HPP Beras Naik, 50 Juta Rakyat Miskin Merintih

https://kabar22.blogspot.com/2015/05/hpp-beras-naik-50-juta-rakyat-miskin.html
JAKARTA, BLOKBERITA -- Ketua
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang juga Dewan Pengawas
Perum Bulog, Ardiansyah Parman berpendapat, pricing policy dalam hal ini
kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak bisa dijadikan
pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
" Menurut saya tidak pas. Kenapa? Pricing policy itu akan membebani dua pihak," kata Ardiansyah, dalam diskusi bertajuk "Beras dan Kedaulatan Pangan", yang digelar KAGAMA dan harian Kompas, Sabtu (23/5/2015).
Pihak pertama yakni petani itu sendiri. Sebanyak 14,2 juta rumah tangga petani merupakan buruh tani atau petani gurem, yang juga menjadi konsumen beras.
" Kalau dikalikan 4 (anggota keluarga) kira-kira ada 50 juta masyarakat yang terbebani, orang miskin di desa," ucap dia.
Pihak kedua yakni masyarakat umum, yang juga harus membeli beras dengan harga lebih tinggi.
" Kalau meningkatkan pendapatan petani ya itu meningkatkan produktivitas, dan produksi. Bukan menaikkan harga," kata Ardiansyah.
Jika produktivitas meningkat, dia bilang, keuntungan yang didapat petani akan lebih tinggi daripada kenaikan harga beras. Atas dasar itu, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dinilainya sudah tepat, yakni meningkatkan produktivitas pertanian.
" Tetapi kalau harga yang ditingkatkan, begitu harga naik maka 50 juta masyarakat miskin terbebani, karena mereka itu adalah konsumen," kata mantan Sekjen Kementerian Perdagangan itu.
Di samping berpeluang membebani masyarakat, kenaikan HPP juga dikhawatirkan menyebabkan disparitas harga beras lokal dan produksi negara tetangga makin lebar.
Ujung-ujungnya, kata dia, rawan terjadinya penyelundupan komoditas beras.
" Penyelundupan beras mungkin terjadi, apalagi di daerah perbatasan dengan panjang pantai kita ini, tidak cukup kita mengjangkau (mengawasi)," kata Ardiansyah.
[ bmw / kmps ]
" Menurut saya tidak pas. Kenapa? Pricing policy itu akan membebani dua pihak," kata Ardiansyah, dalam diskusi bertajuk "Beras dan Kedaulatan Pangan", yang digelar KAGAMA dan harian Kompas, Sabtu (23/5/2015).
Pihak pertama yakni petani itu sendiri. Sebanyak 14,2 juta rumah tangga petani merupakan buruh tani atau petani gurem, yang juga menjadi konsumen beras.
" Kalau dikalikan 4 (anggota keluarga) kira-kira ada 50 juta masyarakat yang terbebani, orang miskin di desa," ucap dia.
Pihak kedua yakni masyarakat umum, yang juga harus membeli beras dengan harga lebih tinggi.
" Kalau meningkatkan pendapatan petani ya itu meningkatkan produktivitas, dan produksi. Bukan menaikkan harga," kata Ardiansyah.
Jika produktivitas meningkat, dia bilang, keuntungan yang didapat petani akan lebih tinggi daripada kenaikan harga beras. Atas dasar itu, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dinilainya sudah tepat, yakni meningkatkan produktivitas pertanian.
" Tetapi kalau harga yang ditingkatkan, begitu harga naik maka 50 juta masyarakat miskin terbebani, karena mereka itu adalah konsumen," kata mantan Sekjen Kementerian Perdagangan itu.
Di samping berpeluang membebani masyarakat, kenaikan HPP juga dikhawatirkan menyebabkan disparitas harga beras lokal dan produksi negara tetangga makin lebar.
Ujung-ujungnya, kata dia, rawan terjadinya penyelundupan komoditas beras.
" Penyelundupan beras mungkin terjadi, apalagi di daerah perbatasan dengan panjang pantai kita ini, tidak cukup kita mengjangkau (mengawasi)," kata Ardiansyah.
[ bmw / kmps ]