BLOKBERITA -- Sejarahwan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sri Margana,
berpendapat Sultan Hamengku Bawono X tidak mungkin membatalkan isi Sabda
Raja I dan Sabda Raja II.
Menurut Margana, dasar Sultan mengeluarkan Sabda Raja memiliki legitimasi terkuat dalam tradisi politik Kraton Jawa, yakni wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur. "Setiap keputusan besar raja berdasarkan pada wahyu, sulit dibantah karena logikanya berbeda dengan politik modern," kata Margana pada Minggu, 10 Mei 2015.
Pernyataan Sultan di Sabda Raja I dan Sabda Raja II juga tidak bisa ditarik lagi. Sebab, menurut Margana, apabila ditarik kembali bisa mengingkari prinsip Sabda Pandita Ratu. "Kalau ditarik berarti Sultan melanggar perintah leluhurnya sendiri," kata dia.
Karena itu, Margana melanjutkan, polemik mengenai isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II di internal Kraton Yogyakarta bergantung pada penerimaan sebagian adik-adik Sultan terhadap penjelasan dari sabda itu. Polemik berlanjut ketika sebagian adik-adik Sultan tetap menolak Sabda Raja meskipun dasarnya merupakan sumber legitimasi terkuat di politik tradisional Jawa. "Semoga saja Kraton Yogyakarta kembali damai," kata dia.
Salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.
Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu, Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih sebagai calon pengganti Sultan.
Tapi, menurut Margana, status Pembayun sebagai Putri Mahkota belum pasti menjadikannya Raja Kraton Yogyakarta. Alasannya, menurut Margana, tradisi suksesi Kraton Jawa, Raja harus mendapatkan wahyu keprabon atau perintah leluhur agar menjadi pemimpin kerajaan. "Dia juga harus menerima wahyu dulu untuk jadi ratu," ujar Margana.
Margana mencatat di masa Sultan Hamengku Buwono VII pernah ada empat kali penunjukan putra mahkota. Sebabnya, tiga putra mahkota terus meninggal mendadak. Satu orang sakit-sakitan dan dua lainnya diduga diracun. " Dulu zaman kolonial, polemik suksesi lebih sengit karena kekuatan politik eksternal ingin mengatur kraton," jelas Margana.
Sabda Raja Juga Bisa Salah
Puluhan spanduk bernada protes terbentang di kawasan Titik Nol Kilometer, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kauman, Pasar Ngasem, dan Simpang Gondomanan. Spanduk berwarna putih berukuran 0,5x3 meter persegi itu muncul sejak Jumat pekan lalu dan makin banyak jumlahnya sehari kemudian. Dengan tulisan berwarna hijau, spanduk itu bertuliskan “ Kembalikan Paugeran-Jogja Tetap Istimewa”.
Identitas spanduk itu hanya tertulis: Warga Kauman. Kauman merupakan kampung yang dihuni warga Muhammadiyah di Yogyakarta yang terletak berdekatan dengan Keraton Yogyakarta.
Koordinator pemasang spanduk itu, Muhammad Muslih, 32 tahun, kepada Tempo mengaku spanduk itu sebagai protes terhadap Raja Keraton Yogyakarta yang dianggap menyalahi adat-istiadat keraton. " Raja menghapus khalifatullah dalam gelarnya seperti menurunkan wibawanya sendiri," ujar Muslih, koordinator paguyuban parkir di area Alun-alun Utara, Sabtu pekan lalu.
Sultan Hamengku Buwono X mengubah nama dan gelarnya. Hal itu dia umumkan di Keraton Yogyakarta pada Kamis pekan lalu. Salah satu dari pengumuman itu ialah penghilangan kata khalifatullah.
Muslih mengaku setidaknya berhasil mencetak 200 spanduk sejenis untuk melawan dan memprotes Sabda Raja itu. " Kami pasang di seluruh kabupaten dan Kota DIY biar warga tak cuma diam, tapi gumregah saat ada masalah seperti ini," ujarnya.
Menurut Muslih, dana untuk membikin seluruh spanduk itu adalah dari patungan masyarakat, terutama kampungnya di Kauman. Ada yang menyumbangkan Rp 20 ribu-1 juta. "Ini inisiatif kami sebagai warga yang peduli nasib keraton sebagai sumbu budaya Yogyakarta,” kata dia. “Raja juga manusia yang bisa salah, harus diingatkan.”
Awal pekan ini Muslih akan mengumpulkan wakil dari 60 pondok pesantren di DIY untuk menggelar aksi menolak Sabda Raja. "Kami tak setuju sama sekali lima poin Sabda Raja itu. Semua menyalahi paugeran keraton, termasuk wacana raja perempuan," ucapnya.
[ bmw / tempo ]
Menurut Margana, dasar Sultan mengeluarkan Sabda Raja memiliki legitimasi terkuat dalam tradisi politik Kraton Jawa, yakni wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur. "Setiap keputusan besar raja berdasarkan pada wahyu, sulit dibantah karena logikanya berbeda dengan politik modern," kata Margana pada Minggu, 10 Mei 2015.
Pernyataan Sultan di Sabda Raja I dan Sabda Raja II juga tidak bisa ditarik lagi. Sebab, menurut Margana, apabila ditarik kembali bisa mengingkari prinsip Sabda Pandita Ratu. "Kalau ditarik berarti Sultan melanggar perintah leluhurnya sendiri," kata dia.
Karena itu, Margana melanjutkan, polemik mengenai isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II di internal Kraton Yogyakarta bergantung pada penerimaan sebagian adik-adik Sultan terhadap penjelasan dari sabda itu. Polemik berlanjut ketika sebagian adik-adik Sultan tetap menolak Sabda Raja meskipun dasarnya merupakan sumber legitimasi terkuat di politik tradisional Jawa. "Semoga saja Kraton Yogyakarta kembali damai," kata dia.
Salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.
Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu, Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih sebagai calon pengganti Sultan.
Tapi, menurut Margana, status Pembayun sebagai Putri Mahkota belum pasti menjadikannya Raja Kraton Yogyakarta. Alasannya, menurut Margana, tradisi suksesi Kraton Jawa, Raja harus mendapatkan wahyu keprabon atau perintah leluhur agar menjadi pemimpin kerajaan. "Dia juga harus menerima wahyu dulu untuk jadi ratu," ujar Margana.
Margana mencatat di masa Sultan Hamengku Buwono VII pernah ada empat kali penunjukan putra mahkota. Sebabnya, tiga putra mahkota terus meninggal mendadak. Satu orang sakit-sakitan dan dua lainnya diduga diracun. " Dulu zaman kolonial, polemik suksesi lebih sengit karena kekuatan politik eksternal ingin mengatur kraton," jelas Margana.
Sabda Raja Juga Bisa Salah
Puluhan spanduk bernada protes terbentang di kawasan Titik Nol Kilometer, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kauman, Pasar Ngasem, dan Simpang Gondomanan. Spanduk berwarna putih berukuran 0,5x3 meter persegi itu muncul sejak Jumat pekan lalu dan makin banyak jumlahnya sehari kemudian. Dengan tulisan berwarna hijau, spanduk itu bertuliskan “ Kembalikan Paugeran-Jogja Tetap Istimewa”.
Identitas spanduk itu hanya tertulis: Warga Kauman. Kauman merupakan kampung yang dihuni warga Muhammadiyah di Yogyakarta yang terletak berdekatan dengan Keraton Yogyakarta.
Koordinator pemasang spanduk itu, Muhammad Muslih, 32 tahun, kepada Tempo mengaku spanduk itu sebagai protes terhadap Raja Keraton Yogyakarta yang dianggap menyalahi adat-istiadat keraton. " Raja menghapus khalifatullah dalam gelarnya seperti menurunkan wibawanya sendiri," ujar Muslih, koordinator paguyuban parkir di area Alun-alun Utara, Sabtu pekan lalu.
Sultan Hamengku Buwono X mengubah nama dan gelarnya. Hal itu dia umumkan di Keraton Yogyakarta pada Kamis pekan lalu. Salah satu dari pengumuman itu ialah penghilangan kata khalifatullah.
Muslih mengaku setidaknya berhasil mencetak 200 spanduk sejenis untuk melawan dan memprotes Sabda Raja itu. " Kami pasang di seluruh kabupaten dan Kota DIY biar warga tak cuma diam, tapi gumregah saat ada masalah seperti ini," ujarnya.
Menurut Muslih, dana untuk membikin seluruh spanduk itu adalah dari patungan masyarakat, terutama kampungnya di Kauman. Ada yang menyumbangkan Rp 20 ribu-1 juta. "Ini inisiatif kami sebagai warga yang peduli nasib keraton sebagai sumbu budaya Yogyakarta,” kata dia. “Raja juga manusia yang bisa salah, harus diingatkan.”
Awal pekan ini Muslih akan mengumpulkan wakil dari 60 pondok pesantren di DIY untuk menggelar aksi menolak Sabda Raja. "Kami tak setuju sama sekali lima poin Sabda Raja itu. Semua menyalahi paugeran keraton, termasuk wacana raja perempuan," ucapnya.
[ bmw / tempo ]